Cermin Pemikiran: Algoritma Media Sosial yang Dipersonalisasi

Haliza Arfa
COMPFEST
Published in
5 min readJul 16, 2024

Baca Dalam Bahasa Inggris

Apakah kalian pernah merasa bahwa apa yang kita lihat di media sosial sangat menggambarkan diri sendiri, layaknya kanvas yang isinya di-copy and paste dari apa yang tertera di kepala? Konten yang muncul tiba-tiba sangat sesuai dengan minat kita atau pendapat yang kita setujui. Fenomena ini merupakan bagian dari perkembangan algoritma media sosial, tetapi bagaimana caranya bisa seperti itu?

Evolusi Algoritma Media Sosial

Algoritma media sosial pada awalnya dirancang untuk menampilkan konten secara kronologis. Feed disusun berdasarkan urutan waktu suatu konten diunggah. Ketika suatu aplikasi dibuka, konten yang paling awal muncul biasanya adalah konten yang paling baru. Pada awalnya, algoritma ini sangat bergantung dengan halaman yang memang diikuti oleh pengguna, menampilkan unggahan terbaru dari masing-masing halaman tersebut. Namun, seiring dengan jumlah konten yang tumbuh membludak, cara kerja platform media sosial mulai beralih ke algoritma yang dipersonalisasi. Algoritma model ini cenderung membuat pengguna betah berlama-lama menyusuri aplikasi karena sesuai dengan preferensi dan minat mereka.

Bagaimana Cara Kerjanya?

Cara kerjanya sangat bergantung pada analisis dari data interaksi pengguna. Hal ini mencakup pelacakan dari apa yang diklik pengguna: tombol like maupun tombol share. Interaksi-interaksi ini selanjutnya dianalisis untuk memahami jenis konten yang kita sukai, topik-topik yang menarik untuk kita, serta orang-orang yang sering berinteraksi dengan kita. Sebagai contoh, jika kita seringkali menekan tombol suka untuk konten masak-memasak, algoritma menganalisis dua hal:

  1. Terhadap konten masak-memasak lainnya: Apakah kita akan menyukainya juga?
  2. Terhadap kita: Apakah ada stok konten serupa dengan yang sebelumnya kita sukai?

Pengalaman Pengguna

Cara algoritma media sosial mempersonalisasi feed mempengaruhi bagaimana orang-orang menggunakan platform tersebut secara signifikan. Dengan menampilkan konten yang sesuai dengan minat mereka, pengguna akan merasa lebih puas dengan platform tersebut. Hal ini karena pengguna akan lebih sedikit melihat konten yang tidak mereka pedulikan dan lebih banyak melihat konten yang mereka senangi. Dengan begitu, pengguna akan cenderung berlama-lama menggunakan platform terkait.

Gelembung Filter

Gelembung filter (filter bubble) merupakan istilah yang dipopulerkan seorang aktivis internet, Eli Pariser. Berada dalam suatu gelembung filter berarti informasi dari luar terhalangi. “Informasi dari luar” ini adalah perspektif-perspektif yang berbeda dari apa yang biasanya diyakini pengguna. Bahkan, ada kemungkinan seorang pengguna tidak sadar bahwa mereka berada dalam gelembung filter, terisolasi tanpa tahu apa yang terjadi. Ketika banyak orang terjebak dalam gelembung mereka sendiri, kesalahpahaman pun dengan mudahnya timbul karena mereka hanya terpapar informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka. Terkadang, mereka hanya mempercayai apa yang ingin mereka percayai.

Bias dari Algoritma

Zaman dahulu, manusia cenderung belajar dari kelompok mereka sendiri atau dari tokoh-tokoh yang dianggap lebih terpercaya. Bias ini erat kaitannya dengan sumber informasi itu sendiri. Sekarang, dengan adanya algoritma media sosial, fokusnya telah bergeser dan biasnya kini terletak pada keyakinan pribadi yang sudah ada sebelumnya. Ide dan pendapat yang populer tersebar dengan cepat dan pengguna media sosial cenderung berinteraksi dengan unggahan yang mendapatkan banyak likes. Akibatnya, algoritma akan mempromosikan konten serupa, menciptakan siklus di mana hanya ide-ide populer yang tersorot sementara perspektif lain terabaikan.

