Ternyata, Petualangan Anak Burung Telah Melampaui Cerita Hidupku

Pernah dengar pengorbanan induk burung? bukan terkait keyakinan “setiap makhluk yang masih diberikan kehidupan hingga saat ini, pasti ada rezekinya”. Konsep tawakal disertai dengan usaha oleh induk burung itu memang benar. Namun bukan pengorbanan itu yang ingin di highlight, tapi pengorbanan “mendepak anak burung dari sarang dan tidak kembali selamanya”. Bagi aku itu wejangan yang berat namun harus dilakukan oleh orang tua kepada anaknya di zaman sekarang. Kok bisa?

Jadi gini, Sering dong melihat burung jantan selalu mencari makanan untuk induk betina dan anak-anaknya? kita tahu pastinya anak-anak burung yang baru lahir dijaga oleh induknya.

Hingga suatu saat, anak-anak burung tumbuh besar. lalu induknya akan mendorong anak-anak itu keluar dari sarang.

Saat jatuh melayang antara sarang dan tanah, anak burung harus mengepakan sayap untuk terbang.

Jika tidak bisa terbang, ia akan jatuh terhempas ke tanah dan mati. Yang tidak bisa terbang adalah mereka yang lemah dan cacat.

Bagi bangsa burung, itulah pelajaran terbang pertama tanpa adanya kesempatan kedua. Induk burung tidak pernah tahu manakah diantara anak-anaknya yang lemah atau cacat. ia hanya tau setelah mengepak anaknya keluar dari sarang. sebuah fenomena seleksi alam yang sederhana : terbang atau mati dalam satu kesempatan.

Aku yakin, Saat induk burung mendorong anaknya keluar dari sarang adalah momen yang sangat berat baginya, namun sekaligus penuh kebahagiaan. Berat karena si induk harus berpisah dengan anaknya dan tidak akan bertemu lagi, hidup atau mati. Bahagia karena si induk mengiringinya dengan doa (dalam bahasa burung tentunya), agar anaknya kuat dan selamat, tidak jatuh dan mati.

Menurutku, kebahagiaan terbesar seorang ibu-ayah/pemimpin/senior adalah ketika ia berhasil menempa anak-anaknya/adik-adiknya/juniornya sehingga mampu melakukan hal-hal besar, lebih dari yang pernah ia lakukan.

Anak-anak misalnya, ketika melepas mereka untuk kuliah di luar kota, ketika membebaskan mereka bekerja di luar negeri. Jujur saja, aku yakin orang tua merasakan sedih yang mendalam. Terasa ada individu yang bisanya meramaikan isi rumah, tiba-tiba hilang sekejap. Tapi aku juga yakin di sisi yang lain kebahagiaan akan meluap. Dan kebahagiaan serta doa orang tua tentunya akan lebih besar dibandingkan kesedihannya. Insya Allah. Wong sekarang kita bisa video call setiap saat tho.

Keluarga juga mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Keluarga harus bersikap fleksibel dan terbuka terhadap perubahan yang terjadi dengan anggota keluarganya, contohnya ketika anak sudah semakin dewasa dan siap hidup secara mandiri.

Hidup itu kadang perlu beradu, bergejolak, bergesekan. Dari gesekan dan kesulitanlah, sebuah pribadi akan terbentuk matang.

Tenang, percayalah akan kemampuan Tuhan dalam menjaga anak-anak di luar sana melalui doa-doa yang dibisikan tiap malam. Sebab kepercayaan itu mahal adanya. Tuhan tidak mungkin setega itu menelantarkan orang-orang yang dicintainya.

Back to the story:

Dalam proses pembelajaran terbang perdananya. Bayangin deh, anak burung itu kayak seorang petualang muda yang baru mulai mengeksplorasi dunia luar. Mereka tuh kayak Indiana Jones versi burung, berani banget menghadapi rintangan dan bahaya di sepanjang perjalanan terbang pertama mereka. Dengan semangatnya yang nggak kenal takut, mereka terbangin diri mereka sendiri seperti pilot-pilot pesawat jet! Mereka berani menghadapi ketakutannya, seperti takut tinggi atau takut jatuh, dengan gagah berani. Mereka terbang melintasi langit, berteriak, “Hey, dunia, aku datang!”. Ini mengajarkan kita bahwa keberanian sejati melibatkan menghadapi ketidakpastian dan keluar dari zona nyaman.

