Jadikan Ini Harga Diriku (Sampel)

Rick Windson
Writing Independently
7 min readJun 19, 2023

Sebuah Fiksi Sejarah tentang Indonesia Kolonial.

Ini adalah sampel untuk fiksi pendek sejarah saya yang akan diterbitkan, yang sebelumnya mendapat penghargaan Cerita Pendek Terbaik pada ajang Universitas Indonesia Art War ke-6 (2019).

Jadikan Ini Harga Diriku akan terbit di Karyakarsa, Google Books, Trakteer, dan Amazon Kindle dalam waktu dekat.

Cerita ini tersedia dalam Bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

Jawa, Hindia Timur, abad ke-19. Kehidupan sebuah keluarga di perbatasan Jawa Tengah diubah selamanya oleh sekelompok bandit keliling. Upaya balas dendam Perwira Kavaleri Belanda, Robert van Holt diukir dalam baja dingin darah dalam perang saudara paling berdarah yang pernah disaksikan di Tanah Mataram.

Ini adalah penggambaran realistis dari Perang Jawa yang kontroversial dan memakan ratusan ribu korban jiwa, namun belum dijelajahi. Cerita ini ditulis berdasarkan penelitian sejarah dan kontekstual.

Setelah hari yang panjang, keluarga van Holt pun berkumpul untuk makan terakhir hari itu. Matahari mulai tenggelam di ufuk jauh, dan karena Mama gemar dengan senja dan bries yang diberikan waktu tersebut, mereka meletakkan meja makan di teras depan rumah dua-tingkat itu. Petani yang mereka pekerjakan untuk menggarap sawah sudah pulang karena waktu menunjuk maghreb, dan karenanya tinggal tiga lah dari mereka: Mama, Cornelius, dan Robert. Harusnya ada empat; Cornelia, adik Robert, dikirim ke Batavia dibawah pengawasan Oom Julius. Kehidupan di frontier tidaklah cocok untuk nona kecil Eropah, nilai Mama, karena mereka harus setidaknya fasih tiga bahasa, bermusik, dan berfilsafat-logika ria, hal yang akan sulit di sini, dengan banyaknya hal yang harus dilakukan.

Makan malam adalah waktu kesukaan Robert. Makanannya selalu lezat apalagi setelah mereka bersama-sama memasaknya. Malam ini, menunya adalah dara digoreng dan venison, dibumbui dengan rempah-rempah Jawa… nasi adalah pendampingnya, sebagaimana orang Jawa makan. Seperti Mama, pikir Robert. Robert tidak suka nasi; dia lebih suka kentang dan roti, namun apa daya? Kentang tidak laku di sini dan bakker terdekat ada di markas Belanda berapa mil ke barat. Jadi, mereka harus hidup seperti orang Jawa, tetapi kehidupan frontier sederhana ini bukanlah sesuatu yang tidak mengenakkan. Orang-orang Jawa adalah bangsa yang sederhana, dan Mama adalah orang Jawa, dan bagi Robert ia lebih cantik dari puteri Eropa manapun, apalagi kalau berkebaya; Raden Ajeng dan selir-selir keraton pun tidak dapat menandinginya.

Robert mendapatkan hal terbaik dari dua dunia. Ia tinggi-besar seperti orang Hollanda namun berkulit olive, sehingga membuatnya terlihat seperti seorang Iberia.

Tepat enam kurang sepuluh, keluarga itu duduk di meja makan. Robert yang kelaparan ingin mencoba hasil buruannya itu hampir segera menyomot makanan didepannya, namun Papa menghentikannya. “Berdoa dulu; bersyukur pada Tuhan, minta berkah juga ke halus-halus tanah ini.”

“Kasihan, pasti lapar kamu, Robert.” Kata Mama. Robert mengangguk dengan cemberut. Anaknya sudah berumur tigabelas tahun, dan tiga lagi seorang lelaki dewasa, tapi bukannya senang, Mama malah sedih. Kekhawatirannya bukan tidak berdasar; Mama khawatir Robert akan terlalu mirip dengan Cornelius, dan sebagai anak muda, ia ingin berpetualang dan berkelana sebagaimana ayahnya dulu… tapi kalau bukan karena itu, Mama tidak akan bertemu huzar muda pengawal Residen di Yogyakarta dan jatuh cinta padanya… Mama menyingkirkan pikiran itu dan ikut berdoa.

Makanlah mereka, dan setelah burung dara itu habis, dan porsi venison pun juga, Robert tersenyum. Mama ikut senang. “Memang hanya cocok diakhiri dengan segelas anggur, setuju Mama?” kata Papa, dan Mama mengangguk. Pergilah dia ke bawah, ke cellar.

Malam itu dihiasi suara jangkrik dan angin bries favorit Mama, menciptakan sebuah ambien yang melegakan pikiran. Mama dan Robert membicarakan perburuan tadi sambil beres-beres meja. “Tadi aku dapat burung dara! Kutembak sendiri, Mama tahu?”

