Jakarta, 100 Tahun Berselang

Tombayu Amadeo Hidayat
Data Sekitar
Published in
6 min readFeb 13, 2023

Buat saya, salah satu hal yang membuat peta menarik adalah kemampuannya untuk menampilkan berbagai macam dimensi. Yang pertama dan paling tradisional adalah dimensi ruang, dimana suatu ruang di Bumi (atau dimanapun) dicoba untuk direpresentasikan pada dimensi x, y dan z. Pembaca peta seolah-olah diajak untuk melihat ruang dari perspektif yang berbeda.

Namun, saat melihat potongan peta tua di bawah ini lewat di linimasa Twitter saya, saya menyadari bawa peta juga ternyata mampu mengakomodasi dimensi lain dengan baik: waktu. Peta Batavia en Omstreken (Batavia dan Sekitarnya) ini merupakan peta keluaran tahun 1923 yang dibuat berdasarkan data tahun 1920. Melihat peta ini, saya agak terheran-heran menyadari bahwa dulu.. Jakarta bukan se-raksasa itu. Well.. Obviously? Haha. Tapi liat! Daerah terbangunnya (warna oranye) sama sekali tak mendominasi. Ada gugusan-gugusan hijau (yang menandakan perkampungan), namun tetap saja: yang mendominasi justru rawa-rawa, sawah, perkebunan dan lahan kosong (warna krem dan warna kebiruan). Wilayah Jakarta 100 tahun lalu jauh berbeda dengan Jakarta yang saya kenal saat ini..

Batavia en Omstreken (Batavia dan Sekitarnya); Dinas Topografi Weltevreden, 1923.

Kenapa peta ini begitu menarik? Karena semakin lama kamu menelusuri lika-liku jalanan, mengamati warna-warni tutupan lahan dan bercak-bercik pemukiman di peta itu, semakin banyak detail menarik yang bisa kamu temukan. Peta, dalam hal ini, berfungsi bagaikan mesin waktu. Pembaca peta diajak untuk membayangkan nuansa Kota Batavia 100 tahun silam.

Memang tak elak bahwa wujud ibukota sudah begitu berubah dalam 100 tahun. Namun saya penasaran, apa jadinya kalau peta tua ini kita sandingkan dengan peta dengan kondisi sekarang? Toh data tahun 2020 juga tersedia dan dapat diunduh bebas. Mungkin itu dapat menjawab pertanyaan seperti “Adakah ruas jalan yang sejak dahulu memang sudah ada?”; “Seperti apa sih suasana Jalan Sudirman — Thamrin 100 tahun silam?”; “Gimana sih tutupan lahan daerah segitiga emas dulunya?”.

Untuk itu, saya memulai proyek iseng-iseng ini dengan melakukan digitasi salinan digital peta tua ini agar dapat saya visualisasikan ulang. Saya mendapatkan bantuan dari Mas Stevanio dari platform fastwork.id untuk mendigitasi peta ini. Digitasi peta, apalagi peta yang cukup detail seperti ini, memang butuh ketekunan. Jadi, terima kasih banyak Mas Stevanio! Sedangkan data tutupan lahan tahun 2020 saya dapatkan dari platform Jakarta Satu.

Setelah proses digitasi selesai dan semua data terkumpul, saya mesti melakukan klasifikasi ulang terhadap tutupan-tutupan lahan yang ada pada data. Ini penting dilakukan, agar saat membandingkan peta tahun 1920 dengan 2020, kita bisa melihat klasifikasi yang sebanding. Ini juga mempermudah proses kartografi nantinya, dimana lahan dengan klasifikasi yang sama tentu akan divisualisasikan dengan warna yang sama.

Hasilnya, adalah peta di bawah ini. Bisa juga akses peta interaktifnya di tautan ini: https://tombayu.github.io/jakarta-then-now/

Kontras. Peta yang awalnya didominasi warna hijau (kebun, taman, sawah, rawa), berubah menjadi putih/abu-abu (terbangun). Mari kita coba lihat beberapa detail yang menurut saya menarik:

Garis Pantai

Berubah jauh. Hal pertama yang paling mencolok tentu adalah perubahan garis pantai, yang bergeser semakin ke utara. Daratan-daratan “baru”, seperti Pantai Indah Kapuk 2, Terminal Kontainer Priok Baru. Pelabuhan Tj. Priok yang dulunya seperti terkucilkan sendiri di sisi timur laut, sekarang terlihat bersatu dengan kawasan sekitarnya. Akses jalannya masih ada sampai sekarang: Jl. LL RE Martadinata. Daerah Kelapa Gading, Koja dan Penjaringan dulunya hanya berupa rawa-rawa dan sawah. Dufan dan Ancol yang masih berupa.. Empang di tepi laut? Menariknya, di bagian selatan PIK 2 masih ada daerah hijau yang bertahan dari dulu sampai sekarang: hutan bakau.

