Aku iri pada pohon
Dulu kukira semua kegagalan itu adalah cara untuk berproses menjadi dewasa. Fase-fase yang wajar dan harus selalu dilalui oleh semua manusia. Seperti halnya pohon-pohon liar di hutan, dari tunas, lama kelamaan dia tumbuh, menjadi lebih besar dan tinggi, batangnya lebih kuat, daunnya semakin rindang, terkadang meranggas, dan tumbuh lagi. Dia begitu kuat untuk bertahan dan beradaptasi. Dia benar-benar hidup. Banyak hal yang berubah darinya, tapi dia tetap pohon, yang bertahan secara alami dengan menyerap unsur dari tanah untuk membuatnya tetap hidup. Dia bisa tumbuh subur dari tanah yang baik, dan terkadang dia bisa juga membuat tanah menjadi subur. Dia tetap bertumbuh sebagai peneduh, dengan ikhlas menyerap karbon dioksida dan memberikan oksigen pada semesta. Dia tetap memberi sejuk. Dan saat mati-pun, dia tetap merelakan batangnya untuk dimanfaatkan untuk keperluan makhluk-makhluk disekitarnya.
Tapi apa yang terjadi padaku? Aku bahkan merasa layu, setiap kali berada pada suatu fase tumbuh. Padahal cukup banyak air di sekitarku, banyak pupuk yang bisa kuserap, dan aku dirawat lebih baik daripada pohon. Aku iri padanya. Aku kurang bisa menyerap semua yang disekitarku, untuk mengambil dan memberi sesuai dengan kebutuhan untukku bertumbuh.
Aku tidak seperti dia yang mampu dengan ikhlas dan alami memberi keteduhan. Aku pun belum bisa memberikan apapun jika aku mati sekarang.
“Aku iri padanya, aku ingin hidup seperti dia (pohon), yang bisa berarti sampai mati”