Photo by Feliphe Schiarolli on Unsplash

Data yang menjelaskan mengapa hanya sedikit lulusan perguruan tinggi Indonesia yang mampu menyusun strategi komunikasi

Apakah profesional sektor nirlaba harus memiliki kecakapan khusus untuk bisa menyusun strategi komunikasi yang efektif? Communication for Change percaya ini tidak mutlak, namun kami akan membahas mengapa cukup langka lulusan perguruan tinggi Indonesia yang bisa menyusun strategi dengan baik.

Paramita Mohamad
6 min readMar 18, 2018

--

Sekitar dua minggu yang lalu Communication for Change mempublikasikan artikel tentang kesalahan-kesalahan umum yang sering dilakukan organisasi masyarakat sipil dalam komunikasi publik. Dua dari kesalahan itu berkaitan dengan kebiasaan organisasi (memperlakukan komunikasi publik sebagai sekedar pelengkap dan bukan bagian sentral dari program organisasi; enggan menyewa praktisi profesional). Yang satu lagi adalah perencanaan strategi komunikasi yang masih di bawah standar.

Kami lalu mendapat pertanyaan lanjutan sebagai tanggapan artikel ini:

Pertanyaan ini berlanjut:

Kemampuan berpikir analitis adalah modal dasar menyusun strategi

Kata-kata “practical skills yang belum dimiliki oleh lulusan formal di luar bidang komunikasi” menarik perhatian saya. Di satu sisi saya percaya salah satu tujuan utama pendidikan tinggi adalah mempersiapkan lulusan yang siap berkontribusi positif dalam kehidupan ekonomi dan kewarganegaraan (civic). Bagian penting dari kontribusi dalam kehidupan ekonomi adalah mencari dan mempertahankan penghidupan —tidak hanya menjadi pegawai, tapi bisa juga membuka usaha atau menjadi profesional mandiri.

Namun di sisi lain, bagi saya lulusan yang mampu mencari dan mempertahankan penghidupan bukan lulusan yang siap pakai, melainkan yang siap latih kembali. Mencetak lulusan siap pakai adalah gol yang tidak realistis buat perguruan tinggi. Perkembangan di dunia luar kampus berlangsung jauh lebih cepat daripada kemampuan perguruan tinggi dalam memodifikasi silabus dan menyesuaikan sumber daya untuk merespon perubahan ini.

Agar siap latih kembali, lulusan pendidikan tinggi seharusnya sudah menguasai dan sering menggunakan kemampuan bernalar ilmiah. Jika sudah lancar dan sering bernalar secara ilmiah, maka seharusnya mereka punya kemampuan untuk mengajukan pertanyaan yang baik, bukan untuk selalu bisa menjawab. Kemampuan mengajukan pertanyaan yang baiklah yang mendorong seseorang untuk terus belajar dan berlatih.

Jika semua lulusan perguruan tinggi sudah mampu dan biasa bernalar ilmiah, maka seharusnya mereka sudah punya modal dasar untuk merancang strategi komunikasi. Modal dasar ini seharusnya dimiliki lulusan dari semua jurusan, bukan hanya komunikasi. Unsur pertama dari modal dasar untuk menyusun strategi apapun, tidak hanya komunikasi, adalah kecakapan berpikir analitis. Berpikir analitis tak terpisahkan dari kemampuan bernalar ilmiah. Karena itulah seharusnya semua lulusan perguruan tinggi seharusnya bisa berpikir strategis, dan bukan hanya untuk urusan komunikasi.

Apakah ciri-ciri orang yang mampu berpikir analitis? Dalam memandang sebuah situasi yang cukup kompleks, orang yang mampu berpikir analitis bisa memilahnya menjadi elemen-elemen yang lebih kecil. Ia mampu merumuskan pertanyaan yang perlu dijawab untuk bisa lebih dalam memahami kaitan berbagai elemen tersebut. Dalam mengumpulkan data, lebih dari sekedar merangkumnya, ia bisa melihat melihat pola dan kecenderungan di balik data yang masuk. Ia lalu bisa mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah di dalam situasi tersebut.

