Keterbatasan edukasi dan informasi untuk mengubah perilaku

Mengapa menyadarkan orang dengan mengedukasinya tidak cukup? Communication for Change mencoba menjawabnya dengan mendalami faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia.

Andri Kusuma
Communication for Change
6 min readMay 29, 2020

--

Gambar dari Baileey Heedick di Unsplash

Ramainya pasar dan pusat perbelanjaan menjelang Idulfitri membuat kita marah dan mempertanyakan kembali kepatuhan masyarakat terhadap pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Kita yang jengkel lantas menggerutu sambil bertanya, “Apa sih yang ada di pikiran mereka? Apa mereka tidak sadar bahwa kegiatan mereka tidak hanya mengancam diri mereka sendiri tapi juga orang lain?”

Pertanyaan ini muncul karena kita berasumsi bahwa seseorang atau kelompok tidak bertingkah laku tertentu karena mereka belum sadar tentang konsekuensi atau cara yang lebih benar, dan edukasi bisa memperbaikinya. Menurut kami asumsi ini keliru. Sebagai perusahaan yang telah menangani berbagai kampanye perubahan perilaku, menurut kami di Communication for Change kesadaran dan pemahaman (yang menjadi tujuan edukasi) hanyalah elemen kecil untuk mendorong perubahan perilaku.

Untuk berbagi pemahaman ini, kami menyelenggarakan sesi webinar untuk umum minggu lalu (20 Mei 2020). Artikel ini merangkum poin-poin diskusi yang telah kami bahas.

Mari kita berkaca dari perilaku kita sendiri

Tahukah Anda bahwa kita perlu berolahraga minimal 150 menit setiap minggu untuk mencegah penyakit-penyakit degeneratif seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular? Sekarang, coba jujur pada diri Anda sendiri: sudahkah Anda berolahraga dengan memenuhi jumlah waktu minimal tersebut? Beberapa data menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil orang Indonesia di atas usia 17 tahun yang punya kebiasaan ini.

Mari kita fokus pada kebiasaan merokok untuk sesi ini. Perokok kemungkinan besar tahu bahwa merokok membawa banyak risiko penyakit. Lantas, mengapa masih banyak orang yang merokok di Indonesia? Dalam konteks yang akan kita bahas, mengapa masih banyak anak berusia di bawah 17 tahun yang akhirnya mulai merokok (dan lantas menjadi kebiasaan)?

The Tobacco Atlas menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara peringkat ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia dan 41% remaja laki-laki usia 13–15 tahun adalah perokok.

Banyak pihak sudah berupaya untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia. Berikut beberapa kampanye yang dijalankan untuk mencapai hal tersebut:

Apakah kampanye-kampanye di atas membuat anak di bawah umur di Indonesia tergerak untuk tidak mulai merokok?

Sekarang, mari bandingkan iklan-iklan tersebut dengan kampanye yang berjudul TRUTH, sebuah program kampanye untuk menurunkan angka perokok remaja di Amerika Serikat yang disponsori oleh sebuah organisasi masyarakat sipil (bukan pemerintah).

Iklan pertama berjudul Body bag memperlihatkan bagaimana banyaknya 1.200 orang yang meninggal setiap harinya karena merokok dengan meletakkan 1.200 kantong mayat di depan kantor sebuah perusahaan rokok.

Selain Body bag, TRUTH juga meluncurkan kampanye lain dengan aksi teatrikal 1.200 orang secara serentak terjatuh di depan gedung perusahaan rokok Amerika Serikat.

Tak berhenti dengan penggambaran 1.200 orang yang meninggal setiap harinya karena merokok, TRUTH juga meluncurkan iklan lainnya berjudul Replacement smokers. Iklan ini menggunakan maneken untuk menggambarkan bagaimana perusahaan rokok perlu merekrut perokok baru yang berusia muda untuk menggantikan perokok yang meninggal karena berbagai penyakit.

Setelah selesai dan dilakukan pengukuran efektivitas, kampanye tersebut berhasil mencegah 456.231 remaja di AS untuk merokok.

Video studi pengukuran efektivitas kampanye TRUTH oleh RTI Internasional

Apa yang membuatnya efektif? Menurut kami, kampanye ini efektif justru karena tidak fokus untuk mengedukasi atau memberi informasi, tapi menyasar sisi emosi dan identitas sosial anak muda. Bagaimana bisa? Untuk memahami bagaimana perubahan perilaku bisa terjadi, mari kita pahami terlebih dahulu elemen-elemen dari perilaku seseorang.

Perilaku manusia dari sudut pandang psikologi

Terinspirasi dari hukum mekanika Newton, Aline Holzwarth seorang pakar ilmu perilaku kesehatan terapan melihat perilaku manusia dalam dua hukum berikut ini (sebetulnya ada tiga, tapi yang relevan di sini ada dua):

Tiga hukum perilaku menurut Aline Holzwarth dari Behavioral Economic

Pertama, perubahan perilaku akan mengikuti status quo, kecuali ada perubahan dalam hambatan dan dorongan. Menurut Holzwarth, kondisi default tingkah laku manusia adalah hidup dalam status quo, misalnya mengikuti kebiasaan atau menjalankan norma sosial.

