#2021 - REVISITING THE ARCHITECTURAL THEORY

Fahmi Muchlis
Curatorial-X
Published in
3 min readDec 26, 2021
“Revisiting the Architectural Theory “ — Fahmi Muchlis , 2021

Tahun ini menjadi pengingat satu abad telah berlalu, sejak arsitektur Modern bangkit dan memberikan revisi terhadap arah pergerakan arsitektur sebelumnya. Dalam konteks sejarah, Modernisme berkembang dengan merespon isu global yang sedang bergejolak, mulai dari pandemi di awal abad ke-20, kebangkitan peradaban pasca perang, hingga menguatnya industri untuk menjawab tantangan ledakan populasi manusia. Tak bisa disangkal bahwa arsitektur di era abad ke-21 merupakan bagian sejarah panjang dari agenda Modernisme. Awal fase ini dimulai ketika sekitar 1930-an Walter Gropius memunculkan konsep Baukasten yang memperkenalkan rasionalisasi arsitektur ala industri melalui perakitan elemen-elemen arsitektur. Disusul Le Corbusier dengan Le Modulor (1945), sebuah prinsip proporsi dan skala antropometrik yang menjembatani skala imperial dan metrik untuk digunakan secara universal. Juga terdapat eksperimentasi yang dilakukan oleh Buckminster Fuller pada Dymaxion House (1946) untuk untuk produksi massal rumah, agar bisa dibangun pada berbagai lingkungan apa pun dengan sumber daya yang efisien. Karya-karya tersebut memberikan preseden baru bagi arsitektur terkait modularitas yang menjadi representasi simbolik gairah industri di era itu. Konsep-konsep ini pada akhirnya juga memberikan pemantik bagi bermunculannya inovasi-inovasi lain di arsitektur seperti karya arsitektur Moshe Safdie dengan Habitat 67, atau bahkan PRONTO sebagai piranti lunak CAD/CAM pertama yang dibuat oleh P Patrick J. Hanratty di tahun 1959. Meskipun pada akhirnya di awal 1960-an, Modernisme perlahan surut.

Keruntuhan Modernisme memang terjadi secara sistemik dengan dipengaruhi berbagai macam, misalnya laju ekonomi pada berbagai sektor dan imbasnya pada kondisi masyarakat. Tapi yang tidak bisa diabaikan, bermunculannya beragam pemikiran baru di luar domain arsitektur ternyata turut menggoyahkan ideologi utopis dan langgam internasional Modernisme.

Dinamika arsitektur menjadi menarik ketika memasuki era 1960-an. Geliat ini terutama menyampaikan kritik atas status quo Modernisme yang dianggap terlalu baku dengan doktrinnya. Tulisan Robert Venturi, Complexity and Contradiction in Architecture (1966) menjadi momentum untuk membuka diskursus arsitektur pada persoalan praxis ataupun teori itu sendiri. Venturi melihat potensi kompleksitas yang muncul dari dalam arsitektur karena bangunan sendiri memiliki banyak paradoks sama halnya di masyarakat, dan semestinya arsitektur mampu mengakomodasi itu. Seiring bermekarannya ideologi dan paham-paham baru yang berkembang di luar arsitektur dan bermigrasinya ke ranah arsitektur, pemikiran tersebut ternyata menjadikan spektrum keilmuan arsitektur kian meluas hingga saat ini. Salah satu contohnya yang terkenal adalah Proyek Parc de la Villete oleh Bernard Tschumi di tahun 1982. Interaksinya dengan pemikiran radikal Jacques Derrida dalam tulisan De la Grammatologie (1976) membuka pejelajahan filosofis arsitektur untuk mendobrak segala kebakuan yang telah diyakini di dalam arsitektur sebelumnya. Dekontruksi dijadikan sebagai sebuah cara pandang untuk mempertanyakan “apakah arsitektur itu?” maupun dalam metodelogi desainnya. Semangat demikian juga terlihat pada arsitek-arsitek lain. Di tahun 1988, Philip Johnson dan Mark Wigley melakukan kurasi tujuh karya arsitektur dan memamerkannya dengan tajuk Deconstructivist Architecture. Karya-karya ini dianggap menghadirkan kepekaan baru di arsitektur sekaligus mampu menyadari adanya ketimpangan dunia modern. Alih-alih menampilkan dogma kubus dan sudut siku Modernisme, mereka justru secara sengaja menggunakan kurva, diagonal, bidang dibengkokkan, secara jelas menunjukkan kejanggalan, patahan, dan misterius.

Bergeraknya paradigma arsitektur dari prinsip modularitas industri Modernisme menuju prinsip ketidakselarasan para dekonstruktivis, seakan menjadi pernyataan bahwa arsitektur senantiasa akan dikritik dan dipertanyakan ulang. Ketimpangan dunia modern yang dicerna oleh para dekonstruktivis berada di level yang berbeda untuk disandingkan dengan situasi sekarang. Apalagi obsesi industrialisasi oleh Modernisme, yang sifatnya kini jauh berbeda dengan era industri digital yang telah menjadi sangat personal. Revolusi industri 4.0 membuka gerbang yang baru pada proses desain hingga fabrikasi arsitektur. Semakin terbukanya media publikasi di era digital, maka setiap orang akan memiliki kesempatan untuk mengeluarkan manifesto dibandingkan publikasi arsitektur di era sebelum 1990-an yang mengandalkan seminar dan publikasi cetak. Dalam perkembangannya pun, arsitektur tidak lagi dipandang sebagai pengetahuan praktis, melangkah jauh di ranah teoritik dan saling bersinggungan dengan disiplin ilmu lain. Hal ini memang membuat penjelajahan kita cenderung berawal dari pembacaan fenomena dan perumusan isu. Namun meluasnya spektrum tersebut juga berarti semakin membuat kompleksnya sudut pandang kita dalam memahami apakah arsitektur itu? Dan di titik tersebut teori arsitektur dibutuhkan sebagai panduan (kembali). Teori yang sudah ada lantas menjadi sesuatu yang perlu dilirik ulang. Mendekatinya dari topik yang paling akrab, lalu memahami kembali dialektika yang telah ada, agar kita bisa merefleksikan bagaimana kelanjutannya. Banyak hal yang tampaknya perlu dipertanyakan kembali, bagaimana teori-teori yang dipahami dahulu, masihkah sesuai untuk diterapkan dengan konteks saat ini?

--

--

Fahmi Muchlis
Curatorial-X

Dosen, Departemen Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember