Mengubah opini publik tentang isu moral yang kontroversial

Bagaimana cara efektif untuk mengomunikasikan isu yang bertentangan dengan pandangan moral mayoritas? Communication for Change mencoba menjawab dengan mendalami moralitas kaum konservatif.

Paramita Mohamad
Communication for Change
11 min readApr 1, 2018

--

Image via @Billybil / Twitter

Dua pekan yang lalu, kami menerima pertanyaan menarik:

Apa cara yang terbaik untuk mengkomunikasikan isu yang langsung bertentangan dengan norma masyarakat, misalnya yang terkait dengan aborsi, pernikahan beda agama, dan LGBTQ?

Pandangan moral mayoritas memang konservatif dan restriktif

Si penanya berasumsi bahwa norma masyarakat Indonesia menentang hal-hal di atas. Asumsi ini dikonfirmasi studi dari Pew Global Research Center, yang mewawancara 1.000 responden usia 18+ lewat multistage random sampling, 9–27 Maret 2013 (metodologinya bisa dilihat di sini):

Dari sini.

Untuk pernikahan beda agama, saya merujuk studi berbeda dari Pew Global Research Center (lihat metodologinya di sini). Dari hasil wawancara 1.880 penganut Islam usia 18+melalui multistage random sampling di 19 propinsi selama 28 Oktober sampai 19 November 2011, hanya sedikit sekali responden yang mengaku tidak bermasalah jika anak mereka menikah dengan pemeluk Kristen.

Dari sini.

Dua set data ini mengukuhkan asumsi si penanya: pandangan moral mayoritas orang Indonesia memang cenderung konservatif-restriktif. Berdasarkan peta budaya dari Inglehart-Welzel, Indonesia memang digolongkan sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional (kepatuhan pada orang tua dan otoritas, pentingnya agama, keutuhan keluarga, nasionalisme) dan nilai-nilai berorientasi pada keberlangsungan kelompok (tribalisme dan etnosentrisme, rendahnya kepercayaan dan toleransi pada kelompok lain).

Dari sini.

Sebelum membujuk kelompok konservatif-mayoritas untuk melihat sisi lain dari isu-isu yang bagi mereka kontroversial (atau bahkan konfrontatif), mari kita lebih dulu memahami perspektif mereka.

Pandangan moral kaum konservatif berpijak di atas lebih banyak pondasi

Psikologi moral mempelajari topik-topik seperti pandangan, emosi, penalaran, motivasi, dan intuisi di balik perilaku manusia dalam konteks benar atau salah. Saya akan mengutip The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion oleh Jonathan Haidt (2012) untuk mendalami sudut pandang kelompok konservatif.

Salah satu metafor utama dalam buku ini adalah, intuisi moral bisa dibandingkan dengan lidah manusia yang mempunyai lima reseptor rasa. “Reseptor rasa” untuk intuisi dalam menilai salah benar disebut fondasi moral.

Setiap orang lahir dengan semua fondasi moral (ada enam, akan saya jelaskan nanti), karena ini berguna untuk evolusi. Sama seperti faktor bawaan lainnya seperti temperamen, fondasi moral yang hadir saat kita lahir bisa diumpamakan bagai draf pertama dari sebuah tulisan. Draf pertama ini kemudian direvisi terus-menerus oleh pengalaman hidup yang pastinya dipengaruhi faktor-faktor lingkungan sosial dan budaya. Faktor-faktor inilah yang menjelaskan munculnya variasi pandangan moral.

Apa saja fondasi-fondasi moral itu? Jika lidah mengenal lima reseptor rasa (manis, asin, pahit, asam, umami), maka intuisi moral punya enam fondasi.

Kasih/kezaliman (care/harm)

Pada awalnya pemicu fondasi ini adalah penderitaan darah daging kita. Sejalan dengan perkembangan peradaban, sekarang pemicu fondasi kasih/kezaliman meluas mencakup penderitaan orang lain.