Dari http://brightdrops.com/albert-einstein-quotes

Selanjutnya, bisa mengajukan beberapa kemungkinan penyebab masalah itu dan mengeliminasi hipotesis yang tidak cocok. Ia bisa memikirkan solusi untuk memecahkan masalah itu, dan memikirkan cara menguji apakah solusi untuk memecahkan masalah itu sudah tepat.

Lulusan perguruan tinggi Indonesia yang mampu berpikir analitis cukup langka

Jika Anda perhatikan, dari tadi saya banyak sekali menggunakan kata “seharusnya”. Ini memang disengaja, karena kenyataannya jauh berbeda. Anekdot dari pengalaman saya saat merekrut calon pegawai baru menunjukkan bahwa lulusan baru perguruan tinggi yang punya kemampuan berpikir analitis yang tajam cukup langka.

Anekdot ini rupanya didukung data yang meyakinkan. Dari 1 April 2014 sampai 31 Maret 2015, sebanyak 7.229 penduduk berusia 16–65 tahun di Jakarta yang dipilih secara acak mengikuti The Survey of Adult Skills (SAS) yang diselenggarakan oleh OECD. SAS sering juga disebut sebagai tes PIAAC, kepanjangan dari Programme for the International Assessment of Adult Competencies. Anda mungkin familiar dengan tes PISA (juga diselenggarakan OECD) yang mengukur kemampuan akademis dasar siswa usia 15 tahun dari berbagai negara. Jika tes PISA untuk anak SMP, maka tes PIAAC adalah untuk orang dewasa, yang mengukur tiga kompetensi kunci dalam mengolah informasi, yakni:

  1. Literasi: kemampuan untuk memahami dan menanggapi dengan tepat informasi yang hadir sebagai teks atau tulisan
  2. Numerasi: kemampuan untuk menggunakan konsep numerik dan matematik
  3. Memecahkan masalah dalam lingkungan yang kaya-teknologi: kapasitas untuk mengakses, menafsirkan, dan menganalisis informasi yang ditemukan atau disebarkan dalam ranah digital.

Data yang tersedia untuk Jakarta hanyalah untuk literasi dan numerasi.

Ternyata skor orang dewasa Jakarta dalam dua bidang ini sama jebloknya dengan skor anak 15 tahun seluruh Indonesia. Dari 34 negara yang mengikuti tes PIAAC, Jakarta secara konsisten duduk di peringkat terbawah dalam dua area kompetensi itu, untuk semua kelompok umur (baca berita versi bahasa Inggris di sini dan Bahasa Indonesia di sini).

Rentang skor PIAAC untuk tiap kompetensi adalah 0 sampai 500, dan kemudian dibagi dalam beberapa level. Untuk literasi dan numerasi, ada 6 level (di bawah 1, lalu 1 sampai 5); dan untuk pemecahan masalah ada 4 (di bawah 1, lalu 1 sampai 4).

Hasil Jakarta adalah sebagai berikut (laporan lengkapnya ada di sini):

Literasi

  • Nyaris 70% orang dewasa Jakarta hanya sampai di level 1 atau di bawahnya. Mereka hanya bisa membaca teks yang singkat dalam topik yang sudah familiar untuk menemukan sebuah informasi spesifik.
  • Kurang dari 1% orang dewasa Jakarta sampai pada level tertinggi (4 atau 5) dalam literasi. Di level 4, orang dewasa mampu mengintegrasi, menafsirkan, dan mensintesis informasi dari teks yang panjang dan rumit, yang berisi informasi bertentangan atau kondisional. Hanya 5.4% orang dewasa Jakarta yang sampai di level 3 (mampu memahami dan menanggapi teks yang panjang, menafsirkan atau mengevaluasi sepotong informasi tambahan, dan membuat kesimpulan)
  • Angka rerata dari skor literasi dari orang dewasa Jakarta yang berpendidikan di tingkat universitas lebih rendah dari angka rerata skor penduduk negara OECD berusia 16–24 yang hanya lulus sekolah dasar. Sekali lagi: sarjana di Jakarta punya kemampuan literasi yang lebih rendah dari penduduk OECD yang hanya lulus SD.

