Mengelola Penasaran

Butterfly_Pea
Sebuah Pengakuan — @ButterflyPea
2 min readJun 7, 2020

Setiap manusia terlahir dengan kemampuan unik dalam hal “merasa”. Kepekaan dalam hal “merasa” , mempercepat dalam membaca situasi ataupun merespon suatu kondisi. Namun tidak selamanya mudah untuk dijalani, terlebih saat “peka” dalam menyikapi hubungan personal antara laki-laki dan perempuan. Tidak bisa dibohongi merupakan suatu momok yang menakutkan kadang-kadang.

Setiap manusia terlahir dengan kemampuan unik dalam hal “merasa”. Kepekaan dalam hal “merasa” , mempercepat dalam membaca situasi ataupun merespon suatu kondisi. Namun tidak selamanya mudah untuk dijalani, terlebih saat “peka” dalam menyikapi hubungan personal antara laki-laki dan perempuan. Tidak bisa dibohongi merupakan suatu momok yang menakutkan kadang-kadang.

Setiap personal sudah pasti pernah menyimpan rahasia-rahasia yang belum tentu mudah untuk dibagi dengan siapapun. Bayangkan saja,dalam suatu kasus, jika sepasang manusia yang sedang berkomitmen dalam suatu hubungan, salah satu pihak memiliki kepekaan berlebih dan merasa tahu bahwa pasangannya menyimpan rahasia. Sebagai manusia yang tak lepas dari rasa penasaran, akan berimbas pada munculnya asumsi, curiga, tidak percaya, dan bahkan merasa tidak dilibatkan dalam hidup pasangannya. Sayangnya rasa penasaran ini lebih parah jika bercampur dengan “ego” dan dijadikan alat pemicu keretakan. Apalagi kalau ditambah dengan bumbu-bumbu mengenai adanya tuntutan untuk saling terbuka dalam hal apapun ketika sudah menjadi pasangan, yanga tanpa sadar mengesampingkan adanya ranah privasi. Padahal belum tentu rahasia itu berkaitan dengan hubungan yang sedang dijalani. Bisa jadi rahasia-rahasia itu susah utnuk diungkapkan, atau mungkin terlalu sakit untuk diingat-ingat.

Dalam situasi seperti itulah anugerah pemberian Tuhan yang bernama “kepekaan” ini akan berubah peran menjadi cobaan terberat dalam sebuah hubungan. Secara pribadi, akupun sudah berkali-kali disibukkan dengan kejadian-kejadian semacam ini. Hal tersulit adalah ketika aku mulai berasumsi, dan dugaan-dugaanku itu semakin menumpuk, semua itu hanya akan menjadi beban berat didalam pikiranku, dan parahnya kinerja otakku terhambat. Aku menjadi pendiam, pemurung, dan sulit berkonstrasi dalam segala hal. Perasaanku menjadi kacau tidak karuan, depresi, menyalahkan diri sendiri, dan kelelahan fisik-pun tidak dapat dihindari.

Dari beberapa kejadian yang hampir serupa aku berusaha mencari pola. Sampai akhirnya aku belajar tentang perlunya kolaborasi antara kepekaan rasa dengan logika berpikir, jangan sampai kepekaan dalam hal merasa dan membaca kondisi berjalan sendiri tanpa dibarengi dengan pola pikir positif. Aku meyakini semua hal bisa dibicarakan, sekuat apapun kepekaan seseorang dalam melihat tanda, tidak boleh serta merta menjadi asumsi yang tanpa klarifikasi.

Aku memilih mengolah rasa penasaranku menjadi sebuah pertanyaan yang secara lahir bisa ku-sampaikan.Berbekal dengan keyakinan bahwa akan selalu ada penjelasan dalam setiap pertanyaan walaupun terkadang bukan dalam bentuk jawaban, aku mencoba mengartikulasi rasa.

--

--

Butterfly_Pea
Sebuah Pengakuan — @ButterflyPea

Coffee Lover, Tea Artists, Secret Admirer. Menyederhanakan kata, Mendefinisi rasa, Membahasakan warna. Berbagi untuk mencari arti.