Learn, Unlearn, Relearn : Tetap Relevan di Tengah Cepatnya Perubahan

Arini Dina Yasmin
codexstories | CODEX Telkom
5 min readDec 28, 2021

Tips Menjadi Manusia Pembelajar Kekinian Ala Alvin Toffler

Photo from mobimedia.de

Masih ingat apa pesan orang tua saat kita masih sekolah dulu?

“Ayo nak, belajar biar pintar.”

Pesan pengingat itu rasanya lumrah kita dengar ketika masa sekolah. Dari yang ogah-ogahan buka buku hingga belajar kalau ada tugas atau ulangan saja haha.

Esensi dari belajar mungkin baru bisa dipahami ketika beranjak dewasa. Untuk bisa mencoba memahami isi dunia dan isi kepala kita, untuk mendapatkan informasi dan ilmu mengenai hal yang sebelumnya tidak kita ketahui, untuk bisa mendapatkan pengalaman baru, dan masih banyak lagi manfaat belajar yang saya rasakan.

Belajar tidak mengenal usia. Ketika masuk dunia kerja, hasrat untuk terus belajar ini juga begitu diperlukan. Seperti yang disampaikan World Economic Forum (2020), bahwa active learning and learning strategies masuk dalam top skills yang diperlukan di masa kini dan menyambut masa yang akan datang. Selain itu, mengingat era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) seperti sekarang ini, membuat kita semakin merasakan pentingnya untuk terus beradaptasi dan belajar.

Sudah hampir dua tahun saya bekerja di bidang Employer Branding, khususnya sebagai Event and External Relation, kemauan untuk terus belajar ini juga ternyata tanpa saya sadari terus diasah oleh “semesta”.

Tahun lalu, saya sempat mendengarkan Podcast Thirty Days of Lunch, Fellexandro Ruby dan Ario Pratomo berbincang dengan Sabda PS, yang merupakan Chief Education Officer dari salah-satu Start-up edutech di Indonesia. Ini menjadi AHA moment saya dalam mengenal konsep belajar, yaitu Learn, Unlearn, Relearn.

Gif from Giphy.com

Lalu, bagaimana cara menerapkan mantra Learn, Unlearn, Relearn ini?

Pada tulisan ini, saya akan mencoba memperkenalkan lebih jauh konsep Learn, Unlearn, and Relearn. Di samping itu, saya akan mencoba merefleksikan momen-momen di dunia kerja yang secara tidak sengaja sepertinya dapat dikategorikan sebagai eksekusi dari konsep ini. Here we go!

“The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.” Alvin Toffler, futurist and philosopher

Kalau diterjemahkan, kurang lebih menjelaskan tentang orang yang gagap literasi di abad ke-21 ini bukan lagi yang tidak bisa membaca dan menulis, melainkan siapa yang tidak bisa belajar hal baru (learn), menghilangkan pelajaran (unlearn), dan kembali mempelajari hal baru (relearn).

Dilansir dari Forbes, dalam menerapkan ketiga hal tersebut, kita perlu untuk terus mempertanyakan asumsi mengenai bagaimana segala sesuatunya bisa bekerja, menantang paradigma lama yang berkembang di masyarakat, dan mempelajari kembali apa yang sekarang relevan dalam pekerjaan, industri, karir, dan kehidupan.

Picture from thehandsindia.com

Learn

Seperti arti katanya, dalam tahap ini kita akan belajar hal yang baru. Sebagai manusia proses belajar ini dimulai dari lahir hingga ke liang lahat alias meninggal nanti. Dalam kata lain, manusia sejatinya adalah makhluk pembelajar. Satu hal yang menarik mengenai belajar ini, masih dari Forbes adalah sebagai berikut.

“Dengan memiliki kelincahan dalam belajar, akan membuka kemampuan kita dalam menghadapi lingkungan yang tidak pasti, tidak dapat diprediksi, dan terus berkembang, baik secara pribadi maupun personal.”

Kondisi ini semakin akrab kita temui di masa pandemi ini, bukan?

Kalau ditarik mundur, dari zaman SMA (Sekolah Menengah Atas) hingga kuliah, saya sempat beberapa kali membuat event. Meskipun demikian, ketika bekerja, saya tetap harus mau belajar bagaimana menyelenggarakan event secara online.

Ya, seperti kita tahu bersama, bahwa pandemi membuat kita semua harus beradaptasi. Dulu mungkin hanya tahu Skype, belum familiar dengan Zoom dan Google Meet, tapi sekarang sepertinya semua sudah semakin terbiasa menggunakan platform tersebut.

Lalu, kalau dulu interaksi dalam event offline bisa langsung menghampiri audience, namun kini saya juga harus belajar bagaimana caranya agar bisa tetap engage dengan audience meskipun event tersebut diselenggarakan secara online. Untungnya, ada platform seperti Kahoot, Quizizz, Slido, Gartics, dan yang lainnya yang membuat event online tetap terasa seru di masa pandemi ini.

Dokumentasi event CODEX Mindsight dan Internal Engagement

Unlearn

Tahap kedua ini mungkin cukup unik dan challenging. Unlearn ibarat proses mengupas cat lama. Unlearn ini adalah proses melupakan apa yang sudah kita tahu. Dengan memiliki mindset unlearn, kita akan lebih terbuka dalam menerima hal-hal yang sebelumnya sudah diketahui.

Image from Socialsciencespace.com

Beberapa tahun lalu, ketika menggarap suatu event, alam bawah sadar saya seperti berbisik kalau membuat event itu bak kompetisi. Hal ini karena sepertinya antar panitia tiap event berlomba-lomba untuk mendatangkan lebih banyak audience, mengundang guest star yang keren kaliber nasional hingga mancanegara, dan lain-lain.

Namun belakangan, saya mencoba unlearn hal tersebut, karena sepertinya saat ini sudah eranya kolaborasi, suatu event bukan hanya berlomba untuk menjadi extraordinary, melainkan semakin dirasa penting menggandeng partner yang sejalan misinya dan berusaha memberikan value dan good impact kepada audience.

Relearn

Terakhir, relearn atau belajar kembali adalah momen di mana kita bisa menerima perspektif baru. Kita perlu memiliki pikiran yang terbuka untuk bisa menerapkan proses relearn ini. Kita harus sadar bahwa di luar sana ada perspektif baru, cara baru, yang selama ini belum diketahui.

Proses relearn ini bolak-balik saya alami di dunia kerja. Di bidang external relations misalnya, saya terus belajar kembali bagaimana menjalin relasi yang baik dengan partner yang berbeda-beda. Bagaimana ketika bernegosiasi dan komunikasi dengan mahasiswa, tentu akan menjadi berbeda dengan ketika berhadapan dengan pihak universitas, digital communities, hingga hiring partner.

Image from Thesaurus.plus

Mirip dengan kejadian sebelumnya, ketika berkolaborasi dengan partner, awalnya sedikit sulit bagi saya untuk mencoba berbaur dan menyetujui pola mereka (dalam hal membuat event). Namun, ketika brainstorm dan diskusi, tim saya mendorong untuk mencoba apa yang ditawarkan partner tersebut. Akhirnya, saya mencoba untuk pause dan berusaha memahami kalau ini harus dicoba untuk tahu hasilnya akan seperti apa. Di samping itu, saya juga mencoba relearn karena asumsinya mereka lebih paham karakteristik audiencenya.

Dari momen relearn ini, saya mendapat banyak perspektif baru yang membuat saya bisa mengelola komunikasi dengan orang lain dan kolaboratif dalam menyelenggarakan event bersama.

Nah, itulah secuplik kisah saya dan gambaran proses Learn, Unlearn, dan Relearn yang penting untuk diterapkan di era ini agar kita bisa terus beradaptasi. Selain itu, dengan memiliki semangat untuk terus belajar, akan membuat kita tetap relevan dan “tidak tergerus” dengan perkembangan dunia yang begitu cepat.

Jadi, sudah siapkah menerapkan mantra ini dalam kehidupan sehari-hari?

--

--