Menariknya,“ orang lain” bagi kaum liberal bersifat universal, mencakup siapapun yang tertindas tanpa melihat bangsa, agama, dan sukunya. Sebaliknya, bagi kaum konservatif “ orang lain” diartikan lebih sempit, yakni mereka yang dipandang sudah berkorban bagi kelompok.

Keadilan/kecurangan (fairness/cheating)

Fondasi moral ini terkait dengan prinsip proposionalitas: setiap orang mendapat apa yang memang layak ia dapatkan, dan tidak mendapatkan apa yang tidak seharusnya ia dapatkan. Evolusi mewariskan kita fondasi ini karena manusia perlu melindungi komunitasnya dari individu yang curang atau mau enak sendiri.

Fondasi keadilan/kecurangan lebih relevan bagi golongan konservatif. Sementara itu, semakin liberal-progresif seseorang, semakin ambivalen pandangannya terhadap proposionalitas. Orang yang menjunjung asas proporsionalitas cenderung menyetujui hukuman yang berat buat pelanggaran hukum berat. Selain itu, mereka tidak menyetujui bantuan sosial jika diinterpretasikan sebagai “subsidi bagi pemalas”. Dua hal ini akan sulit diterima golongan liberal yang mengutamakan kasih dan persamaan hak. Karena itulah golongan liberal lebih senang menafsirkan fondasi keadilan/kecurangan berdasarkan asas persamaan hak, bukan proposionalitas.

Contoh ketidaksepahaman ini muncul saat ramai penggusuran di Jakarta dua tahun yang lalu (“orang miskin tidak tahu diri, menduduki tanah yang bukan haknya, disuruh pindah ke rumah susun tidak mau” vs. “pemukiman layak adalah hak asasi manusia, sehingga penggusuran adalah perbuatan tidak adil dan keji”).

Kemerdekaan/penindasan (liberty/oppression)

Evolusi membekali kita dengan fondasi moral kemerdekaan/penindasan karena setiap anggota komunitas perlu melindungi dirinya dari perisak (bully, bukan salah ketik). Kita sesungguhnya tidak peduli pada persamaan demi persamaan itu sendiri. Kita baru bergerak memperjuangkan persamaan saat kita merasa diperlakukan semena-mena.

Baik golongan liberal dan konservatif menganggap penting fondasi moral kemerdekaan/penindasan. Bedanya, bagi golongan liberal pihak yang tertindas adalah semua kelompok masyarakat yang terpinggirkan (di Indonesia: orang miskin, pemeluk agama minoritas, LGBT, masyarakat adat). Konsekuensinya, golongan liberal menyakralkan asas persamaan hak, dan menuangkannya ke dalam perjuangan membela hak asasi manusia, terutama bagi yang tertindas (lihat contoh tentang penggusuran di atas).

Sebaliknya, golongan konservatif (dan liberal-kanan alias liberal-klasik alias mungkin neolib) fokusnya adalah pada pihak penindas. Di sini, penindas diterjemahkan menjadi penguasa alias pemerintah yang membatasi kebebasan individu.

Di Indonesia, ketidaksepahaman ini muncul dalam perdebatan tentang pembantaian terhadap mereka yang secara sepihak dituduh sebagai simpatisan PKI tahun 1965–1967. Rezim Orde Baru memposisikan PKI dan simpatisannya sebagai penghianat, lengkap dengan berbagai mitos tentang penyiksaan jenderal di Lubang Buaya. Tak heran jika generasi demi generasi di Indonesia menerima begitu saja kalau anggota dan simpatisan PKI memang pantas mendapat ganjaran semaksimal mungkin (lihat foto di awal artikel ini).

Pandangan ini mulai goyah, paling tidak di kalangan masyarakat umum, saat Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melambungkan wacana untuk minta maaf kepada korban pembantaian pasca 1965. Gus Dur mampu melihat mereka sebagai orang yang ditindas, namun beliau mendapat tantangan yang sangat keras terutama dari kalangan TNI. Perdebatan ini terus berlanjut sampai sekarang, apalagi semenjak film The Act of Killing beredar dan berlangsungnya Simposium 1965 di tahun 2016.

