Rumit

Butterfly_Pea
Sebuah Pengakuan — @ButterflyPea
1 min readJun 7, 2020

Kepala ini berat, sesak dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu saja ingin diuraikan satu persatu untuk memilih (pertanyaan) mana yang harus segera ditulis jawabannya. Berjam-jam hanya duduk, memegang pena, menghadap secarik kertas, lalu terdiam. Jam dinding berdetak seakan menghitung berapa lama aku hanya terpaku di kursi. Aku seolah tidak sadar sedang berlomba dengan waktu.

Detikpun kian berganti menit, tak sadar berjam-jampun berlalu, kertas didepanku masih saja kosong. Tanganku seolah membeku jari-jariku kelu. Mereka enggan bergerak, lemas, lemah, serasa lumpuh, tak kuasa untuk menggoreskan jawaban pada kertas yang sudah kusiapkan. Padahal aku tahu bahwa ide-ku tak terbatas, namun tetap saja raga malas untuk berperan sebagai penyintas.

Beribu pertanyaan dan anggapan bergumul dalam otak, mencoba merespon bisikan-bisikan perasaan, perkataan dari hati. Pertarungan hebat antara “rasa” dan “pikiran”, mereka sering salah persepsi, bukannya mememecahkan solusi malah memperdebatkan darimana asalnya pertanyaan-pertanyaan ini. Diskusi sengit yang sudah seringkali terjadi, nyatanya hanya berujung lelah tanpa aksi.

Terlalu banyak pertimbangan, begitu banyak keraguan, keluhan-keluahan semakin lama makin menggunung, menjelma menjadi parasit menyedot kekuatan dan keberanian. Membuat jiwa semakin tenggelam dalam ketakutan dan ke-tidak-percayaan. Berteriak tanpa kata, meronta-ronta namun tak bersuara. Bagaimana bisa ada solusi jika dari awal ternyata selah menyikapi.

--

--

Butterfly_Pea
Sebuah Pengakuan — @ButterflyPea

Coffee Lover, Tea Artists, Secret Admirer. Menyederhanakan kata, Mendefinisi rasa, Membahasakan warna. Berbagi untuk mencari arti.