Ada Cerita di Balik Penetapan Hari Tani Nasional

Nida An Khopiyya
Crowde
Published in
2 min readSep 24, 2020

Setiap tanggal 24 September, Indonesia merayakan Hari Tani Nasional. Mungkin terlintas di benak Anda mengapa perayaan ini jatuh di tanggal 24 September? apakah ada kisah di baliknya?

Penetapan Hari Tani Nasional pada 24 September sejatinya melalui proses yang panjang. Semua bermula setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sebab sudah merdeka dari cengkraman penjajah, kala itu Indonesia ingin mengganti tata hukum pemerintah kolonial, termasuk Undang-Undang Agraria atau Agrarische Wet 1870 yang pada praktiknya membuat petani sengsara. Sebut saja adanya Hak Eigendom yang penerapannya sangat menguntungkan kaum kolonial. Singkatnya, hak itu diberikan kepada orang asing untuk perluasan kota dan mendirikan perusahaan kerajinan. Tanah yang termasuk dalam hak ini hanyalah tanah yang ada di dalam lingkungan kota dan tempat lainnya yang dipandang perlu, serta luasnya tidak boleh melebihi 10 bahu atau 14 meter pesegi. Namun nyatanya, pembatasan ini tidak berlaku karena orang asing selalu berhasil meminta perluasan tanah. Adanya kalimat “tempat-tempat lain yang dipandang perlu” juga membuat mereka mendapatkan tanah di luar lingkungan kota.

Oleh karena itu, pada tanggal 12 Mei 1948, ketika ibu kota negara adalah Yogyakarta, dibentuklah Panitia Agraria Yogyakarta (PAY). Mereka bertugas menyusun hukum agraria baru dan menetapkan kebijaksanaan politik agraria di Indonesia. Saat ibu kota kembali ke Jakarta, PAY pun dibubarkan dan dibentuk Panitia Agraria Jakarta (PAJ) pada 9 Maret 1851. Namun lagi-lagi, PAJ dibubarkan karena dianggap tidak mampu menyusun Rancangan Undang-Undang.

Tidak berhenti sampai di situ, armada baru untuk membuat tata hukum agrarian pun dibentuk kembali. Panitia Negara Urusan Agraria dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia 14 Nomor 1 tahun 1956. Armada ini dipimpin oleh Soewahjo Soemodilogo yang sekaligus menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria serta beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai kementerian, ahli hukum adat, dan wakil –wakil beberapa organisasi petani. Panitia Negara Urusan Agraria pada akhirnya berhasil membuat RUU pada 6 Februari 1958. RUU ini langsung diserahkan kepada Menteri Agraria Soenarjo.

Namun, pengesahan RUU ini harus menemui hambatan besar di tengah jalan. Pasalnya, ketika RUU dirumuskan, Undang-Undang Dasar yang berlaku di Indonesia bukanlah UUD 1945, melainkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Alhasil, RUU ditarik kembali karena memakai dasar UUDS 1950.

Setelah disesuaikan dengan UUD 1945, RUU tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Sadjarwo dan disetujui oleh semua golongan di DPR. Rancangan Undang-Undang ini pun sah menjadi Undang-Undang pada 24 September 1960. Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Itulah alasan Hari Tani Nasional diperingati setiap 24 September. Pada 24 September 1960, pertanian Indonesia diibaratkan lepas dari cengkraman penjajah karena diatur dengan hukum yang dibentuk oleh rakyat Indonesia sendiri.

Nilai-nilai yang terdapat dalam UUPA diambil dari Hukum Adat Indonesia yang pada masa kolonial direndahkan posisinya. Nilai-nilai dalam UUPA sejatinya ingin mencapai kemakmuran rakyat dan menghapus praktik-praktik eksploitatif pemerintah kolonial.

--

--