Mama tersenyum melihat anaknya senang. “Dara yang kau dapatkan, enaknya taka da duanya. Setelah ini, kamu lanjut membaca, ya? Kemarin terakhir apa?”

The Rise and Fall of the Roman Empire, Mama. Edward Gibbons. Sudah sampai di Crisis of the Third Century, Mama…”

“Itu bagian paling seru.”

“Seru sekali, Mama! Tapi… kenapa orang Romawi itu… sangat haus kekuasaan, Mama?”

“Karena manusia dilahirkan dengan buruk dan bajik, nak. Itulah terjadi kalau banyak buruk dibanding bajik, dan orang Romawi banyak yang seperti itu…” kata Mama, dan berhenti sejenaklah ia berpikir. “Banyak yang bisa kita pelajari dari sejarah, Robert. Habis ini kita lanjut baca buku itu, bagaimana? Sekarang beres-beres dulu.”

“Baik, Mama!” dan Robert mengambil piring-piring kotor dan membawanya, meninggalkan Mama sendirian. Mama duduk di teras, melihat ke ladang mereka yang nampak kosong dengan gelap senja. Bersenandunglah ia dengan suara jangkrik, melihat jauh kesana, di_mana matahari telah tenggelam. Namun dalam senandungnya, para jangkrik tiba-tiba terdiam. Mama merasa ada yang salah, dan berdirilah dia, melihat kegelapan didepannya, lahan yang ia sewa dari ningrat Jawa lokal, karena Tn. van Holt seorang Eropah dan Eropah tidak dapat memiliki tanah di daerah Sultan.

Sebuah burung mengepakkan sayapnya dari sebuah pohon tidak terlalu jauh darinya, seakan-akan ada yang mengagetkannya; namun bukan hanya burung yang melihat ancaman, tetapi pun Mama. Ia mencoba lari ataupun teriak untuk Cornelius… tetapi semuanya terlampau telat.

Heningnya malam terpecahkan meletusnya mesiu dan sebuah peluru melintir menembus dada kiri Mama. Jatuhlah tubuhnya ke lantai, namun nyawanya telah lenyap bahkan sebelum itu. Tentu, apabila isi rumah tidak mendengar suara tembakan, mereka pasti mendengar jasad Mama yang terjatuh.

Cornelius bergegas lari mengejar suara, botol anggur masih ditangannya; ia melihat istri tercintanya yang sudah tidak bernyawa dan tubuhnya kaku terdiam, jiwa tergoncang mati… “Nee!” Cornelius berlari pergi, meneriakkan nama Robert. Matanya mulai berair, pecah jiwanya, dan pikiran terhancurkan seperti kayu tertembak meriam.

“Ada apa, Papa?” Tanya remaja muda itu, piring masih di tangannya.

“Ke atas, sembunyi! Snel, Robert!”

Robert berlari ke kamarnya di atas dan ke dalam lemari bajunya, di antara pakainnya yang tergantung. Ia mendengar kaki berbot berlari, terhunusnya pedang, dan merasakan segerombolan orang mendatangi rumahnya. Mereka berteriak dalam bahasa Jawa dan dibalaslah dengan Melayu, bahasa intergentiel, yang berasal dari Papa.

Baja bertemu-tengkar dan ledakkan senjata menggoncangkan telinganya. Robert tidak dapat menahan kepenasaranannya dari dalam almari. Tetapi pasti Papa dapat mengalahkan mereka! Ia seorang prajurit, seorang Huzar Napoleon dan Nederland… Tapi ia ingin lihat, ia ingin lihat, tetapi menyesallah dia. Dia keluar dari almari tempat ia mengumpat dan mengintip dari jendela, menyembunyikan kepalanya dengan spreij kasurnya. Dan dengan kepala matanya sendiri, ia melihat apa itu yang dimaksud oleh Papa: l’honneur, kemartabatan seorang lelaki.

Mereka itu lima atau enam orang, berpakaian ala-kadarnya atau telanjang dada, kain atau celana bahan ringan. Tiga dari mereka telah mati; satu terjatuh dengan leher yang terbuka berlumuran darah, satu lagi dengan perut terbuka, terpotong bersih oleh pedang kavaleri Papa; yang ketiga jasadnya menyangkut di pagar rumah van Holt, tertembak, terpisah dari sisanya yang sedang beradu bilah.

Tetapi, Papa tidak sedang baik-baik saja. Ada potongan di tangan kirinya dan di sana kemejanya berlumur merah. Di tangan kanannya dipegang sabrenya, dan di satu lagi, pistol yang dipegang terbalik, handelnya ia gunakan untuk menggebuk. “Godverdomme! Kumakan kowe semua hidup-hidup!

