Mengapa Beberapa Anak Jaman Sekarang Tidak Tertarik Menikah Saat Muda?

Tergantung definisi kamu tentang muda itu umur berapa?

Dibawah umur 20 tahun, jelas aku tidak mau menikah, toh masih asik-asiknya menikmati masa muda pertemanan, persahabatan, explorasi traveling dan masih hangat-hangatnya kompetisi mengejar pendidikan.

Umur 20–23 tahun aku masih kuliah, masih sedap-sedapnya mengeksplorasi bidang yang menarik, belajar kultur-sosial berbeda, ikut lomba ataupun memainkan role model baru jadi asdos.

Umur 24–25 tahun, masih ditahun-tahun kami melanjutkan studi profesi (anak kesehatan) untuk validasi legalitas & kredibilitas skill kami.

Umur 25–27 ada yang masih melanjutkan studi spesialis atau ke strata Magister atau ada yang menjadikan titik ini tahun-tahun pertama bekerja.

Umur 27–29 baru terjun ke dunia profesionalitas

Diatas umur 29 baru mencoba mengontrol kestabilan karir & punya ambisi untuk terus berkembang & naik terus menerus.

Pathway diatas merupakan gambaran mentah bagi anak muda yang punya konsep ‘menikah saat punya penghasilan tetap dan karier yang stabil’ hingga penghasilan bisa terus meningkat.

Sebenarnya tidak ada larangan ataupun aturan khusus yang melarang untuk menikah muda. Karena kedewasaan setiap orang juga berbeda-beda. Namun banyak yang dikhawatirkan menikah muda adalah hanya bentuk emosi muda saja yang menggebu-gebu tanpa berpikir panjang akan bekal kehidupan pernikahan nantinya. Selain kematangan dan kesiapan mental, faktor kematangan secara finansial juga menjadi faktor penting. Banyak argumen-argumen dalam merespon kekhawatiran tersebut, salah satu sumber suaranya yaitu tulisan artikel ini:

Dari perspektif diriku dan beberapa temanku dimana kami lahir sebagai generasi Z yang sependirian dengan ungkapan “menunda ketertarikan pada perubahan naik kelas sosial (single → marriage) di usia-usia muda (under 29–30 th)”. Yup, bagi kami usia 20–30 an itu masih tergolong muda, masih ada ambis-ambisnya mengejar posisi tertinggi baik di ranah pendidikan atau karir, masih ada sense ‘tidak takut-takutnya mengambil resiko dengan taruhan hidup & mati’, masih punya rasa penasaran yang tinggi dalam mengeksplor dunia lebih luas, idealisme diri masih kuat bertahan dalam bertarung dengan realita.

Tau tidak mengapa sense tersebut masih hidup dalam diri kami? ya karena kami menggap diri kami masih muda, punya banyak waktu-energi, kesempatan terbuka bertebaran, plus paling berpengaruh pada tumbuhnya mental kuat tersebut yaitu ‘karena kami tidak ada tanggungan’.

Tidak ada tanggungan keluarga (paling cuman minta approval atau restu orang tua),

Tidak punya tanggungan pasangan,

Tidak punya tanggungan suami,

Tidak punya tanggungan anak,

Tidak punya tanggungan rumah tangga,

Tidak punya tanggungan keluarga besar kedua belah pihak.

Sehingga mental saat mengambil resiko besar yang dapat mempertaruhkan nyawa itu lebih kuat survival rate-nya. Misal membuat bisnis model yang eco-friendly melalui pemanfaatan ampas kulit kopi yang jadi kulit kuat, bahkan bisa menjadi kain-jaket fashion. Namanya bisnis pengusaha kan beda dengan berdagang ya, bedanya apa?

Waitttt kita jabarin konsepnya dulu….

Kalo berdagang, simpelnya kita turun tangan ke lapangan jualan produk, mikirin gimana supaya laku setiap harinya biar bisa nutup operasional dan ada sisa profit buat kita.

Sedangkan kalau berbisnis, kita membangun sistem yang paling efektif dan efisien. Ya kita bisa mikir fokus pada inovasi, pengembangan, dan manajemen yang rapi. Walaupun bisnis tersebut dimulai dari 0 apa salahnya kalau kita membuat manajemen yang rapi dengan adanya divisi finance, human resource, operasional, Marketing, Inventory, dll. Sistem yang bagus tersebut bisa dijalankan oleh karyawan tanpa kita harus turun ke lapangan.