Tapi yang lebih keren lagi, anak burung ini juga mandiri lho!

Mereka adalah sosok inspiratif yang mengajarkan kita tentang keberanian yang luar biasa. Dan yang lebih keren lagi, mereka mandiri banget! Mereka nggak butuh bantuan dari burung-burung lain, mereka tuh kayak superhero pemberi makanan sendiri. “Kemanapun aku terbang, aku bisa cari makanan sendiri!” serunya.

Refleksi kemandirian yang luar biasa dalam mencari makanan, bertahan hidup, dan melindungi diri mereka sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Hal ini mengingatkan kita bahwa kemandirian sejati bukanlah tentang menjadi mandiri secara fisik, tetapi juga tentang memiliki kepercayaan diri dan keberanian dalam mengambil tanggung jawab atas hidup kita sendiri.

Keberanian dan kemandirian anak burung mencerminkan pesan yang lebih dalam tentang pentingnya mengatasi ketakutan dan mengandalkan diri sendiri dalam menghadapi tantangan hidup, serta mengambil langkah-langkah menuju pertumbuhan dan kemandirian pribadi yang lebih besar.

Jadi tidak hanya anak burung, kita juga bisa jadi pemberani dan mandiri dalam menjalani petualangan hidup kita!

“Merantaulah… Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup di negeri asing (di negeri orang)” ~Imam Asy-Syafii

Apa yang dirasakan ketika merantau? beberapa hal terjadi secara menakjubkan

  • Belajar menghargai rezeki yang dimiliki dengan lebih bijak mengelola keuangan, pinter-pinter membagi keuangan, berapa % untuk kebutuhan primer, perkuliahan, hangout, traveling dan nabung. Uang itu susah dicari dan mudah untuk dihabiskan.
  • Lebih jeli dalam menyusun jadwal dan mengatur waktu sendiri. Di dunia ini, kamu bertanggungjawab atas dirimu sendiri dan bukan orang lain.
  • Belajar menyusun prioritas hidup dan kegiatan. Mandiri, lakukan semuanya sendiri karena jika menunggu orang lain untuk menawarkan bantuan/mengharapkan orang lain, maka tidak akan membawa kamu selangkah lebih maju.
  • Merawat diri sendiri dan lingkungan sekitar yang kamu tinggali itu sulit dan melelahkan apalagi dilakukan setiap hari, kapan harus bersih-bersih, kapan harus masak atau pesan go-food, merapikan ruangan & kamar tidur
  • Beradaptasi + nyari teman yang kompatibel
  • Semua karakteristik orang bisa didapatkan di abad kehidupan masa rantauan, ada yang baik ada yang buruk dan ada yang ketika perlunya saja. Yang jahat belum tentu jahat dan yang baik belum tentu yang terlihat pula. Hati-hati gunakan intuisi jika tajam haha.
  • Belajar diversitas bahasa. Tidak perlu jauh keluar negeri, antar daerah di Indonesia aja bahasanya beda. Bahkan satu pulau aja beda
  • Kalo tidak ada kegiatan (saat libur panjang), hidup terasa monoton, stagnan, membosankan. Makanya perlu banget traveling & eksplorasi bersama teman-teman. dan tentunya ini perlu dana. Oleh sebab itu, jadilah kaya hahaha.
  • Kalo kerja karir — target di dunia digital & industrialisasi — aku rasa akan lebih baik di kota rantau, banyak kantor yg berpusat dan kantor2 startup di Jakarta. Ataupun beberapa negara maju yang punya potensi self-development tinggi di tengah circle orang2 yang kompetitif

*Dududuh segitu aja dulu deh, entar kalo dapat insight baru ditambahi lagi :)

Percaya atau tidak, hal-hal ini lah nantinya yang akan mempertajamkan rasa empati sang anak, membuat kami sebagai anak jauh lebih banyak bersyukur, memperkuat batin, dan menajamkan keahlian kami dalam bargaining/trade off yang digunakan sebesar-besarnya untuk kelanjutan hidupmu di kemudian hari.

--

--

Dina Ahsana
Cultural Dimensions: Family, Social Class, and Society

Pharmacist | a writer from South Borneo, Indonesia. | Learning to live as human being