Siapkah tenaga dan fasilitas kesehatan di Indonesia dalam hadapi COVID-19 ?

Regita Permata
Data Science Indonesia
6 min readMay 10, 2020

World Health International (WHO) telah mengumumkan bahwa wabah Coronavirus Disease (COVID-19) sebagai pandemi global dan menjadi keadaan darurat tengah meresahkan dunia. Dikonfirmasi sejak 2 Maret 2020, kasus COVID-19 di Indonesia terus mengalami pertambahan dengan jumlah terakhir tanggal 22 April 2020 mencapai 7.418 pasien positif COVID-19 dengan pertambahan 283 kasus dari hari sebelumnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kasus COVID-19 yang tak terdeteksi semakin tinggi.

Tingginya kasus COVID-19 mengakibatkan rumah sakit rujukan di seluruh Indonesia kebanjiran pasien, baik yang telah terkonfirmasi positif maupun yang termasuk dalam kategori pasien dalam pengawasan (PDP). Menanggapi situasi tersebut, penting untuk menyiapkan infrastruktur dan tenaga kesehatan Indonesia yang mampu menghadapi pandemi global COVID-19 dengan baik. Meningkatkan kesiapan jasa kesehatan di Indonesia yang meliputi jumlah tenaga kesehatan, manajemen fasilitas pelayanan kesehatan , mudahnya mendapatkan informasi, prosedur secara jelas, hingga kelayakan fasilitas rumah sakit rujukan merupakan langkah penting yang perlu diambil.

Bagaimana kapasitas layanan kesehatan di Indonesia?

Sumber: Mohammad Alfan Alfian Riyadi

Rasio tempat tidur dapat menjadi ukuran terpenuhi atau tidaknya kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap pelayanan kesehatan. Menurut WHO standar rasio tempat tidur adalah 1 tempat tidur untuk maksimal 1.000 penduduk. Rasio tersebut dapat memberikan gambaran mengenai fasilitas yang tersedia kepada pasien rawat inap di rumah sakit dari segi jumlah tempat tidur yang dapat digunakan. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI tahun 2018, terdapat 2.269 unit RS di seluruh Indonesia dengan total tempat tidur yang tersedia mencapai 310.710 unit atau setara 1 unit tempat tidur RS untuk 853 orang atau setara dengan 1,17 per 1.000 penduduk Indonesia. Kapasitas sarana kesehatan ini sudah memenuhi standar minimum WHO namun masih sangat kurang dalam menghadapi pandemi COVID-19 yang kasusnya terus melonjak tinggi setiap harinya. Kapasitas ini jauh lebih rendah dibanding negara lain dengan kasus COVID-19 tertinggi, seperti Amerika Serikat dengan kapasitas sebesar 2,9 unit, Italia dengan kapasitas 3,4 unit per 1000 penduduk, dan bahkan Korea Selatan, negara yang mampu menekan jumlah penyebaran kasus, memiliki kapasitas tempat tidur sebesar 11,5 unit per 1000 penduduk.

Sumber: WHO, Bank Dunia

Menurut visualisasi yang ditampilkan berdasarkan provinsi, pada tahun 2018 ada delapan provinsi di Indonesia yang tidak memenuhi standar WHO, dengan rasio jumlah penduduk per tempat tidur rumah sakit diatas nilai 1.000. Secara berurut Provinsi NTB (1.410), NTT (1.231), Jawa Barat (1.171), Banten (1.150), Lampung (1.104), Sulawesi Barat (1.101), Kalimantan tengah (1.097), dan Provinsi Riau (1.024) memiliki rasio penduduk per tempat tidur rumah sakit terbesar di Indonesia. Artinya kesempatan orang untuk mendapatkan akses tempat tidur di rumah sakit sangat kecil, bahkan hampir tidak ada. Provinsi dengan tingkat kerentanan paling tinggi dalam menghadapi COVID-19 adalah Provinsi Jawa Barat dan Banten karena fasilitas kesehatan masih sangat kurang memadai terhadap jumlah penduduk, namun memiliki tingkat mobilitas yang sangat tinggi. Sedangkan, rasio jumlah penduduk per tempat tidur rumah sakit dibawah nilai 1.000 ada di Provinsi DKI Jakarta (430), Sulawesi Utara (476), dan Kalimantan Timur (545). Artinya kapasitas kesehatan di provinsi-provinsi ini cukup memadai. Namun, melihat DKI Jakarta sebagai provinsi dengan kasus COVID-19 tertinggi di Indonesia, provinsi ini tetap berpotensi kewalahan dalam melayani lonjakan kasus baru. Apalagi Indonesia kini memiliki resiko kematian akibat COVID-19 sangat tinggi. Itulah alasan mengapa pemerintah tengah menerapkan beberapa kebijakan tegas terkait penekanan jumlah kasus COVID-19, karena apabila keadaan tak kunjung membaik, dan jumlah kasus melonjak sangat tinggi, maka banyak provinsi di Indonesia (terutama Provinsi Banten dan Jawa Barat) yang akan kesulitan menyediakan tempat tidur untuk pasiennya.