Loyalitas/penghianatan (loyalty/betrayal)

Manusia yang hidup saat ini adalah keturunan dari nenek-moyang yang hidup dalam puak (tribe atau ingroup) yang kohesif, bukan Homo sapiens yang individualistik. Puak yang kohesif lebih mampu menjaga teritori mereka dan melakukan pembagian tugas, sehingga mereka bisa bertahan hidup dan terus berketurunan.

Pemicu asli dari fondasi loyalitas/penghianatan adalah hal-hal yang dapat mengancam keutuhan kelompok.

Jika kita melihat kefanatikan dan emosi cinta atau benci yang intens di kalangan fans klub olah raga, maka tidak heran jika fondasi moral loyalitas/penghianatan menjadi relevan dalam politik. Ini menjelaskan mengapa politisi-politisi di Indonesia senang menggunakan wacana “kebanggaan” atau kedaulatan” bangsa. Wacana-wacana ini menarik buat kelompok konservatif, konsisten dengan tingginya orientasi mereka akan kepuakan atau tribalisme.

Namun golongan liberal yang beriorientasi pada asas universalisme, persamaan, dan fondasi kasih/kezaliman sulit memahami pentingnya sentimen nasionalisme bagi kelompok konservatif. Ketidaksepahaman ini bisa diilustrasikan melalui perdebatan antara kubu “right or wrong is my country” (konservatif, mengutip salah satu dogma Orde Baru) melawan “right or wrong is right or wrong” (liberal).

Kekuasaan/subversi (authority/subversion)

Fondasi moral ini terkait dengan rasa respek kepada orang tua, atasan, dan siapapun yang posisinya lebih tinggi daripada kita dalam hirarki sosial. Seperti dalam fondasi sebelumnya, nenek moyang kita memerlukan mekanisme yang mengijinkan pemimpin untuk menegakkan peraturan dan menyelesaikan konflik. Artinya, puak membutuhkan hirarki sosial untuk menjaga ketertiban dan keadilan demi keberlangsungannya.

Dulu fondasi moral kekuasaan/subversi dipicu oleh ancaman ke pribadi pemimpin puak. Sekarang, fondasi moral ini dipicu dari segala hal yang terkait dengan kepatuhan atau perlawanan terhadap tradisi, institusi, dan stabilitas negara atau figur junjungan.

Sama seperti loyalitas/penghianatan, sulit bagi kelompok liberal untuk menerima fondasi moral kekuasaan/subversi, karena mereka menentang kesenjangan status dan kuasa sosial.

Kesucian/degradasi (sanctity/degradation)

Ada dua alasan dari evolusi mengapa kita punya fondasi moral ini. Pertama, sebagai omnivora Homo sapiens harus menyeimbangkan antara neofilia (keinginan mencoba hal-hal baru untuk dimakan) dan neofobia (keinginan menghindari hal-hal yang tak dikenal untuk menghindari patogen). Kedua, saat manusia purba mulai hidup komunal dalam pemukiman, mereka harus melindungi dirinya dari kontaminasi kuman, bakteri, dan parasit. Tidak mengherankan jika fondasi moral kesucian/degradasi pada awalnya terkait dengan rasa jijik yang muncul dari pengindraan yang menandakan kehadiran patogen.

Seiring dengan berkembangnya peradaban, agama-agama pun lalu mengadaptasi fondasi moral ini. Fondasi moral kesucian/degradasi terkait dengan ethics of divinity yang beranjak dari gagasan bahwa raga manusia adalah kendaraan sementara buat jiwa yang berasal dari figur ilahi. Karena itulah ajaran tentang kebersihan berlaku universal di semua agama, dan agama-agama besar mengibaratkan tubuh manusia seperti tempat ibadah (yang harus dijaga kesuciannya), bukan sebagai taman ria (sumber kenikmatan). Muncullah konsep-konsep seperti kesucian, dosa, najis, elevation atau upliftment, dan kemerosotan ahlak.