Segitiga Emas

Segitiga Emas yang tersohor.. Pusat aktivitas bisnis, juga tempat kedutaan besar berbagai negara berkumpul. Seratus tahun lalu, daerah ini banyak diisi oleh gugusan-gugusan perkampungan, yang mungkin sampai sekarang pun masih demikian. Di peta tahun 1920, hal ini terlihat dari gugusan abu-abu yang tidak diiringi dengan jaringan jalan yang teratur. Terlihat organik dan tidak direncanakan. Jalan Thamrin, Sudirman, Rasuna Said sama sekali belum ada, apalagi Tol Dalam Kota. Yang nampak justru cikal bakal Jalan Prof. Dr. Satrio di bagian tengah, juga Jalan Sisimangaraja di sebelah barat yang bersimpangan dengan Jalan Trunojoyo di sisi selatan.

Sama halnya dengan daerah Senayan dan Gelora Bung Karno. Terlihat di sisi Barat peta tahun 1920 bahwa daerah tersebut dahulunya merupakan perkampungan, tempat bermukim orang-orang perkampungan Senayan yang akhirnya harus digusur untuk pembangunan kawasan Gelora Bung Karno. Saya jadi ingat salah satu episode Si Doel, saat Si Doel diajak oleh ayahnya untuk berkunjung ke GBK untuk melihat ‘bekas tanah leluhur’ mereka. Mengutip tulisan Cindy Adams di bukunya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, Bung Karno berkata: “Ini semua bukanlah untuk kejayaanku, semua ini dibangun demi kejayaan bangsa. Supaya bangsaku dihargai oleh seluruh dunia.” 100 tahun berselang, kawasan ini toh memang menjadi pusat ekonomi Kota Jakarta.

Mungkin memang itu harga yang harus dibayar..

Tiga “Kota Bagian”/De Drie Stadsdelen

Melansir buku “Jakarta: Sejarah 400 Tahun” karya Susan Blackburn, dalam perkembangannya, Jakarta memang memiliki 3 “pusat kota”. Setelah Pelabuhan Sunda Kelapa dan Jayakarta ditaklukkan oleh Belanda, pemukiman di Jakarta terpusat di Batavia Benedenstad (Kota Bawah), yaitu daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua. Seiring perkembangannya, Kota Bawah semakin padat, sehingga perkembangan kota bergeser ke Bovenstad (Kota Atas) di bagian selatan. Daerah tersebut dinamai Weltevreden, dan saat ini lebih dikenal dengan sebutan Gambir. Semakin ke selatan, berkembang pula pusat kota lain yang disebut Meester Cornelis. Daerah tersebut sekarang disebut Jatinegara.

Mari kita tilik tiga daerah tersebut lebih detail.

Daerah Kota Tua memang sejak dahulu relatif sudah terbangun, namun saat membandingkan daerah tersebut dengan daerah Weltevreden (Gambir, peta kedua), agak mengejutkan bagi saya untuk melihat bahwa daerah Gambir terlihat jauh lebih berkembang. Daerah Gambir terlihat lebih didominasi oleh daerah terbangun, sedangkan daerah Kota Tua lebih banyak dikelilingi oleh tutupan hijau. Menarik pula untuk melihat kotak-kotak hijau kecil — taman — di peta tahun 1920, yang masih ada di peta tahun 2020.

Daerah Jatinegara tahun 1920 terkesan seperti daerah yang baru berkembang. Belum banyak jaringan jalan yang teratur, dan keberadaan dua stasiun kereta — Stasiun Jatinegara dan Stasiun Manggarai — terlihat berperan penting dalam berkembangnya daerah ini.

Poin Refleksi

Peta dalam bentuk konvensionalnya (peta statis, peta cetak) merupakan sumber data yang sangat kaya akan informasi. Apalagi peta tua. Untuk membuatnya jadi digital, perlu proses digitasi yang sangaaaaat.. Membutuhkan kesabaran. Hehe 😌 Mungkin nanti akan ada algoritma-algoritma khusus yang bisa mendigitasi peta-peta tua secara otomatis. Tapi kalau dengan teknologi yang ada sekarang, mungkin masih butuh beberapa waktu sampai hal itu terwujud..

Data yang saya hasilkan dari proses digitasi ini tentu saja bisa diolah lebih lanjut. Mungkin bisa dikuantifikasi, misalnya luas tutupan lahan hijau di tahun 1920 adalah sekian hektar, sedangkan di tahun 2020 jadinya jauuuuh lebih kecil. Yang saya lakukan di tulisan ini hanya berfokus pada visualisasi. Bagaimana membuat kategori di dua sumber data yang berbeda menjadi konsisten, sehingga saat visualisasi dari kedua periode dibuat, kita bisa membandingkannya dengan apple-to-apple. Kalau ada yang punya ide atau mau sharing, enaknya data ini diapain lagi, boleh banget kontak saya :-)

TL;DR: Dalam 100 tahun, Jakarta berubah jauh! Silahkan jelajahi dan bandingkan Jakarta di dua abad berbeda melalui peta interaktif ini! https://tombayu.github.io/jakarta-then-now/

--

--