Mengapa Individu Polos dan Lugu Ini Menjadi Sorotan di Masyarakat yang Serba Tau?

Si anak poci masih menggunakan kertas dan pensil untuk mencatat pesanan kopi, sementara yang lain berinteraksi dengan aplikasi pemesanan kopi terkini.

Pesanan kopi berupa “mocha-caramel-frappuccino dengan 3 shot espresso tambahan” tidak pernah terlintas di kepalanya, melalui kepolosannya si anak poci hanya memesan kopi espresso.

Bahkan ketika orang-orang menikmati musik favorit mereka melalui headset nirkabel, si anak poci masih bertanya-tanya “Apakah ini yang namanya ‘Spotify’ atau ‘Spot-a-cat’?”. Lalu ia coba mengikutinya.

Seorang temannya bilang “Jika hidup memberimu lemon, biarkan kita membuat limunada lucu dengan kepolosan mu hahaha!”

Itulah sebagian cerita di Kedai Kopi yang katanya “Kehidupan Lebih Santai”. Dia si anak poci polos & lugu ini sangat sering kita temui di kehidupan sehari-hari. Ini bukan cerita fiksi, melainkan gambaran konkrit individu yang diselimuti keluguan dan kepolosan namun dimanfaatkan orang sekitar. Kok bisa ya si anak poci mudah disetir ?

Biasanya orang polos (katakanlah juga sangat naif) mudah terhasut omongan orang lain yang belum tentu terbukti benar atau ada manfaatnya bagi si orang polos tersebut. Misalnya akibat peer pressure (tekanan teman-teman sebayanya) atau dari seseorang yang dekat dengannya atau punya otoritas terhadap dirinya.

illustrator by @dribbble

Akhirnya, dia jadi tidak independen, dia kehilangan kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri yang sejalan dengan kehidupan uniknya, yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain. Dia memakai standar dan kacamata orang lain demi kebahagiaan (atau kelangsungan hidup)-nya sendiri. Dalam skenario lain, si polos ini cenderung latah, suka ikut-ikutan tren atau hype, butuh/haus validasi eksternal, tidak stabil pendirianya (labil), dst.

Kalau dia masih sangat muda, kurang pengalaman dsb, mungkin masih bisa dimaklumi dan masih lebih banyak kesempatan untuk “terjatuh/gagal” lagi. Yang terpenting, jangan menjadikan kepolosan dan keluguan itu sebagai karakteristik yang terus-menerus dalam hidupnya seperti itu (lugu aka lucu-lucu guoblok). Itu hanya akan menyusahkan dan merugikan dirinya sendiri.

Sisi dualisme — polos-cerdik, ini sangat manusiawi terkandung dalam karakter manusia. Jika alam semesta ini kejam, maka kita harus pandai beradaptasi atau menyiasati di dalam meresponsnya, tapi juga jangan melupakan sisi baik kemanusiaan kita — seperti merpati yang selalu setia kembali ke rumah dan pasangannya.

Biasanya, orang-orang muda yang masih sangat muda memiliki hati yang penuh semangat dan semangat yang membara. Mereka seringkali tulus dan percaya pada idealisme tertentu, terutama dalam hal percintaan. Emosi mereka masih dalam tahap mentah dan tidak terfilter dengan baik, yang sering dikaitkan dengan kepolosan. Namun, mereka masih perlu belajar dari kebijaksanaan orang-orang yang lebih tua dan memiliki pengalaman hidup yang beragam.

Sangat relatif memang, tidak ada yang lebih atau paling baik di antara keduanya. Makanya, menjadi cerdik dan tulus itu ideal karena keduanya saling mengisi, yang dapat menuntunnya pada keputusan yang tepat dan bijak.

Kasihan (feel sorry for them) atas kepolosan dan keluguannya, meski kadang-kadang kita sudah ngasih perhatian dan pengertian. Tapi, kesadaran itu harus datang sendiri dari hati nuraninya, tidak bisa kita paksakan. Kita semua pernah polos kok, hidup itu ibarat lari maraton yang perjalanannya sangat panjang.

Semakin kesini memang semakin banyak orang manipulatif, tidak sedikit anak-anak lugu dan polos dijadikan korban permainan, jadi sebisa mungkin kita harus lebih cerdik dua-tiga langkah didepan mereka. Jangan gampang dikibulin.

Beberapa catatan untuk orang-orang polos/lugu:

Jadilah pribadi yang mandiri dalam emosional, sosial, intelektual, dan ekonomi.

Jika kamu kesulitan untuk belajar mandiri, banyak-banyaklah bergaul atau cari pasangan yang mandiri. Jadi kamu terekspos, ketularan baik-baiknya. Ingat, cerdik dan tulus!

--

--

Dina Ahsana
Cultural Dimensions: Family, Social Class, and Society

Pharmacist | a writer from South Borneo, Indonesia. | Learning to live as human being