Jika pada awalnya jijik adalah mekanisme untuk menyelesaikan dilema omnivora (neofilia vs neofobia), maka sekarang emosi ini digunakan untuk menyelesaikan konflik antara xenofilia (ketertarikan pada hal-hal asing) dan xenofobia. Akibatnya, hal-hal yang menimbulkan jijik meluas ke liyan (out group) yang dianggap membawa kotoran sehingga mengancam kemurnian kelompok. Bagi (sebagian) umat Hindu di India, liyan adalah orang-orang Dalit yang tidak boleh disentuh. Bagi (sebagian) umat beragama di Indonesia, liyan adalah kelompok LGBT. Bagi (sebagian) penduduk Eropa, liyan adalah kaum imigran dari Afrika.

Di konteksnya masing-masing, sebagai pembawa najis maka kasta Dalit, kelompok LGBT, dan imigran harus dikucilkan. Dalam pandangan yang lebih ekstrim, beberapa orang setuju bahwa liyan perlu dimusnahkan dari muka bumi (lihat foto di awal artikel ini).

Namun apakah fondasi moral kesucian/degradasi hanya relevan untuk meminggirkan liyan? Haidt menjawabnya dengan menggarisbawahi kesakralan. Ia berpendapat tidak akan ada yang sakral jika tidak ada yang menjijikkan. Objek dan ritual yang disakralkan (ibadah) penting untuk menjamin kooperasi di masyarakat yang sangat luas, melalui pemupukan rasa keterikatan (sense of belonging) sekaligus menegakkan ajaran melalui ritual ibadah bersama), serta solidaritas melalui zakat atau persepuluhan. Objek dan ritual sakral menggabungkan individu dalam sebuah komunitas moral.

Selain itu, ritual yang sakral bisa mendorong terjadinya pengalaman transendental, saat individu seakan lepas dari individualitasnya dan menyatu dengan sesuatu yang agung (misalnya lewat zikir dan doa atau mantera yang berulang-ulang).

Kelompok konservatif memegang teguh fondasi moral ini. Sebaliknya, banyak kaum liberal yang mempertanyakannya begitu mereka tahu kesucian/degradasi ikut menyumbang pada penindasan liyan. Beberapa filsuf terkemuka telah mengakui ethics of divinity yang menjiwai fondasi kesucian/degradasi tidak selamanya cocok dengan welas asih (compassion), egalitarianisme, dan hak asasi manusia.

Menjangkau golongan konservatif-mayoritas dengan fondasi moral di luar kasih/kezaliman dan keadilan/kecurangan

Uraian di atas bisa dirangkum dengan satu obervasi: golongan liberal hanya merangkul dua fondasi moral, yakni kasih/kezaliman dan keadilan/kecurangan. Golongan konservatif merangkul semua fondasi moral. Akibatnya, jika kita ingin mengusung ide-ide yang sebetulnya bersumber dari moralitas golongan liberal, kita tidak bisa hanya mengemasnya dengan wacana kasih/kezaliman atau keadilan/kecurangan. Kita harus membingkai ulang isu-isu itu dengan nilai-nilai yang mereka anggap penting, namun asing bagi kelompok liberal: loyalitas, kekuasaan, dan kesucian.

Video ini menjelaskan bagaimana penerimaan terhadap pengungsi, sebuah isu yang digadang kaum liberal berdasarkan fondasi kasih/kezaliman, perlu dibingkai ulang dengan nilai-nilai lain untuk menggalang dukungan dari kelompok konservatif (artikel yang lebih lengkap ada di sini):

Bagaimana dengan Indonesia? Mari kita kembali ke contoh pertama yang diajukan si penanya: aborsi. Di Indonesia, beberapa organisasi masyarakat sipil mengadvokasi perluasan akses ke layanan kesehatan reproduktif. Hal ini mencakup hal-hal yang bisa mengundang murka moral (moral outrage) golongan konservatif, misalnya layanan kontrasepsi ke orang yang belum menikah (melanggar KUHP pasal 534), dan aborsi aman sampai usia kehamilan tertentu bagi semua perempuan.

