Apa Dampak UU Cipta Kerja Bagi Para Petani Indonesia?

Nida An Khopiyya
Crowde
Published in
4 min readOct 8, 2020
UU Cipta Kerja membawa dampak positif dan negatif bagi para petani Indonesia

Pekan ini Indonesia diramaikan oleh peristiwa disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja pada 5 Oktober lalu. Berbagai kalangan, mulai dari akademisi, buruh, hingga dua fraksi DPR RI sendiri menolak pengesahan RUU yang saat ini sering disebut-sebut sebagai RUU Cilaka.

Berbagai dampak Undang-Undang ini terhadap kaum buruh sudah sering dibahas di berbagai media. Lalu, apakah UU ini memiliki dampak bagi para petani Indonesia?

Beberapa pihak membeberkan dampak positif dan negatif UU Cipta Kerja terhadap petani. Dampak positif tersebut salah satunya disampaikan oleh Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta. Dikutip dari medcom.id (8/10/2020), Felippa mengatakan UU Cipta Kerja dapat membuka peluang peningkatan Foreign Direct Investment (FDI) di sektor pertanian seperti perkebunan, peternakan, dan hortikultura.

“Sektor pertanian Indonesia menyimpan banyak potensi untuk dikembangakan, baik untuk mendukung kebutuhan domestik maupun mendukung kebutuhan ekspor. Namun, masih perlu dilakukan berbagai upaya untuk membantu petani dalam meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan,” tuturnya.

“Masuknya investasi dapat membantu sektor pertanian yang resilien dan berkelanjutan melalui pendanaan riset dan pengembangan teknologi maupun pengembangan kapasitas sumber daya masyarakat,” lanjut Felippa.

Meski begitu, Felippa tetap merekomendasikan persyaratan yang harus dipenuhi para investor terhadap pelestarian lingkungan.

Sementara, dampak negatif adanya UU ini dibeberkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Hal yang disampaikan oleh KPA mungkin akan mengingatkan kita akan tayangan berjudul Sexy Killers yang diunggah Watchdoc pada April 2019 di platform Youtube.

Dalam Sexy Killers, ditunjukkan kisah Nyoman yang mengikuti program transmigrasi dari Bali ke Desa Kerta Buana, Kutai, Kalimantan Timur. Nyoman didorong oleh pemerintah untuk menjadi petani di sana. Namun, sepuluh tahun kemudian, pemerintah sendiri yang memberi izin kepada perusahaan tambang batu bara untuk membuka bisnis. Alhasil, banyak petani di desa tersebut yang kehilangan lahan pertanian mereka. Belum lagi, perusahaan batu bara banyak yang tidak melakukan reklamasi atau penimbunan kembali galian tambang mereka. Akibatnya, galian tambang itu menelan banyak korban.

Dengan adanya UU Cipta Kerja, peristiwa yang menimpa para petani di Desa Kerta Buana akan lebih banyak terjadi di masa mendatang. Dilansir dari kpa.or.id (8/10/2020), berikut beberapa alasan UU Cipta Kerja merugikan para petani Indonesia.

Memudahkan Korporasi untuk Menguasai Tanah

Dengan adanya UU Cipta Kerja, para investor dan pengusaha semakin mudah mendapatkan tanah, termasuk tanah pertanian. Dalam UUPA 1960, peraturan yang memerdekakan para petani Indonesia, tidak ada Hak Pengelolaan (HPL) karena membuat kekacauan penguasaan tanah. Namun, dalam UU Cipta Kerja, melalui HPL pemerintah seperti ingin menghidupkan kembali konsep domein verklaring sehingga tanah dapat diberikan kepada instansi pemerintah, BUMD/BUMN, dan Badan Hukum yang ditunjuk pemerintah termasuk dikelola oleh Bank Tanah.

Bank Tanah sebetulnya sudah menjadi wacana dalam RUU Pertanahan yang ditentang keras oleh KPA. Bank Tanah pun kembali masuk dalam UU Cipta Kerja. Bank ini mempercepat proses pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur dan mendorong pasar tanah bebas untuk mendukung kebutuhan pengadaan tanah untuk kepentingan investasi Kawasan Ekonomi Khusus, real estate, bisnis properti, dan pembangunan infrastruktur lainnya yang membutuhkan tanah dalam ukuran luas.

Undang-Undang Cipta Kerja juga memberi masa berlaku Hak Guna Usaha (HGU) kepada korporasi selama 90 tahun secara langsung sejak permohonan awal. Padahal UUPA sendiri telah membatasi badan usaha melalui HGU paling lama 25/30 tahun dan hanya boleh diperpanjang apabila memenuhi syarat.

Bahkan, pengusulan HGU 90 tahun ini lebih lama dari UU agraria masa kolonial yang hanya memberikan waktu 75 tahun kepada maskapai perkebunan Belanda. Nantinya, masyarakat pedesaan termasuk petani tidak memiliki pilihan selain melepaskan tanahnya.

Memperparah Ketimpangan Penguasaan Tanah dan Konflik Agraria

Pada tahun 2019, KPA mencatat ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia mencapai 0,68. Hal itu berarti 1% penduduk menguasai 68% tanah di Indonesia. UU Cipta Kerja bukan memperbaiki kondisi ini, melainkan memperparahnya. Pasalnya, hak atas tanah bagi kepentingan investasi dan kelompok bisnis semakin dipermudah. Akibatnya, potensi terjadinya konflik agraria, ketimpangan, dan kemiskinan juga meningkat.

Mempercepat Alih Fungsi Tanah Pertanian di Indonesia

Undang-Undang Cipta Kerja bermaksud mengubah UU NO 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian pangan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), real estate, tol, bandara, dan sarana pertambangan dan energi.

Proses perizinan alih fungsi tersebut dipermudah, contohnya dihapusnya keharusan kajian kelayakan strategis. Tanpa UU Cipta Kerja saja, menurut laporan Kementerian Pertanian, luas lahan baku sawah mengalami penurunan rata-rata seluas 650 ribu hektar per tahun. Keadaan tersebut akan semakin parah dengan adanya UU Cipta Kerja.

Jadi, dampak apa yang kira-kira akan dominan menimpa para petani Indonesia? Dampak positif atau negatif?

Bagaimanapun, CROWDE tetap terus mendukung pertanian Indonesia dengan menciptakan ekosistem pertanian yang berkelanjutan. #BersamaPetani, mari wujudkan kedaulatan pangan di Indonesia

--

--