Bisakah Flexible Working Diterapkan di Perusahaan Besar?

Cita Nurani Lestari
codexstories | CODEX Telkom
5 min readJan 15, 2020

Hello people! Siapa di antara kalian yang sudah atau akan mengimplementasikan Flexible Working di lingkungan kerja?

Bagi yang sudah menjalankan, sangat menantang bukan?

Bagi yang baru akan menjalankan, semoga artikel ini bisa membantu kalian untuk meminimalisir kondisi-kondisi yang tidak diharapkan terjadi.

Sebelum lanjut, saya rasa kita perlu menyamakan pemahaman tentang istilah Flexible Working.

Flexible = luwes; mudah dan cepat menyesuaikan diri (KBBI Online)

Working = kerja

Jika diartikan secara harfiah, maka Flexible Working adalah pengaturan kerja yang luwes.

Luwes dalam hal apa? Luwes dari aturan kerja normatif. Dengan menerapkan Flexible Working, maka para anggota tim dibebaskan untuk mengatur cara kerja mereka secara waktu (flexitime) maupun tempat (flexiplace).

Selama sepuluh tahun bekerja di Telkom, secara pribadi saya baru mengenal istilah-istilah tersebut sejak tiga tahun yang lalu, bersamaan dengan kebijakan manajemen untuk mengimplementasikan Working from Anywhere (Bekerja di Mana Saja) sejak pertengahan tahun 2016.

Saya cukup terkejut bahwa di belahan dunia lain, konsep seperti ini bahkan sudah menjadi bahan penelitian sejak awal tahun 90-an.

Hal ini dibuktikan dengan sebuah kutipan yang saya dapat dari sebuah situs:

Jam Kerja Fleksibel alias Flexible Working Hours (FWH) dipilih sebagai salah satu terobosan untuk menghadapi tingkat kepadatan jalanan yang semakin hari semakin mirip “tempat parkir massal”. Sejak diberlakukannya FWH, kepadatan jalan di sekitar area pabrik dan perkantoran pada jam sibuk bisa berkurang. (Schultz & Schultz, 1990, h. 351).

Lebih ekstrem lagi, konsep tersebut ternyata sudah berkembang di Jerman sejak tahun 1960-an.

Mengapa Telkom menerapkan Flexible Working?

Saat ini Flexible Working telah berkembang menjadi sebuah benefit yang ditawarkan oleh para perusahaan (terutama perusahaan digital) untuk menarik minat para pencari kerja. Siapa sih yang gak tergiur dengan penawaran tersebut? Hihihi.

Semua pencari kerja pasti akan tertarik dengan kemudahan tersebut, kecuali apabila ada perusahaan lain yang bisa memberikan benefit berbeda dan jauh lebih menarik. Sorry OOT, tapi mungkin fenomena ini perlu dipertimbangkan oleh para perusahaan agar tidak ikut-ikutan heboh Flexible Working.

Telkom, sebagai sebuah perusahaan yang sedang bertransformasi menjadi perusahaan digital, tentu merasakan dampak dari fenomena tersebut. Demi memperkenalkan cara kerja perusahaan digital di era modern serta mempertahankan karyawan-karyawan terbaiknya, “mau tidak mau” Telkom pun perlu memberikan benefit tersebut. Tahun 2019 ini adalah tahun ketiga Telkom menerapkan Flexible Working, meski baru untuk beberapa divisi saja.

Nah, sebenarnya gimana sih pendapat para karyawan Telkom tentang Flexible Working, baik dari sisi waktu maupun tempat? Saya pun meminta pendapat para user, alias Product Owner dan Scrum Master di Codex.

Secara umum, mereka tidak keberatan dengan kebijakan Flexible Working, asalkan ada syarat dan ketentuan yang berlaku.

Istilah kerennya, BEBAS tapi SOPAN :)

Mengapa masih perlu diatur?

Pengaturan kerja yang fleksibel dalam hal tempat dan waktu memang dapat meningkatkan produktivitas individu dalam bekerja. Namun, sistem tersebut tetap memiliki kekurangan, antara lain:

  • Berkurangnya kualitas komunikasi antar individu.
  • Munculnya kekhawatiran bahwa target tidak akan tercapai karena kurangnya kontrol user.
  • Bisa dijadikan celah untuk “kabur” dari kantor tanpa harus mengambil cuti.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan Flexible Working pasti akan berdampak pada berkurangnya frekuensi kebersamaan sebuah tim dalam satu lokasi di waktu yang bersamaan. Kondisi tersebut, pada kenyataanya memang cukup menantang, terutama terkait proses komunikasi dan bonding di antara anggota tim.