Tentunya sistem yang efektif & efisien ditambah SDM berkualitas memerlukan banyak modal, yup pembuka jalur bisnis baru itu perlu banyak modal sehingga tidak sering banyak anak muda yang saat mencoba terus gagal hidupnya langsung ke titik zero. But at least mereka sudah mencoba test business modelnya, at least sudah tau cara manajemen keuangan & strategi pemasaran, at least udah tau cara mencari & memilih investor, at least udah tau apa saja yang perlu diperbaiki untuk siap launching produk agar diterima hangat oleh pasar.

Permasalahan utamanya disini, tidak semua orang siap mental menerima titik kehidupan yang stabil terus langsung berada di titik zero. Bagi pemangku bisnis mungkin fine-fine aja, paling mereka memvalidasi dengan ‘kalopun gagal, setidaknya masih bisa tetap hidup & bernafas. kalopun kegagalan fatal setidaknya mati pun tidak menyesal karena pasti ada pengorbanan kebaikan dari efek bisnis tersebut terhadap masyarakat sekitar, walaupun kecil tapi masih ada value kebaikan yang dapat dihargai ketika diminta pertanggungjawaban oleh tuhan akan kontribusi positif kita pada dunia

Izin mengutip kalimat pak Gibran dari salah satu cerita hidupnya. Mentalitas Scottie Pippen pada orang misquen, Orang dari keluarga yang tidak mapan, akan menaksir sebuah resiko yang sama dengan jauh lebih tinggi dampaknya dibandingkan orang lain dari keluarga yang kaya. Gimana tuh?

Seorang rekan saya, yang dari keluarga kaya raya, mudah sekali mengambil resiko. Dia investasi di banyak instrumen. Dia membangun perusahaan yang cepat sekali tumbuh dengan karyawan tiga ratusan, dalam kurun waktu 1,5 tahun. Saat bisnisnya besar sedikit, meskipun belum sepenuhnya profitable, bisnis tersebut berhasil dijual. Pembelinya? Grup perusahaan keluarganya. Ini dia yang saya tidak punya. Saya yakin, jikalau pun bisnisnya gagal, dia punya banyak pilihan untuk bisa berkarya dan tetap kaya.

Sementara, saya, di saat yang sama saat itu, masih membangun eFishery dengan sangat perlahan dengan tim yang tidak lebih dari 40 orang selama 3 tahun pertama. saya, yang semua modal sendiri dan memiliki lebih dari satu keluarga yang harus dinafkahi, harus mengambil keputusan untuk tumbuh dengan sangat berhati-hati. Jika saja semua resiko yang tadi saya takutkan terjadi, ujung-ujungnya resiko terbesar hanya kematian, tidak lebih, tidak juga kurang. Semua hal terkait reputasi, kegagalan, itu tidak ada yang ingat dan peduli kecuali kita sendiri. Apa kita tahu kalau lima puluh tahun lalu ada pengusaha gagal yang ditinggal keluarganya, menanggalkan hutang, kemudian mati mengenaskan, kelaparan sendirian? Tidak, kan? Padahal, bisa jadi ada. Ini resiko terburuk yang sama yang saat itu saya takutkan akan terjadi.

Aku bisa merasakan roh pak Gibran — maksudku gejolak jiwa beliau hehehe. Berada diposisi ekonomi menengah kebawah, Apalagi masuk garis kemiskinan ditambah dengan beban tanggungan keluarga kecil (bapak baik mana sih yang tidak ingin memberikan kehidupan terbaik untuk masa depan anaknya?), Posisi itu tentunya sangat kuat sekali dorongan untuk membawa kehidupan ekonomi keluarga yang lebih baik lagi, Namun seabrek konsekuensi & resiko yang mungkin terjadi itu sudah memenuhi kepala ini. Sehingga tidak jarang orang misquen seperti kita ini, saat mengambil satu langkah kehidupan didepan memilih posisi aman.

Tentunya aku juga berpikir begitu saat memasuki umur awal 20-an, posisi kita tanpa support suntikan dana orang tua itu persis sekali anak sebatang kara yang miskin. Taking some high risk untuk terus bertumbuh itu penuh pertimbangan, kalopun gagal ya tidak banyak efek kerugian — paling rugi ke diri sendiri secara materil. Tapi kalo di posisi Pak Gibran yang sudah berkeluarga diatas? aku tidak bisa menghayati dinamika huru-hara dari beban pikiran & emosi Pak Gibran tetunya. Pasti sangat berat di titik tersebut. Apalagi jika ditambah pasangan yang tidak siap mental dengan dinamika perubahan titik hidup sekejap, awalnya enak → tiba-tiba sakit, sekarang punya uang 2 digit → satu menit kemudian langsung hilang, wah-wah mumet kehidupan keluarga seperti itu. Untungnya aku yakin, istri pak gibran orangnya keren sih, pengertian-paham-menerima keadaan dengan kacamata bijak. Kalo tidak mana mungkin beliau bisa menulis cerita tersebut.