Untuk mengatasi kekurangan tempat tidur yang diperlukan, pemerintah Indonesia menyediakan Puskesmas rawat inap dan non rawat inap sebanyak 8.925 unit di seluruh Indonesia yang dapat membantu pelayanan kesehatan masyarakat jauh dari jangkauan rumah sakit. Akan tetapi, Puskesmas tidak dapat membantu sepenuhnya apabila ada pasien yang kritis dengan gejala berat karena dibutuhkannya alat bantu pernafasan (ventilator), bahkan tidak tersedia di semua tempat tidur di rumah sakit rujukan. Dengan kapasitas alat kesehatan yang kurang memadai ini, menjadikan kekhawatiran akan lonjakan pasien COVID-19 yang menyerang sistem pernapasan manusia, sehingga kebutuhan ventilator sangat penting.

Kementerian Kesehatan RI mencatat jumlah ventilator rumah sakit di Indonesia pada tahun 2020 hanya 8.413 unit. Nilai tersebut masih sangat jauh dari total kebutuhan untuk pasien COVID-19 terkonfirmasi positif dan PDP. Dengan keterbatasan alat ventilator tidak menutup kemungkinan terdapat pasien positif maupun PDP tidak mendapatkan alat dan atau kemungkinan resiko meninggal.

Bagaimana dengan ruang ICU di Rumah sakit ?

Ruang Intensive Care Unit (ICU) sangat dibutuhkan untuk pasien yang mengalami gejala berat Virus Corona agar dirawat secara intensif dengan fasilitas yang memadai. Menurut jurnal Critical Care Medicine yang diunggah pada Januari 2020, Indonesia hanya memiliki 3 tempat tidur ICU untuk 100 ribu penduduk yang membutuhkan, nilai ini menunjukkan bahwa fasilitas ruang ICU di Indonesia belum memadai. Indonesia masih berada pada urutan lima dari negara ASEAN yaitu Negara Brunei Darussalam(13,1), Singapura (11,4), Thailand (10,4), dan Malaysia (3,4).

Sumber: Journal of Critical Care Medicine

Lalu Bagaimana dengan tenaga Kesehatan di Indonesia ?

Sumber: Mohammad Alfan Alfian Riyadi

Tenaga kesehatan merupakan garda terdepan dan berperan penting dalam memberikan tanggapan terhadap pandemi COVID-19 dan memberikan pelayanan yang dibutuhkan pasien suspek dan positif COVID-19. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan di tahun 2018, tercatat 93.628 dokter tersebar di seluruh Indonesia dengan 56.084 dokter umum dan 37.544 dokter spesialis. Pada tahun yang sama, penduduk Indonesia diperkirakan sebesar 267,7 juta jiwa, maka rasio tenaga kesehatan dokter sebesar 0,35 per 1.000 penduduk. Artinya hanya sekitar 3 sampai 4 dokter untuk melayani 10.000 penduduk. Rasio ini sangat jauh lebih rendah dan sangat kurang disaat Indonesia sedang menghadapi pandemi global COVID-19. Tidak hanya kebutuhan dokter yang masih sangat rendah, ketersediaan perawat juga masih rendah yaitu dengan rasio satu perawat untuk 748 pasien atau setara 1 sampai 2 orang perawat per 1.000 penduduk.

Visualisasi tenaga kesehatan di Indonesia tahun 2018 menunjukkan bahwa berada persebaran jumlah tenaga kesehatan di Indonesia masih sangat tidak seimbang. Hal ini ditunjukkan dari adanya enam provinsi dimana persebaran jumlah tenaga kesehatannya dibawah 1%, yaitu Kalimantan Utara (0,44%), Sulawesi Barat (0,45%), Maluku Utara (0,51%), Gorontalo (0,61%), Papua Barat (0,70%) dan Kepulauan Bangka Belitung (0,90%). Sementara itu, provinsi di Indonesia dengan persebaran tenaga kesehatan terbanyak adalah DKI Jakarta (11,84%), Jawa Tengah (12,85%), dan Jawa Timur (15,13%). Meskipun demikian, jika dilihat dari rasio penduduk per dokter, provinsi dengan persebaran tenaga kesehatan yang tinggi pun masih memiliki kapasitas yang tidak memadai. Contohnya, di Jawa Timur 1 dokter spesialis harus menangani 5.889 penduduk dan 1 dokter umum menangani 4.563 penduduk. Apabila kondisi COVID-19 yang tak kunjung mereda, serta tingkat penyebaran terus meningkat tanpa adanya kebijakan tegas dari pemerintah, tenaga medis tidak mampu dalam menangani kasus ini.

Rendahnya jumlah fasilitas dan tenaga kesehatan di Indonesia menyebabkan kekhawatiran bagi warga negara terhadap kemampuan negara dalam menangani kasus COVID-19. Terutama apabila diprediksi jumlah kasus mengalami peningkatan yang sangat tajam. Dari hasil analisis, DKI Jakarta memiliki fasilitas dan tenaga kesehatan yang paling memadai dibandingkan provinsi lainnya, namun DKI Jakarta kewalahan apabila terjadi lonjakan kasus. Pemerintah telah menetapkan kebijakan yang diberlakukan di DKI Jakarta dan sekitarnya yaitu pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan mewajibkan penggunaan masker di tempat-tempat umum. Namun perlu dilakukan intervensi agar mampu menahan tingkat penyebaran COVID-19 seperti pemeriksaan massal, membatasi mobilitas penduduk. Adanya transparansi data dari pemerintah juga penting, agar masyarakat mengetahui informasi terbaru terkait COVID-19 serta peneliti mampu menganalisis dan memprediksi kapan berakhirnya pandemi global ini.

Ditulis Oleh: Regita Putri Permata

--

--