Memang apa dampaknya sih jika komunikasi dan kebersamaan tim berkurang? Secara tidak langsung hal ini akan mempengaruhi kualitas pekerjaan tim itu sendiri.

Jika komunikasi antar anggota tim tidak jelas dan tidak nyambung, maka pemahaman masing-masing individu akan berbeda. Miskonsepsi ini bisa menyebabkan terhambatnya pekerjaan, karena hasil kerja seorang anggota tim mempunyai kaitan erat dengan pekerjaan anggota tim lainnya.

Sedikit brutal fact terkait implementasi FWA di Codex (berdasarkan wawancara user), diketahui bahwa tingkat partisipasi anggota tim cukup tinggi, sekitar 6 dari 10 orang secara rutin memanfaatkan kebijakan flexiplace (bekerja secara remote) dengan frekuensi 1 - 3 hari dari 10 hari sprint. Sedangkan, tingkat partisipasi dan frekuensi untuk flexitime mencapai 100%.

Wait, ternyata ada sebuah fakta menarik, yaitu masih ada anggota tim yang lebih senang datang ke kantor dibanding bekerja remote.

Bicara mengenai dampak Flexible Working, pasti ada saja yang diuntungkan namun ada pula yang dirugikan. To be honest menurut pandangan saya yang dirugikan adalah para user. Mengapa? Karena mereka tidak bisa melihat dan mengontrol secara langsung anggota tim mereka pada saat jam kerja. Apalagi bagi mereka yang sudah terbiasa bekerja dalam satu ruang dan waktu yang sama.

Akan tetapi, hal ini tidak berlaku ketika kita sedang menciptakan budaya agile karena user yang seperti itu cenderung untuk melakukan micro manage terhadap anggota tim.

Lalu siapa yang diuntungkan? (Silakan jawab sendiri)

Salah satu hal signifikan yang terlihat ketika implementasi Flexible Working ini adalah diskusi tidak bisa dilakukan secara mendadak. Jika user berharap agar diskusi dilakukan oleh seluruh anggota tim pada satu ruang dan waktu yang sama maka hal ini perlu direncanakan. Jika diskusi tersebut sifatnya mendadak dan urgent, maka terpaksa dilakukan secara online.

Photo by Icons8 Team on Unsplash

Cara meningkatkan efektivitas Flexible Working

Berdasarkan beberapa alasan di atas, para user (Product Owner dan Scrum Master) di Codex mengungkapkan bahwa sebelum menerapkan Flexible Working, sebaiknya dibuat kondisi pre-requisite dan aturan main yang jelas, antara lain:

  1. Hati yang lapang dari user untuk menerima kebijakan ini dan memahami maksud di baliknya.
  2. Kualitas jaringan internet yang mumpuni untuk melakukan voice atau video call. Karena pada kenyataannya, jaringan internet cukup mempengaruhi efektivitas komunikasi tim ketika online.
  3. Bagi anggota tim yang bekerja secara remote, harus siap dihubungi kapan pun selama tidak di luar jam kerja, kecuali jika sebelumnya sudah menginfokan tidak bisa dihubungi pada jam tertentu.
  4. Seluruh anggota tim harus terbuka pada saat sprint retro, sehingga masalah-masalah yang terjadi ketika sprint berjalan dapat ditemukan solusinya, terutama yang berkaitan dengan masalah komunikasi.
  5. Menetapkan target yang jelas dan bisa terukur bagi anggota tim dengan mengoptimalkan project management tool, seperti Jira.
  6. Adanya larangan Flexible Working di beberapa sprint event, seperti sprint planning, sprint review, dan sprint retro serta grooming.
  7. Menetapkan jumlah maksimal hari yang diperbolehkan untuk remote (bekerja di luar kantor) dan waktu maksimal datang ke kantor, kecuali untuk tim yang tidak memiliki kantor fisik. Hal ini diperlukan untuk menciptakan stabilitas tim agar semua anggota memiliki kesempatan yang sama untuk remote.

Itulah beberapa hal yang perlu kalian ketahui tentang implementasi Flexible Working.

So, Flexible Working, yes or no? :)

“If you spend too much time thinking about a thing, you’ll never get it done.”
– Bruce Lee

--

--