Itulah salah satu alasan kenapa tidak memilih menikah diusia muda, “semakin banyak individu yang mencoba masuk kedalam diri kita, semakin kompleks respon & keputusan kita nantinya. kompleksitas ini sering kali melambatkan kita dalam perjalanan mencapai goals karena penuh petimbangan”.

Tentukan kemana kamu ingin pergi di usia muda yang masih banyak energi ini. Aku tau ada pepatah “Jika ingin berjalan cepat mencapai tujuan, maka jalanlah sendiri. Jika ingin berjalan jauh, maka jalanlah bersama-sama”

Menurutku tidak ada kontradiksi dari 2 kalimat tersebut. Tergantung diri kita, saat usia muda “mau mencapai tujuan dengan cepat biar bisa mandiri dari orang tua & kebutuhan primer bisa terpenuhi secepatnya ? — biasanya ini yang jadi concern penyelesaian anak misquen seperti diriku sih”

Atau ingin membangun bisnis/platform lebih besar yang concern give impact pada aktualisasi kesejahteraan manusia? — biasanya ini menjadi issue anak orang yang basic life needs-nya sudah terpenuhi.

Jujur, kadang aku kesal dengan statement “Kapan mau nikah? mumpung masih dalam usia produktif nih”. Produktif bukan hanya tentang melahirkan/berkembang biak woiii. Produktif juga berarti kalian bekerja-berkontribusi dan menunjukkan prestasi kalian.

Di artikel ini aku akan membagi beberapa poin yang dibuat jadi table of content

Tiga alasan fundamental belum tertarik menikah diusia muda

Secara garis besar terdapat 3 alasan dasar belum tertarik menikah di usia muda yaitu belum siap:

  • Belum siap secara finansial. masih belum punya kerjaan dengan gaji cukup bagus.
  • Belum siap secara mental. persiapan menghadapi bahtera rumah tangga masih terlihat abu-abu dari kacamata emosi & mental. Menurutku posisi sekarang ini belum melewati masa-masa sulit dalam hidup yang mampu membuat diri tumbuh dengan emosi & mental yang stabil.
  • Belum siap secara fisik. Saya sehat. Jika hamil tentunya harus siap mengurus ke-ibu-an mempunyai anak. usia di rentang 29–30 keatas tentunya lebih siap secara fisik. Disisi lain juga sadar, biological clock diri tidak main-main, harus segera digunakan.

Okay mari kita breakdown satu per satu 3 alasan dasar tersebut:

  1. Belum siap secara finansial

Mari kita hitung-hitungan dasar sedikit agar tidak mengeksploitasi narasi agama “banyak anak banyak rezeki”, namun lebih bijak menempatkannya dan bisa menyusun strategi hidup layak (karena kesempatan jadi muda hanya sekali). Pernah tidak merasakan merasa biaya hidup semakin lama semakin tinggi, khususnya kalo tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta yang UMR-nya Rp4,9 juta (tahun 2023). Kalau kita mau menikah dan hidup layak disini, setidaknya berpenghasilan Rp10 juta untuk berdua saja, kemudian jika beranak 2 harus berpenghasilan Rp20 juta/bulan (4 orang x UMR). Kalau kurang dari itu, kemungkinan hidup keluarga kita jauh dari kelayakan.

Jauh dari kelayakan disini maksudnya, entah itu kekurangan gizi, pendidikan anak rendah, jauh dari kantor, kontrakan yang tidak nyaman, dan segudang masalah lainnya. FYI, fenomena enggan menikah ini biasanya terjadi di negara maju saja, karena warganya lebih melek finansial. Sekarang, kita coba hitung kasar saja:

  • Biaya pernikahan rata-rata di Indonesia itu 200jt.
  • Biaya menafkahi istri dan 2 anak sebesar 15jt/bulan atau 180jt/tahun.
  • Tabungan pensiun 4 miliar bersama istri.
  • Kontrakan/apartemen 6jt/bulan, dan biaya lainnya.

Untuk pernikahan selama 45 tahun, artinya kita akan menghabiskan 18+ miliar. Jumlah yang sangat besar. Belum lagi kejadian tak diharapkan seperti memiliki anak tidak berguna yang hobinya berfoya-foya, bodoh di sekolah, pengangguran, durhaka, melakukan pelanggaran hukum pidana dan hamil di luar nikah. Atau semisal ada selingkuh, tapi pihak sono minta hak atas harta gono-gini. Dalam hubungan pacaran, yang dirugikan itu wanita, tapi kalau sudah menikah, yang dirugikan itu pria. Ada yang bilang “a marriage contract is an indentured servitude for men, more commonly known as slavery.” Well, you do you, bro. Whatever makes you happy, just take it with all the consequences.

Jika menikah, berpenghasilan 20jt/bulan itu belum cukup mengeluarkan kita dari middle-income trap. Tapi jika sendirian, maka masih ada cahaya untuk bangkit menjadi top 10%. Yang tidak kalah penting, kamu harus pintar-pintar memanage masalah keuangan keluarga. Jangan sampe besar pasak daripada tiang. Kalian berdua udah tidak hidup sendiri lagi, kalian punya tanggung jawab buat ngasih makan keluarga dan anak kalian. Tapi kan rejeki sudah diatur?’ Iya ada kok, tapi pake perencanaan juga kaleee.

Kalo kalian berdua tidak siap mental, cerai adalah opsi yang pada akhirnya terpaksa kalian pilih, sia-sia lah itu pesta nikah yang biayanya lumayan. Atau ketika kalian tetap tidak siap mental, dan memilih tetap bertahan? pada akhirnya kalian akan mencari pelampiasan diluar sana just to make yourself happy (cheating, drunk, polydrug use ect). Padahal kondisi seperti ini menyakiti diri kalian sendiri dan pasangan kalian.

Hati-hati kekurangan dari segi materi dan fisik juga dapat berujung pada kurang percaya diri di ranah kelas sosial. Intinya, menikah itu bisa membuat kita miskin, kalo tidak pintar manage. “Kemiskinan itu dekat kepada kekufuran” by Abu Na’im, Noh penjelasan logisnya disini nih. Emang paling enak jadi orang di atas rata-rata, bisa memberikan manfaat materil & non materil kepada orang lain. Apalagi kalo kamu punya sensitivitas & empati yang tinggi, ngeliat anak ngamen lebih enak hati kalo kita memberi dibandingkan kita usir karena tidak punya uang kan?.

Setelah kebutuhan basic life terpenuhi, tidak perlu pusing memikirkan rumah lagi. Jadi kita akan fokus untuk menabung dana darurat, dana pendidikan dan dana pensiun. Semuanya harus di planning & dicicil dari sekarang.

Pandangan aku lebih memilih menikah terlambat namun hidup tertata dan meminimalisir masalah daripada menikah muda tapi banyak masalah. Selalu mengingatkan diri sendiri kalau menikah itu menambah sebuah masalah baru dalam hidup dan kita harus benar-benar siap menghadapi masalah baru tersebut. Menikah tidak seindah sosmed dan drakor yang isinya bikinin suami bekal, bikin sarapan yang lucu, travelling romantis sama suami, etc etc. Pandangan aku lebih mengedepankan logika diatas romantisme saat ini. Toh kalau cuma begitu saja, selagi pacaran juga bisa dilakukan kok.

Menikah tidak segampang kelihatannya, jangan berlomba dengan orang lain untuk menikah. Dan jangan menikah karena di nyinyirin tetangga atau saudara. Walau demikian, saya tetap ingin menikah. Percaya kok suatu saat nanti kita pasti akan menemukan the only one nya kita.

2. Belum siap secara mental & emosional

2.1 Mentalitas planning dan menjalani urusan domestik rumah

Menikah itu merepotkan, kebebasan dibatasi. Orang yang terbiasa dengan hidup yang bebas, tidak mementingkan manage waktu dalam melakukan beberapa aktivitas, tidak punya aspek prioritas kegiatan dalam kehidupannya. Tentunya akan sulit jika ditambah dengan berbagai kewajiban saat menikah, kewajiban tugas atas pasangan, kewajiban mengurus domestik rumah, kewajiban atas pemenuhan kultur dua keluarga besar, kewajiban parenting dan mengurus anak, kewajiban pendidikan-sekolah anak & sosial kulturnya, dst.

