Prinsip dasar untuk organisasi yang menerapkan kerja jarak-jauh

Petunjuk buat atasan untuk menyeimbangkan antara keberlangsungan organisasi dengan kewarasan diri sendiri dan bawahan

Paramita Mohamad
Communication for Change
6 min readApr 20, 2020

--

Photo by Lorenzo Belassen on Unsplash

Gara-gara wabah COVID-19, banyak perusahaan atau organisasi yang terpaksa (dan cukup beruntung untuk bisa) menyuruh pegawainya untuk bekerja dari rumah. Ini adalah perubahan besar, yang bagi banyak organisasi harus segera dilakukan tanpa persiapan.

Kebetulan perusahaan kami Communication for Change (C4C) menerapkan kerja jarak-jauh sejak pertama didirikan di Januari 2016. Alasannya sederhana: untuk berhemat dan karena kami (saya dan Misty, pendiri C4C) sudah muak commuting. Sebelumnya kami bekerja di sebuah biro iklan multinasional yang besar, dan sudah biasa menyaksikan betapa kehadiran di kantor tidak berkorelasi dengan produktivitas pegawai.

Untuk berbagi pengalaman melakukan kerja jarak-jauh selama 4 tahun lebih, minggu lalu (15 April 2020) kami menyelenggarakan webinar yang terbuka buat umum. Webinar yang berlangsung selama satu jam ini dihadiri sekitar 70-an peserta di luar anggota tim C4C. Artikel ini merangkum poin yang menurut saya penting. Semoga ini bisa berguna juga buat mereka yang tidak hadir.

Semuanya berawal dari akuntabilitas

Saat peserta webinar mendaftar, kami meminta mereka mengajukan satu pertanyaan yang paling membuat penasaran tentang kerja jarak-jauh. Ternyata kebanyakan pertanyaan berkisar di proses organisasi, misalnya bagaimana menjaga produktivitas, budaya kerja, kedisiplinan, komunikasi.

Saya cukup yakin wabah ini membawa tantangan besar bagi keberlangsungan banyak sekali perusahaan dan lembaga nirlaba. Namun kerja jarak-jauh harus dilakukan, baik karena terpanggil melandaikan kurva atau takut denda PSBB. Jadi apa yang harus dilakukan pimpinan agar bawahan mau dan mampu terus berkontribusi demi kelangsungan organisasi, tanpa harus mengorbankan lebih banyak lagi kesehatan mental sendiri dan orang lain?

Di C4C kami belajar bahwa yang pertama kali harus dilakukan untuk kerja jarak-jauh adalah membuat akuntabilitas menjadi bagian penting budaya perusahaan.

Buat saya, budaya adalah hal-hal yang kita lakukan saat tidak ada yang melihat (“things you do when nobody is watching”). Artinya, jika akuntabilitas terwujud dalam budaya perusahaan, maka setiap saat semua anggota tim C4C tahu tugas atau output apa yang menjadi tanggung jawabnya —tanpa perlu ada yang mengawasi. Tanpa harus diingatkan, mereka pun tahu bahwa setiap keputusan atau tindakan selalu membawa konsekuensi ke perusahaan dan akhirnya ke diri sendiri, baik positif maupun negatif.

Lalu bagaimana cara C4C memastikan budaya akuntabilitas dipraktikkan sehari-hari? Itulah gunanya protokol.

Akuntabilitas dipraktikkan lewat protokol

Yang saya maksud protokol adalah tata cara dalam bekerja dan berkomunikasi. Beberapa orang mungkin menggunakan istilah standard operating procedure (SOP), tapi terus terang saya tidak tahu apa bedanya.

Ada beberapa protokol yang akan saya perkenalkan di sini. Yang pertama adalah untuk setiap output atau deliverable perusahaan (misalnya dokumen strategi, rencana kampanye, konten media sosial), harus jelas siapa pemiliknya (owner), siapa peninjaunya (reviewer), dan jika dirasa perlu, siapa kontributornya. Owner bertanggung jawab atas eksekusi penyelesaian output agar tepat waktu dan sesuai anggaran, sementara reviewer (biasanya lebih senior) bertanggung jawab atas kualitas hasilnya. Tidak ada lagi yang namanya gotong-royong atau kerja kelompok atau collective collegial, karena akan membaurkan tanggung jawab.

Selanjutnya, harus ada kesepakatan sejak awal antara reviewer dan owner tentang kriteria sebuah output dinyatakan selesai dan memenuhi standar. Selain itu, harus juga disepakati kapan saja dan berapa kali reviewer akan memeriksa pekerjaan owner. Di C4C, berlaku motto “review early, review often”. Artinya, jangan menunggu terlalu lama untuk memeriksa, dan buat checkpoint sesering mungkin. Namun jangan menginterupsi owner untuk memeriksa kerjanya di luar kesepakatan, karena ini yang namanya micromanaging. Selain itu, reviewer harus memberi umpan balik atau koreksi ke owner secepat mungkin, sejelas mungkin, dan sejujur mungkin.