Advokasi ini bergerak sesuai prinsip pengurangan dampak buruk (harm reduction). Dalam prinsip ini, yang berusaha dikurangi adalah dampak buruk dari sebuah perilaku (misalnya kehamilan berisiko atau tidak diinginkan akibat hubungan seks di luar nikah di kalangan remaja), dan bukan perilaku itu sendiri (seks di luar pernikahan).

Prinsip pengurangan dampak buruk berpijak dari realita, bukan utopia. Prinsip ini menerima bahwa perilaku yang dianggap melanggar norma adalah kenyataan hidup yang tidak perlu dikecam atau dikutuk. Karena itu, prinsip pengurangan dampak negatif menolak stigmatisasi dan penghakiman pada orang yang mengalami masalah.

Prinsip harm reduction juga pragmatis dan rasional: lebih efisien dan efektif apabila uang, tenaga, dan waktu dicurahkan untuk mengurangi imbas negatif perilaku tersebut, daripada berupaya agar perilaku ini hilang sama sekali.

Argumen yang sering dipakai untuk perluasan akses layanan reproduksi kesehatan selama ini memang adalah demi mencegah penderitaan yang lebih besar akibat penyakit kelamin, HIV, dan kehamilan tak direncanakan. Jelas bisa kita lihat bahwa upaya harm reduction beranjak dari fondasi moral kasih/kezaliman.

Kita bisa membayangkan kalangan konservatif menolak upaya ini, berdasarkan fondasi kesucian/degradasi (“Orang-orang ini menodai tubuhnya dengan berzinah”, “Zinah dan aborsi adalah dosa besar”), dipadukan dengan keadilan/kecurangan (“Orang-orang ini layak mendapat azab sesuai dengan dosanya, tidak perlu ditolong”).

Menurut studi yang kita kutip di atas, kita harus membungkus argumen upaya harm reduction menggunakan fondasi moral di luar kasih/kezaliman. Tapi apa? Mungkin kita bisa menggunakan argumen “perluasan akses kontrasepsi justru melindungi keluarga kita dari hal-hal yang mencemari pernikahan” (kesucian/degradasi). Argumen lain: “perluasan akses kontrasepsi dan aborsi membantu memastikan, tak seorangpun akan mendapat mudarat yang seharusnya tidak layak menimpanya” (fairness/cheating dengan penekanan pada asas proposionalitas, bukan persamaan).

Bagaimana dengan perlindungan hak hidup LGBT yang jelas-jelas beranjak dari fondasi moral kasih/kezaliman? Berdasarkan observasi, saya berpendapat ada dua hal yang dominan di balik homofobia mayoritas orang Indonesia. Pertama adalah rasa jijik yang intens, dan umumnya ini terkait perilaku seksual yang dianggap monopoli laki-laki gay. Kedua adalah “takut ketularan”. Saya yakin sejak lama orang Indonesia sudah mengenal “banci” “wadam” dan “gay”, namun begitu istilah LGBT muncul banyak yang menduga ini menjadi sebuah gerakan untuk merekrut pengikut (sekelas dengan komunisme; sebagaimana divisualisasikan dalam foto di awal artikel).

Mari bayangkan bagaimana kita bisa membingkai ulang argumen melindungi hak hidup LGBT dengan fondasi moral yang dijunjung kaum konservatif. Apa yang terjadi tahun 2015 di Amerika Serikat mungkin bisa dijadikan rujukan. Tahun itu, Mahkamah Agung Amerika Serikat akhirnya menerima tuntutan untuk memperluas definisi pernikahan, sehingga pernikahan sesama jenis menjadi legal.