Holzwarth melihat bahwa manusia hanya akan bergerak meninggalkan status quo jika muncul gesekan atau hambatan (friction) atau dorongan (fuel). Tanpa adanya perubahan dalam dua hal tersebut, manusia akan tetap mengikuti kebiasaan atau menuruti norma sosial yang dominan.

Kedua, perilaku adalah hasil interaksi dari kepribadian dan lingkungan. Menurut Holzwarth, perilaku manusia tidak berlangsung dalam ruang vakum. Perilaku (B) adalah perpaduan dari dua faktor utama yakni kepribadian (P)dan lingkungan (E). Kepribadian merujuk pada kecenderungan internal seseorang seperti sifat (trait), intelegensia, dan berbagai hal yang dikategorisasikan sebagai “preferensi” dalam ilmu ekonomi. Sementara lingkungan adalah hal-hal eksternal seseorang baik dalam aspek sosial seperti perilaku orang-orang di sekitarnya, regulasi, norma sosial dan aspek fisik seperti infrastruktur, suhu, kepadatana, dan lain-lain.

Berdasarkan hukum tersebut, perilaku manusia bisa dilihat dalam metafora gajah-kusir-lintasan. Berat seekor gajah bisa mencapai 6 ton, sementara kusir rata-rata beratnya hanya 60kg. Gajah menjadi pihak dominan di antara tiga hal tersebut karena dapat dengan mudah memenangkan perselisihan dengan kusir. Namun, gajah juga tidak akan bisa bergerak jika terdapat halangan dalam lintasan jalannya.

Dalam metafora ini, kusir mewakili aspek rasional dan intensional dari perilaku kita. Kusir yang memberi tanda kapan dan ke arah mana gajah harus menuju. Sementara, gajah mewakili sisi status-quo (lihat Hukum 1 di atas) dan emosional-motivasional dari perilaku. Gajah yang mendorong seseorang mau atau terbiasa melakukan sesuatu. Lintasan adalah aspek lingkungan. Keberadaan pendorong atau penghambat di lingkungan turut dapat menentukan berlangsung tidaknya perilaku.

Ilustrasi gajah-kusir-lintasan sebagai metafora perilaku manusia.

Menerapkan aspek emosional dalam kampanye perubahan perilaku

Implikasi dari uraian di atas adalah bahwa untuk mengubah perilaku manusia, seringkali aspek terpenting yang perlu diubah adalah aspek emosional dan bukan kesadaran ataupun wawasan yang dimiliki. Dalam kaitannya dengan contoh kampanye TRUTH di atas, mereka mengambil jalur pendekatan emosional untuk mengubah perilaku merokok. Mereka tidak fokus pada kusir, namun pada gajah.

Merokok di kalangan remaja cenderung dilihat sebagai perilaku yang mencerminkan pemberontakan dan remaja yang memberontak adalah remaja yang keren. Sebaliknya, tidak merokok dilihat sebagai perilaku yang taat aturan dan orang yang taat aturan itu tidak keren (“cupu”). Hal ini bisa kita lihat dari berbagai referensi budaya populer yang menampilkan tokoh-tokoh utama dengan karakter pemberontak sebagai perokok.

Kampanye TRUTH berusaha mengubah persepsi tersebut. Bagaimana seandainya jika tidak merokok justru dilihat sebagai sebuah perilaku pemberontakan? Dan memberontak ke siapa? Beberapa saat sebelum iklan Body bag mulai dirancang, perusahaan-perusahaan rokok besar di AS baru saja divonis membayar ganti rugi yang sangat besar karena mereka terbukti telah menutup-nutupi temuan ilmiah tentang bahaya rokok sebagai bahan adiktif. Fakta ini mengilhami iklan itu, yang lalu mengedepankan perusahaan rokok yang meraup keuntungan dari produknya yang membunuh 1.200 orang setiap harinya sebagai pihak yang pantas untuk dilawan.

Metafora gajah-kusir adalah salah satu pendekatan yang C4C selalu gunakan dalam merancang kampanye perubahan sosial. Metode ini juga kami bahas dalam pelatihan yang kami selenggarakan berjudul Campaign for Social Change. Kelas tersebut akan membantu Anda untuk menyusun strategi komunikasi untuk perubahan perilaku secara bertahap, mulai dari menentukan tujuan, memilih pendekatan, hingga membuat eksekusi kreatif dari kampanye Anda.

Jika Anda tertarik lebih jauh untuk belajar menciptakan perubahan lewat komunikasi, Anda bisa mengikuti kelas ini yang akan dilaksanakan sebentar lagi: di sini.

Sebelum selesai: jika Anda masih punya pertanyaan lebih lanjut tentang perubahan perilaku dan kampanye komunikasi dalam rangka mengubah kebijakan atau perilaku masyarakat, silakan bertanya lewat Twitter kami @C4C_ID dengan mencantumkan #AskC4C.

--

--