Manipulasi dan Adiksi

Algoritma media sosial dirancang untuk membuat pengguna tetap tertarik, yang sayangnya dapat menimbulkan manipulasi dan kecanduan. Celah psikologis pengguna dimanfaatkan melalui konten yang adiktif. Ketika pengguna sudah kecanduan, sulit bagi mereka untuk berhenti menggunakan platform tersebut — bahkan untuk waktu yang sebentar. Selain itu, algoritma pun dapat memanipulasi perilaku pengguna dengan mempromosikan ide atau produk tertentu secara berulang, yang akhirnya mempengaruhi keputusan dan pendapat pengguna secara implisit.

Privasi Pengguna

Algoritma media sosial yang dipersonalisasi menimbulkan kekhawatiran tentang sejauh mana data pengguna dimanfaatkan. Untuk dapat menyarankan konten yang sesuai, algoritma menganalisis data seperti informasi usia, riwayat penelusuran, hingga lokasi. Hal ini memicu perdebatan tentang perlindungan data dan etika privasi pengguna. Terdapat hukum serta regulasi tertentu yang dibentuk, yang masing-masingn menekankan perlunya persetujuan atau consent yang jelas dari pengguna platform.

Iklan yang Dipersonalisasi

Tentu kita pernah mengalami situasi di mana setelah mengetik sesuatu di internet, tiba-tiba iklan terkait hal itu muncul ketika membuka media sosial. Hal ini merupakan personalisasi secara langsung. Contoh sebaliknya, personalisasi tidak langsung: jika seorang pengguna menyukai unggahan-unggahan tentang journaling, pengguna tersebut mungkin akan mulai menemui iklan tentang produk-produk pendukung seperti buku, pulpen, dan lainnya. Ini terjadi karena algoritma memanfaatkan berbagai data di ponsel untuk menyesuaikan iklan dengan minat seseorang. Personalisasi seperti ini terbilang strategi pemasaran yang sukses karena pengguna cenderung membeli sesuatu ketika mereka merasa terinspirasi atau tertarik pada suatu topik.

AI dan Perannya

Peran Artificial Intelligence (AI) sangatlah penting. AI bertindak sebagai asisten yang mempersonalisasi konten dan menghubungkan berbagai informasi. Sistem algoritma melakukan analisis data berdasarkan interaksi pengguna. Algoritma, didukung AI, terus menerus belajar dengan menggunakan data terbaru sehingga prediksi konten akan semakin akurat. Itulah mengapa semakin lama kita menggunakan suatu platform, semakin platform tersebut terasa seperti bagian dari diri kita.

Masa Depan Algoritma Media Sosial

Di masa depan, algoritma media sosial akan dipengaruhi oleh kemajuan berlanjut dari AI dan machine learning. Teknologi akan menjadi lebih akurat dan tepat sasaran dalam memprediksi dan memahami preferensi pengguna. Perkembangan ini kemungkinan akan menekankan pentingnya aspek etika, termasuk upaya untuk mengurangi bias serta memastikan konten yang disajikan lebih beragam. Selain itu, ada juga potensi untuk meningkatkan perlindungan privasi pengguna dan keamanan data.

Kesimpulan

Algoritma media sosial bertindak sebagai cermin dari pikiran kita, yang merefleksikan minat, perilaku, hingga preferensi. Hal ini telah mengubah cara kita berinteraksi secara online dengan menyajikan konten yang sangat sesuai dengan kita sebagai individu. Namun, refleksi yang “terlalu identik” ini dapat menciptakan fenomena seperti gelembung filter yang memiliki banyak dampak negatif. Kekhawatiran lain pun muncul berkaitan dengan privasi, bias, dan potensi manipulasi. Memahami dampak dari algoritma yang dipersonalisasi ini sangat penting untuk kita dalam menjelajahi internet dan media sosial dengan sesuai dan bertanggung jawab.

Algoritma memiliki hubungan erat dengan AI dan pemrosesan data, topik yang bisa dipelajari lebih dalam di COMPFEST! Jangan lewatkan kesempatan untuk menjadi bagian dari acara ini, ikuti COMPFEST di Instagram, Twitter, Facebook, LinkedIn, dan kunjungi situs web kami di compfest.id. Pahami tren teknologi masa depan dan terus mengikuti perkembangannya melalui COMPFEST! (Editorial Marketing/Haliza)

Referensi

--

--