Di luar pengerjaan output untuk proyek, kami juga punya protokol rutin lain:

  • Tiap Jumat sore, kami akan melakukan end-of-week meeting lewat videokonferensi. Isinya adalah menginventaris apa saja yang berhasil dicapai di tiap proyek, output atau tugas apa yang tidak berhasil diselesaikan, dan apa saja yang perlu dikerjakan minggu depan. Biasanya juga ada perayaan kecil untuk keberhasilan atau pujian untuk pekerjaan yang bagus.
  • Tiap Senin siang, kami akan melakukan start-of-the-week meeting. Dulu sebelum pandemi kami melakukannya setelah makan siang bersama, namun sekarang hanya bisa lewat videokonferensi. Kami akan membahas arus kas perusahaan. Selanjutnya kami akan membahas apa saja yang akan dikerjakan tiap anggota tim tiap hari dalam satu minggu ke depan. Di sinilah kami punya kesempatan untuk mengatur ulang beban kerja jika ada yang terlalu sibuk atau ada yang punya banyak down time.
  • Tiap pagi sampai sebelum jam 10, setiap orang akan melakukan check-in singkat lewat aplikasi chat. Dia akan menuliskan tugas atau tenggatnya hari ini. Selain itu, dia boleh menyebutkan kapan dia tidak akan bisa dikontak oleh rekan kerjanya. Terakhir, semenjak wabah, kami juga berbagi status kesehatan fisik dan suasana psikologis kami. Ini adalah penanda bahwa jam kerja hari itu sudah dimulai.
  • Tiap malam (kalau bisa sebelum jam 7), setiap anggota tim biasanya melakukan check-out tentang apa saja yang sudah berhasil dia selesaikan, hambatan apa yang dia temui, atau perkembangan baru apa saja yang terjadi. Ini pun berlangsung lewat aplikasi chat. Kalau mau, anggota tim boleh memberi penilaian harinya, dalam skala 1 (sangat buruk) sampai 5 (sangat gemIlang). Namun hal yang terpenting dari daily check-out adalah mengumumkan ke diri sendiri dan kolega bahwa hari kerja sudah berakhir.

Protokol lainnya yang penting adalah protokol komunikasi:

  • Di satu ekstrim, jika benar-benar genting, gunakan telepon untuk menghubungi atasan.
  • Di ekstrim lainnya, gunakan email jika anggota tim tidak mengharapkan respons yang segera (6 sampai 24 jam) dari si penerima. Kami tidak mengharapkan email akan dibalas sesudah jam 7 malam dan sebelum jam 9 pagi.
  • Di antara kedua ekstrim itu, kami berkomunikasi menggunakan aplikasi chat khusus yang bukan WhatsApp, atau jika dirasa perlu lewat videokonferensi.

Itulah contoh-contoh protokol yang berlaku di C4C. Terakhir, protokol menjadi lebih mudah dilakukan secara konsisten jika dibantu aplikasi yang tepat.

Pilih aplikasi hanya jika protokol sudah dipahami

Kami memandang aplikasi sebagai alat bantu untuk menegakkan protokol. Aplikasi yang harus mengikuti cara kerja kami, dan bukan aplikasi yang mengatur kita.

Contohnya adalah dalam protokol komunikasi. Kami menggunakan Google Chat dan Google Meet atau Zoom. Penting buat kami bahwa aplikasi chat punya fitur ruangan atau saluran yang berbeda untuk tiap proyek. Selain itu, integrasi dengan aplikasi lain juga penting.

Contoh lain aplikasi hanyalah pendukung protokol adalah dalam mengolah output. Saya setuju Buddha bahwa “attachment is the root of suffering”, walau apa yang beliau maksud dengan “attachment” beda dengan saya. Kami menghindari lampiran di email karena ini menyulitkan version control. Bagaimana jika ada masukan dari beberapa kontibutor yang bekerja dengan file di komputer masing-masing? Karena itulah kami biasanya menggunakan aplikasi berbasis cloud yang memudahkan kolaborasi, seperti G Suite, Office 365, Beautiful.ai (untuk desain slideshow), Lucid Press (untuk desktop publishing), Jurnal.ID (untuk pembukuan).

Semua protokol check-in dan check-out kami —termasuk task assignment dan workload management— dibantu oleh aplikasi ClickUp. Kami tidak menyarankan anggota tim memulai hari kerja dengan memeriksa email. Yang disarankan adalah memulai hari dengan melihat tugas hari ini di ClickUp.

Bagaimana dengan karakteristik pegawai?

Di sinilah beda terbesar antara situasi C4C dan situasi mereka yang mendadak menerapkan kerja jarak-jauh. Karena sejak awal sudah tahu akan menerapkan gaya ini, maka kami pun merekrut mereka yang kami nilai punya disiplin diri yang tinggi. Saya percaya kalau kita menghabiskan banyak waktu untuk mendisiplinkan seorang bawahan, saya salah dalam merekrutnya. Sementara saya paham organisasi yang mendadak harus kerja jarak-jauh tidak punya kemewahan ini.

Mungkin Anda merasa bahwa yang kami biasa lakukan dalam kerja jarak-jauh sangat merepotkan untuk sesuatu yang sifatnya temporer. Namun saya percaya bahwa kita masih akan tinggal di rumah dalam waktu lama. Beberapa epidemiologis pun percaya bahwa social distancing akan bisa berlangsung kembali untuk sementara (intermittent) selama mayoritas penduduk dunia belum diimunisasi vaksin CoV-SARS2.

Selain itu, seandainya pun saya salah dan Anda akan bekerja kembali ke kantor dalam beberapa minggu ke depan, mungkin Anda ingin mencoba merasakan menyenangkannya bekerja secara akuntabel, dengan protokol yang jelas, dan menggunakan aplikasi yang memudahkan kerja.

--

--

Paramita Mohamad
Communication for Change

CEO of Communication for Change. We work with those who want to make Indonesia suck less, by helping them get buy-in and make changes.