“Menyerahlah, tuan. Tinggalkan tanah ini dan tuan kami biarkan hidup.” Kata satu dalam Melayu. Dia berbeda dengan yang lain; kepala botaknya, khususnya satu matanya, dibalut kain, dan berkumis.

“Lebih baik saya mati dibandingkan menyerahkan rumah saya.” Kata Papa.

Dan mulailah lagi cengkerama bersenjata itu. Salah satu bawahan si Mata-Satu beranjak maju dengan golok, namun ditangkis bersih pukulannya; Cornelius menghantam tengkoraknya dengan pistolnya. Terjatuhlah dia mati atau cacat, otak rusak dan tengkorak pecah. Satu lagi anak-buahnya maju kini dengan kapak. Walaupun Cornelius telah menepis pukulannya, mata kapak itu mengunci pedangnya dan ditariklah dia kepada si Kapak, namun sebelum dia dapat menghabisi Cornelius, si huzar menghantam lehernya dengan sekuat tenaga menggunakan pistolnya tapi disitulah… lengannya ditahan si Kapak, dan dari belakang, keris terhunus, Mata-Satu berlari dan menikam Cornelius dari samping, mematahkan rusuknya dan menusuk paru-parunya. Cornelius berteriak kesakitan, tetapi itu tidak menghentikan tikaman-tikaman selanjutnya, dan bilah keris yang berbentuk api itu secara penuh menghabisi organ dalam Cornelius. Darah dari bawah ketiaknya tidak berhenti mengalir… kemejanya berlumuran darah.

Tetapi perjuangannya tidak berhenti disitu. Cornelius, walaupun sakit-setengah-mati, menarik pedangnya dan menusuk si Kapak, merobek perutnya dengan segala kekuatan terakhirnya. Dengan paru-paru robek dan terbanjiri darah, ia tidak lagi dapat bicara, dan lemah, jatuh ke kedua dengkulnya, hanya pedangnya yang menopangnya agar tidak jatuh.

Robert dapat melihat bahwa tambah setengah lusin penjahat, melompati pagar rumahnya, dan menyebar. Si Mata-Satu tetap diam. “Tuan telah bunuh semua orangku,”

Cornelius bergetar, menahan dirinya tetap hidup. Darah yang membanjiri parunya mulai tumpah dari mulutnya.

“Kelahimu hebat, Tuan Wachtmeester; tapi sekarang, kau mati.” Kata Mata-Satu, dan dengan tangan kirinya yang kosong, ia menarik pistol dari sebuah holster, dan diarahkanlah itu ke kepala Cornelius. Dengan mata yang berharap tapi lelah, muka yang penuh keringat, serta mulut dan badan berlumuran darah, ia menggunakan tenaga terakhirnya untuk melihat jendela rumahnya. Mata abu-abunya itu bertemu dengan pandangan Robert, yang sedang menahan suara tangisannya melihat nasib bapaknya, namun tidak dapat menghentikan air mata yang sekarang bercucuran di wajahnya. Cornelius mengangguk dan menutup matanya, dan disitu, dengan sebuah tarikan pelatuk, tewaslah Wachtmeester Cornelius van Holt, huzar Napoleon, dan jatuhlah dia, dalam genangan darah dan pecahan otaknya sendiri.

Dan Robert menangis, dan Robert bersembunyi… revanche, revanche, ia bersumpah atas martabatnya. Dan di situ, Robert, tigabelas tahun, telah menjadi sejatinya, seorang lelaki.

***

Delapan Tahun Kemudian

Java, Oost-Indie, 1825

Kepada Cornelia, Adikku Tersayang

Aku tahu kamu tidak akan setuju dengan perbuatanku ini, tetapi aku telah meminta untuk ditransfer ke medan perang di Java, dibanding menjadi staf Gen. van Geen. Pangeran Diponegoro telah merusak keseimbangan dunia kita dan aku tidak bisa berdiam diri; banyak kawanku sudah tewas, dan desa-desa di Jawa terbakar. Tidak mungkin aku melihat kampung halaman Mama diperkosa seperti ini oleh pasukan santri itu.

Kau tak perlu khawatir atau takut, Cornelia; kita huzaren akan bertempur bersama dengan Legiun Mangkunegaraan yang termahsyur itu, infanterie N.O.I.L. penakluk Palembang, dan balatentara Sultan Yogya… walaupun D.N. memang seorang pemimpin yang tangkas dengan pengikut yang loyal, banyak kawanku prajurit eks-perang di Eropah bersama atau melawan Napoleon. Satu pertempuran dan habislah dia.

Aku selalu berdoa untukmu, Cornelia. Jaga dirimu baik-baik.

Penuh sayang,

Robert van Holt, Kornet, K.H.B.

30 Oktober 1825.

SEKIAN.

--

--

Rick Windson
Writing Independently

Award-winning audio journalist and author - but not quite there yet.