Numerasi

  • 60% orang dewasa Jakarta mencapai level 1 atau di bawahnya. Di level 1, orang dewasa hanya bisa melakukan proses matematika dasar, seperti membilang, mengurutkan, menghitung aritmatika sederhana dengan bilangan bulat.
  • Hanya 1,4% orang dewasa Jakarta yang mencapai level 4 atau 5 (memahami informasi matematis yang kompleks, abstrak, atau berasal dari lingkungan baru), sementara 9,1% mencapai level 3 (mampu bekerja dengan hubungan matematis, bisa menafsirkan dan melakukan analisis dasar statistik).

Melihat data di atas, nampaknya kita harus mengakui bahwa kita memang “a nation of dunces”.

Kemampuan berpikir analitis bisa ditingkatkan

Gambaran di atas memang gelap. Nampaknya sesuatu terjadi (atau justru tidak terjadi) dalam perkuliahan sehingga kurang dari 2% lulusan perguruan tinggi kita yang bisa sampai pada level kompetensi yang dibutuhkan untuk bisa berpikir analitis. Tapi saya tidak akan membahasnya di sini.

Untungnya kemampuan berpikir (termasuk berpikir analitis) bisa terus ditingkatkan, mirip seperti kita menjadi lebih jago berolahraga dalam berbagai cabang. Meningkatkan kemampuan berpikir analitis dimulai dengan mengenal secara mendetail metode dan langkah dalam berpikir analitis, lalu berlatih dengan meniru di bawah bimbingan dan mendapat umpan balik, sampai akhirnya memindahkan keterampilan ini ke konteks lain.

Untuk berkenalan dengan metode dalam berpikir analisis, saya merekomendasikan buku Problem Solving 101: A Simple Book for Smart People oleh Ken Watanabe (2013). Buku ini ditulis dalam bahasa Inggris yang mudah diikuti (saya tidak merekomendasi terjemahan Bahasa Indonesia). Penulis menjelaskan metode berpikir analitis melalui cerita singkat tentang situasi yang spesifik dan konkret, namun pembaca akan cukup mudah untuk membayangkan aplikasinya dalam situasi yang lebih relevan buatnya.

Saya setuju bahwa “good communicators make themselves look smart. Great communicators make their audiences feel smart.” (Adam Grant, di sini). Berdasarkan pendapat ini, maka bagi saya Watanabe adalah penulis yang hebat (setidaknya dalam buku ini).

Setelah membaca buku ini (yang hanya akan memakan waktu 2 sampai 3 jam), maka langkah selanjutnya adalah berlatih di bawah bimbingan mentor dan menerima umpan balik. Tidak punya mentor? Rekrutlah seorang mentor. Di lingkungan kerja Anda, Anda bisa mengajak orang yang Anda respek karena kompetensi melampaui Anda. Anda bisa mengajaknya untuk ikut membaca buku ini (kalau dia tidak mau, dia tidak layak jadi mentor Anda). Lalu Anda bisa membujuknya untuk membimbing Anda menyusun strategi komunikasi di organisasi Anda.

Cara lain yang lebih pasti (tapi tidak gratis) adalah dengan menggunakan jasa Communication for Change untuk menyusun strategi komunikasi program Anda. Sambil menyusun strategi komunikasi, kami akan sekaligus membangun kapasitas organisasi Anda untuk nanti bisa melakukannya sendiri. Anda bisa mulai dengan menjadwalkan satu jam konsultasi gratis di sini.

Godspeed, rebels.

PS: jika Anda punya pertanyaan berkisar komunikasi untuk sektor nirlaba, baik untuk organisasi masyarakat sipil maupun think tank, silakan melayangkan pertanyaan ke Twitter kami @C4C_ID dengan mencantumkan #AskC4C.

--

--

Paramita Mohamad
Communication for Change

CEO of Communication for Change. We work with those who want to make Indonesia suck less, by helping them get buy-in and make changes.