Kalo jiwanya masih ingin bersenang-senang, lalu dipaksa langsung berhenti. seperti anak kecil yang main lalu langsung berhenti, karena disuruh mandi. Tentu jiwanya akan menangis-kecewa juga terluka, akhirnya segala kegiatan dalam rumah tangga ada rasa keterpaksaan yang menyangkal di hati. Walhasil secara mental & emosional sering terganggu.

Secara mental dia merasa diposisikan sebagai babu atau ART di rumah karena terpaksa mengurus domestik rumah, mungkin dia merasa seperti PSK karena ketidakmengertian akan memenuhi hak biologis yang normal itu keharusan, mungkin dia merasa seperti terpojokan atau loneliness karena tidak tau caranya melebur dengan kultur keluarga mertua dsb. Namun beda dengan orang yang secara mental sudah mempersiapkan diri mereka dengan role model di keluarganya, dengan kewajiban dan tanggung jawab mereka di posisi tersebut, apalagi yang sudah mencoba merancang detail kehidupan keluarganya nanti seperti apa. Merancang bukanlah hal yang mudah — tidak sering saat kita merancang sesuatu malah ketemu masalah yang tidak terbayangkan sebelumnya — penuh dengan konsekuensi dan efek tidak menyenangkan secara emosi & sosial, namun harus diterima dan ditemukan solusinya. Aku percaya, resiko dan progress yang dibangun lebih terkalkulasi bisa lebih terkelola & terkontrol efeknya. Karena itu menikahlah dengan orang yang siap secara planing, emosi dan mentalitas yang sefrekuensi.

“Emang sepenting itu planning? buktinya banyak tuh planning udah hati-hati tapi akhirnya berantakan juga hidupnya.”

“Manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan”. Aku tau tagline ini sudah eksis puluhan tahun lamanya. Tapi bukan maksudnya kita seolah-olah serahkan sepenuhnya begitu saja ke Tuhan. Apa gunanya Tuhan memberi kita pikiran-akal dan energi kekuatan jika hanya mengikuti arus kehidupan saja? Dengan adanya usaha, kita bisa lebih mudah ngelewatinnya, dan Tuhan selalu lebih suka hambanya yang berusaha dulu, at least itu bukti kita udah serius komitmen dengan Nya. Kita tetap wajib kontrol diri kita mau ke mana? dan mau ngapain aja? apa tujuanya? apa urgensinya?

Kalau kita tidak punya rencana di hidup, gimana mau ada tujuan menjalani hidup tiap hari. Mau terombang ambing gitu aja? Dengan dalih “ya jalanin aja dulu”. Yakin tuh dijalanin tanpa ada tujuan yang jelas?. Yang ada gampang banget ke distract sama hal yang tidak penting lagi, karena tidak ada kontrolnya. Bikin planning emang tidak menjamin hidup bakal sukses begitu juga. Tapi setidaknya kita sudah sukses jalanin prioritas dulu daripada hal-hal tidak penting di hidup yang bikin hidup tuh gak maju alias stuck disitu aja. kita punya kontrol dan seminim mungkin kita mulai mengurangi hal-hal tidak penting di luar planning kita.

2.2 Mentalitas setelah menikah

Apakah mental kamu sudah siap sekiranya ketika dunia kamu berubah setelah menikah? Apakah yakin bisa menjadi suami/istri yang baik untuk pasangan? Setelah nikah prioritas mau apa? langsung hamil atau menikmati proses berdua? Okay mau punya anak, untuk wanita mau fokus support tumbuh kembang & pendidikan anak (mengorbankan karir)? atau tetap memegang karir & ikut sedikit-sedikit mengurus anak? Karena tidak mungkin menghasilkan sesuatu yang berkualitas semampu kita ketika fokus pengerjaan terbagi ke berbagai sektor kehidupan. Untuk memperoleh sesuatu, suatu hal yang lain yang bernilai sama harus dikorbankan. Iya harus ada pengorbanan ego disini. Kadang seorang pasangan bisa cekcok hanya karena masalah ini, apalagi jika ekonomi tidak stabil. Siap dengan semua kesempatan cemerlang yang harus dikorbankan?

Nah banyak hal yang sekiranya perlu dipikirkan, direncanakan, dan ditimbang secara masak-masak ketika hendak mengambil sebuah keputusan. Menurut opiniku, menikah adalah suatu keputusan yang sangat besar di dalam hidup seseorang. Karena kamu akan membangun sebuah institusi sosial berupa keluarga. Walau institusi keluarga merupakan skala yang terbilang kecil, namun segala sesuatu dimulai dari hal-hal kecil, step-by-step, hingga menjadi fungsionable untuk kebermanfaatan sosial dan negara kan?.