Banyak pengamat berpendapat bahwa salah satu faktor keberhasilan tuntutan ini adalah berubahnya argumen pendukung pernikahan sesama jenis. Awalnya argumen mereka berputar di topik persamaan hak dan “tidak ada satu pihak pun yang dirugikan” (fondasi harm/care). Argumen ini kemudian diubah menjadi argumen tentang mengukuhkan komunitas (fondasi loyalty/betrayal). Menurut Ted Olson, salah satu pengacara yang mengajukan tuntutan ke Mahkamah Agung (kebetulan seorang heteroseksual Republikan):

“We believe that a conservative value is stable relationships and stable community, and loving individuals coming together and forming a basis that is a building block of our society, which includes marriage.”

Sebelumnya, kaum konservatif Amerika melihat homoseksual sebagai bentuk degradasi moral, dan melihat hak bagi kaum gay untuk menikah adalah persamaan hak demi persamaan itu sendiri. Setelah strategi advokasi baru diluncurkan, makin banyak kaum konservatif yang melihat bahwa sama seperti pernikahan heteroseksual, pernikahan sesama jenis pun dilandasi respek, komitmen, dan tanggung jawab.

Dengan kata lain, tolok ukur strategi advokasi ini terletak di sejauh mana kaum konservatif bisa melihat LGBT sebagai manusia biasa yang mampu menegakkan nilai-nilai konservatif Amerika, seperti tanggung jawab, respek pada hirarki sosial dan tradisi, kontribusi pada komunitas, kepatuhan, patritotisme, dan religiusitas.

Di Amerika, ini bisa terjadi karena terus meningkatnya kuantitas dan kualitas kontak antara kaum konservatif-heteroseksual dengan kelompok LGBT. Ada dua faktor pendukung: makin banyak LGBT yang melela (coming out) —termasuk mereka yang berstatus sosial tinggi, dan makin banyak materi budaya pop yang memperlihatkan kesamaan LGBT dengan heteroseksual, mulai dari hal-hal superfisial sampai sistem nilai dan ideologi.

Jelas bahwa dua kondisi ini belum terjadi di Indonesia —mungkin karena tidak ada yang berani memulainya. Selama kondisi ini belum terjadi, maka sulit mengharapkan kelompok konservatif-mayoritas di Indonesia berhenti menganggap LGBT sebagai ancaman yang harus dimusnahkan, sehingga mereka bersedia membiarkan liyan ini hidup sebagai tetangga mereka.

Selain itu, di Indonesia tidak terbuka kesempatan bagi kelompok marginal (bukan hanya LGBT) untuk bisa menunjukkan bahwa sama seperti mayoritas, mereka pun menjunjung tinggi nilai-nilai “orang Indonesia”. Di sini “orang Indonesia” merujuk pada sebuah super-tribe yang melintasi suku, ras, dan agama. Mereka tidak bisa, karena identitas super-tribe saat ini masih hampa makna. Tidak ada pemahaman kuat dan seragam tentang apa itu “berpikir, merasa, dan bertindak seperti orang Indonesia”. Kekosongan ini lantas diisi oleh agama, dan ini bisa jadi melanggengkan penolakan hak hidup LGBT dan pemeluk beberapa agama minoritas di Indonesia.

Singkatnya, untuk mengusung prakarsa yang bertentangan dengan pandangan moral mayoritas, isu-isu itu harus dibingkai ulang memakai fondasi moral yang dijunjung kelompok konservatif. Di satu sisi, kita butuh kreativitas untuk menemukan wacana yang tepat. Di sisi lain, wacana ini akan gagal selama tidak muncul kondisi-kondisi lain dalam masyarakat yang memberi angin untuk terus melambungkannya.

Satu lagi sebelum selesai: jika Anda punya pertanyaan tentang komunikasi untuk sektor nirlaba, baik dalam rangka mengubah kebijakan atau perilaku masyarakat, silakan bertanya lewat Twitter kami @C4C_ID dengan mencantumkan #AskC4C.

--

--

Paramita Mohamad
Communication for Change

CEO of Communication for Change. We work with those who want to make Indonesia suck less, by helping them get buy-in and make changes.