Oleh karena itu diperlukan kesiapan, bukan hanya fokus ke perkara mengurus wedding organizer, gedung, baju pengantin. Tapi juga harus punya kesiapan maupun plan untuk kehidupan kedepan setelah menikah (pikirkan kesiapan mental, mau tinggal dimana, bagaimana cara mencukupi kebutuhan bersama, bagaimana cara mengurus domestik dan anak, bagaimana batasan diskusi karir saat di rumah — jangan sampai rumah yang harusnya jadi kehangatan keluarga jadi ladang diskusi bisnis kantor). Camkan baik-baik bahwasannya menikah tidak melulu manis-manis. Marriage isn’t an easy thing to do! it’s not a game, it’s all about reality in life. It takes a big responsibility.

Ingat, Jangan kesampingkan tanggung jawab, sadar peran masing-masing baik suami/istri, walau masih muda pupuk rasa tanggung jawab, kalau sekiranya merasa masih childish, egois, dan belum bertanggung jawab, Jangan sekali-kali menikah muda. Kamu harus benar-benar berpikir dan sekiranya siap untuk melepas masa mudamu mengemban tanggung jawab yang besar.

2.3 Mentalitas trauma dan emosional kontrolnya

Kehidupan pernikahan dengan kehidupan pacaran sangatlah beda, ada culture shock di dalamnya. Shock karena nantinya kalian bakalan tau sifat asli pasangan kalian. Sukur-sukur kalo bisa menerima, kalo engga? Ya cerai.

Karena trauma, misalnya dari latar belakang keluarga broken home, atau juga karena sering melihat efek buruk dari keluarga yang tidak harmonis, sering ditolak saat melamar, dan sebagainya. Tidak sedikit hal ini menjadi monster trust issues.

Gangguan kecemasan, depresi, stress? bipolar? kepribadian ganda? Gangguan obsesif kompulsif (OCD)? Skizofrenia? Gangguan stres pasca-trauma (PTSD)? ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)?

Atau gangguan kepribadian? baru tau ternyata si pasangan ini orangnya Narsistik? Paranoid? dependen? Avoidant? gangguan kepribadian obsesif kompulsif?. Kalo menurutku sih, orang yang baru tau beberapa karakter asli pasanganya (emosi, respon, mental trauma) setelah menikah, waaah itu salah kamu banget. Kenapa baru tau setelah menikah? emang saat pacaran ngapain aja? pacaran kan tujuan mengenal lebih dekat individu masing-masing? Lah kamu ngapain? main-main kucing dalam karung gitu?

Bersiaplah untuk memaklumi dan berkomunikasi cari jalan tengah kalo kalian udah empet banget karena kalo didiemin akan jadi bom waktu tinggal menunggu kapan meledaknya. Kehidupan pernikahan itu tidak mudah, ga kuat mental yang ada harus ajuin perceraian. Akhirnya tumbuh kembang anak jadi korbannya. Sick, egois sih….

3. Belum siap secara fisik & kesehatan

Sebenarnya umur 20-an ke atas secara general udah siap secara fisik sih. tapi yang aku maksudkan di sini, tolong checkpoint terkait kesehatan kalian masing-masing. sudah aware dengan kesehatan diri masing-masing kan? Ada punya riwayat penyakit genetik gak di keluarga kamu? masing-masing kalian punya tanda-tanda kelainan genetik (kamu Rh- menikah dengan pria Rh+ → kelainan pada bayi tinggi)? kamu punya penyakit komorbid (DM, HT, kolesterol, gangguan Ginja dst)? kamu punya kelainan/orientasi seksual? kamu udah check kesehatan reproduksi masing-masing? sudah pernah vaksin pra nikah (vaksin HPV, MMR, varicella, hingga vaksin hepatitis B.)? Sebelum melangkah ke level lebih berat yaitu punya anak yang sehat dan cerdas. It starts from you both having quality health.

Kalo merasa ada yang kurang di segi kesehatan, diskusikan terlebih dahulu. bagaimana caranya terbuka dengan pasangan masalah urgen ini? bagaimana pemeliharaan kesehatan? bagaimana konsep penyembuhan dari penyakit yang diderita? saat kambuh apa saja yang harus dilakukan? Perlu planning asuransi kesehatan sekelas apa? dst

kadang belum siap checkpoint di sisi fisik & kesehatan itu yang jadi miss banyak orang sih. banyak yang mengabaikannya karena dianggap tidak berdampak, padahal jika ingin hidup berkualitas & spending time lama dengan keluarga, ya perlu planning menjaga kesehatan diri sebaik mungkin. kalo mau mati cepat? ya beda lagi strateginya itu hehehe.

RAUNGAN SUARA-SUARA DI REALITAS SOSIAL.

“Rumah udah punya, kerja udah kerja, mau nunggu apa lagi? Ayo!” Kira-kira begitulah kalimat support dari para makhluk sosial. Kalau diniatkan, bisa kok besok nikah hahaha. Aku juga sangat bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan, tetapi dengan aku lahir bukan dari keluarga kerajaan, tidak korupsi, tidak pesugihan, dididik tegas, dan disekolahkan tinggi hingga merasakan hasilnya membuat aku menyadari bahwa hidup di masa kini dan masa depan butuh perencanaan bekal hidup yang matang sehingga sangat memahami apa artinya perjuangan.

Orang-orang lebih sibuk mengurus pernikahan dibanding membangun sebuah hubungan dengan pasangannya akhir-akhir ini. Dan menikah dianggap sebagai sebuah pencapaian (terutama bagi perempuan). Memang betul memiliki pernikahan yang hebat adalah suatu pencapaian, tetapi dengan angka perceraian karena perselisihan dan pertengkaran di indonesia tahun 2022 yang mencapai angka 63%, sudah jelas kalau mereka telah gagal. Kehidupan di rumah tangga itu bukan percobaan, kamu gagal gak bisa kamu ulang lagi.

Masyarakat ini menekan perempuan untuk memiliki pernikahan bak dongeng, bahkan setelah ditunjukkan oleh banyak kasus bahwa semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk pernikahan, semakin tinggi pula kemungkinan terjadinya perceraian.

Kalo kata ka Danar Dono “Kita tidak berdosa atas status ‘lajang’, tetapi kita akan ‘berdosa’ seandainya menikah lalu ‘gagal berkeluarga’ dan menjadi ‘bencana sosial’ khususnya bagi pasangan dan anak-anak”. Anjay, sekali-kali validasi single proud kita lah hahaha.

Hasutan dari teman kanan-kiri yang sudah married dengan membanggakan pernikahannya, dan membuat kita seolah tidak laku, tidak ada yang mau sama kita, dsb. Sebenernya santai aja sih. Kehidupan tiap orang beda-beda. Ketemu partner yang cocok itu susah. Mungkin temen yang udah married itu cukup beruntung kalo dia married dengan orang yang cocok. Jangan sampai lengah hanya demi pengen married biar seperti temen. Married itu sakral, dan sehidup semati. Jadi perlu banget untuk dapat pasangan yang benar-benar cocok.

Menikah bukan sekadar berlandaskan cinta saja. Butuh komitmen dan rasa tanggung jawab dalam jangka waktu yang panjang. Ditambah lagi perlu adanya keterbukaan dari masing-masing individu, misalnya dari segi finansial, kebiasaan (yang baik dan buruk), regulasi emosi, perencanaan masa depan, meroketkan ekonomi bersama, minimal baik dalam memanajemen diri. Jadi, sangat lazim dan pantas sekali jika selektif dalam menentukan dan memilih. Pasangan pun harus bisa menerima kekurangan-kelebihan masing-masing, dan tetap harus bisa menerima akan perubahan kedepannya selama tumbuh (semakin dewasa, menua) bersama. Bisa disimpulkan menikah adalah hal yang kompleks. Kamu akan terikat secara fisik dan emosi dengan individu lain dalam jangka waktu yang panjang. Karena itu, tidak semua orang ingin menikah atau cocok dengan konsep pernikahan yang bersifat mengikat, seperti hal-hal yang disebutkan sebelumnya. Wajar saja ada orang yang tidak ingin menikah dengan berbagai alasan dan pertimbangannya.

Sebenarnya nikah muda itu bukan masalah asal betul-betul mengenal dan siap secara mental dan finansial. Kalau pernikahan saja sudah dimulai dengan ketidaksiapan tiga hal diatas, apalagi sampai utang/pinjol dan akumulasi habit buruk lainnya, sudah pasti belakangan bakal susah.

ANAK BUKAN INVESTASI MASA TUA.

Yup paradigma itu yang mau kita terapkan. Anak merupakan individu yang mempunyai hak hidup & kebebasan memilih rancangan hidupnya kedepan. Bukan kontrol apalagi investasi kita dimasa tua nanti.

Sehingga harganya, pertanyaan-pertanyaan tidak sopan yang konservatif dari orang yang sudah tua (harusnya dianggap lebih tua lebih bijak) itu seharusnya tidak berlaku lagi:

Kamu kapan nyusul? Anak si ibu ini udah nikah lho, malahan udah mau punya anak. Nanti siapa yang mau ngurus kamu pas tua? Anak dijadikan investasi masa tua, sedangkan diri sendiri rela mengorbankan waktu, energi, pikiran & perasaan untuk sesuatu hal yang sudah dilakukan & diperjuangkan mati-matian nyaris mati (pendidikan & karir). Banyak orang tua yang bilang dengan menikah membuat mereka bahagia. Pemikiran egois, mementingkan ego nafsu pribadi dengan mengorbankan kebahagiaan si investasinya sendiri (anak).

Esensinya kehidupan anak itu bukanlah kehidupannya ortu. mereka bukanlah miniatur kehidupan ortu, bukan juga kesempatan kedua kehidupan ortu yang gagal. Jika ingin bahagia jangan memaksakan anak untuk menuruti segala permintaannya. Toh jika anaknya menikah bukankah dirinya yang akan mengandung janin didalam kandungan, bukankah badannya yg akan melar karena proses persalinan, bukankah dirinya yg akan diselingkuhi oleh pasangan yg brengsek. Jadi, pandai-pandailah membahagiakan diri sendiri agar tidak mudah meminta belas kasih agar anak yg membahagiakan nya dengan cara menikah.

Menikah bukan solusi untuk membahagiakan ortu. Akan masih banyak lagi permintaan-permintaan selanjutnya ketika menikah, jika tidak pandai dalam self defense.

CLOSING

Melakukan pencarian di Youtube atau Google dengan kata kunci “Nikah Muda” hanya akan mendapatkan hasil terbaik tentang motivasi dan kampanye agar tidak takut nikah muda, alasannya yang paling banyak adalah untuk menghindari zina. Kampanye dan ajakan nikah muda ini kian masif, tetapi tidak dibarengi dengan penyuluhan dan upaya-upaya meningkatkan perekonomian pemuda-pemuda. Akibatnya banyak yang asal berani nikah muda karena euforia trend santer menikah muda, tanpa perencanaan finansial dan emosi yang matang. Lalu berakhir dengan perceraian, KDRT dan eksploitasi anak.

Inilah sebenarnya yang kami coba perbaiki ‘menjadi lebih baik dari generasi sebelumnya’. Bukan hanya sehat relasi terhadap diri sendiri & keluarga dirumah, namun sehat relasi diluar rumah (relasi sosial-global) sehingga bisa memberikan individu dengan impact berkualitas secara mendunia. Kalo posisi kita sekarang aja bisa masuk ke dalam komunitas dan relasi global ini, kenapa anak-anak kita nanti tidak bisa mencicipi dunia yang lebih luas dari skala global ini?

Aku pribadi sebenarnya juga masih “what if, what if” tapi juga tidak militan menentang yang menikah muda. Soalnya, seperti yang aku lihat jalan hidup orang itu sangat unik. Variabel yang berpengaruh beragam. Aku tidak bisa menghakimi orang itu hanya dari salah satu pilihan hidupnya. Jadi mungkin posisi aku lebih ke tengah-tengah. menjadi konektor dari berbagai suara di topik yang sama ini.

Aku tau artikel ini hanya sedikit gambaran dari kompleksitas bumbu-bumbu pernikahan-rumah tangga. Tentunya tugas kamu jangan telan mentah-mentah argumen atau cerita-cerita kecil ini, apalagi menjadikan pembenaran argumentasi ke salah satu pihak. Cukup artikel ini dijadikan salah satu pembelajaran atau pertimbangan, ambil yang baiknya dan buang yang buruknya. Silahkan eksplorasi variabel-variabel lainnya yang menjadi pertimbangan dalam urgensi kehidupan di pernikahan kamu.

Terimakasih telah meluangkan banyak waktu untuk membaca artikel yang sangat panjang ini. Aku tau ini sangat menyita waktu dan pikiran kamu, namun kamu tetap sikat cerita ini sampai akhir. Terima Kasih atas apresiasinya. I hope we get a happy married life as we plan and Du’a every second of the day.

--

--

Dina Ahsana
Cultural Dimensions: Family, Social Class, and Society

Pharmacist | a writer from South Borneo, Indonesia. | Learning to live as human being