Toponimi di Jakarta

Tombayu Amadeo Hidayat
Data Sekitar
Published in
7 min readMay 4, 2020

Tahun 2015 silam, saya berkesempatan untuk magang di Jakarta sebagai bagian dari studi sarjana saya. Kesempatan tersebut memberi saya waktu yang tidak sebentar — 3 bulan — untuk menjelajahi kota yang besar ini. Selain gedung-gedung megah yang selalu membuat diri ini kagum sedari kecil, hal lain yang menarik hati saya adalah nama-nama tempat di Jakarta.

Terinspirasi oleh sebuah proyek geografer favorit saya, Topi Tjukanov, saya pun bertekad untuk iseng-iseng menelisik data nama-nama tempat itu. Hal ini dalam Bahasa Indonesia lazim disebut dengan toponimi, atau gazetteer dalam Bahasa Inggris. Konon katanya, nama-nama tempat di Jakarta menggambarkan banyak hal: mulai dari karateristik daerah, segregasi komunitas, fitur geografis, hingga kepada peristiwa sejarah. Hmm, menarik. Bisakah saya temukan pola-pola menarik dari toponimi itu? Dan seperti apa polanya bila saya tampilkan toponimi itu dalam peta?

Lalu muncul pertanyaan selanjutnya: darimana saya bisa mendapatkan data toponimi yang lengkap? Intuisi pertama saya langsung mengarah ke data resmi dari pemerintah, yaitu Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25000 yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Dalam peta tersebut terdapat layer toponimi yang berisi nama-nama unsur geografis. Namun setelah saya telisik lebih dalam, toponimi dari BIG ini cukup terbatas. Satuan administrasi yang mereka sertakan hanya mencapai pemukiman; satuan yang lebih detail seperti nama gedung atau nama stasiun tidak ikut mereka sertakan. Akhirnya saya menggunakan sumber data yang sama dengan yang Topi gunakan, yaitu geonames. Awalnya saya pesimis dengan data ini, namun setelah membaca dokumentasi data mereka, ternyata mereka mengkompilasi data toponimi ini dari berbagai sumber: BPS, data.go.id, portal data pemerintah daerah, dan termasuk juga BIG. Untuk daerah megapolitan Jadetabek, terdapat 3281 entri toponimi dalam data ini. Lanjut!

Penjelajahan ini saya mulai dengan bermodalkan pertanyaan dan pengetahuan saya yang terbatas tentang toponimi di Jakarta. Saya tahu mall Grand Indonesia yang terkenal itu ada di Jalan Kebon Kacang. Ada juga nasi goreng kambing terenak yang pernah saya makan di Jalan Kebon Sirih. Lalu ada juga daerah yang namanya Kebon Jeruk. Hmmmm, kebon. Sebenarnya ada kebon apa saja sih di Jakarta dan sekitarnya? Ini dia!

Catatan: titik-titik di peta-peta di artikel ini menandakan lokasi toponimi yang dijelaskan pada judul peta. Di Indonesia, sangat lazim kalau terdapat beberapa daerah dengan nama yang sama. Untuk keperluan visualisasi, setiap nama yang unik hanya ditampilkan satu kali, walau toponimi tersebut mungkin muncul beberapa kali. Untuk menghindari redundansi, toponimi dengan kata ‘utara’, ‘selatan’, ‘dua’, dan sejenisnya pun tidak saya tampilkan labelnya — hanya ditandai oleh titik. Lagi-lagi, supaya enak di mata :-)

Saya baru tahu kalau ternyata ada banyak ‘kebon’ di Jakarta. Yang lebih menarik lagi: jenisnya macam-macam! Mangga, duren, kapuk, tebu, manggis, you name it. Mungkinkah dulu di daerah tersebut memang ada perkebunan jahe? Menurut artikel ini, daerah Kebon Sirih misalnya, memang dulunya merupakan tanah perkebunan yang banyak tumbuh tanaman sirih. Tapi siapa sangka dulu di Jakarta ada kebun bawang?

Ibu saya pernah cerita kalau dia dulu juga pernah tinggal di daerah bernama Kampung Melayu. Beberapa waktu lalu pengguna transportasi umum di Jakarta hangat membicarakan jalur MRT yang katanya akan dilanjutkan sampai Kampung Bandan. Pacar saya sering berhenti di Terminal Kampung Rambutan kalau mau pulang. Hmmm, kampung. Ada kampung apa saja sih di Jakarta dan sekitarnya?

Yaampun, saya tidak menyangka bahwa banyak sekali toponimi di Jadetabek yang awalannya kampung. Kampung Poncol, Sawah, Rawa.. Tapi bagi saya, pola yang menarik disini adalah terdapatnya macam-macam nama ras/daerah yang tersebar di Jakarta. Kampung Jawa, Kampung Bugis, Makasar, Ambon, Irian, Melayu. Menyadur dari Tirto, penamaan ini dapat kita tarik ke zaman pendudukan Belanda, dimana orang-orang pribumi diharuskan tinggal hanya dengan orang-orang satu suku dalam sebuah kampung. Menarik, menarik..

Awalan lain yang muncul ke pikiran saya adalah ‘pondok’. Dulu pernah main ke Pondok Indah Mall, lalu pernah juga melihat angkot dengan jurusan Pondok Cabe. Terus kebetulan pernikahan saya direncanakan untuk diadakan di Asrama Haji Pondok Gede (hehehe). Jadi, ada pondok apa saja di Jakarta dan sekitarnya?

Hmm, banyak juga. Dan random. Dari unsur ras, tumbuhan, hingga kata sifat, ada semua disini. Satu-satunya pola yang menarik bagi saya adalah sebaran spasialnya: mayoritas toponimi dengan awalan pondok terletak di luar Jakarta. Di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara pun hampir nihil. Pondok Putri Duyung itu hanya sebuah hotel baru dibangun sekarang-sekarang ini. Intinya: tidak banyak pondok-pondok di Jakarta; sebagian besar di Kota Tangerang Selatan dan Kota Bekasi.

Kenapa pondok-pondok ini memberikan sebaran spasial yang sedemikian rupa? Dari hasil pencarian saya di Google, saya menemukan hal menarik. Lagi-lagi, hal ini bisa kita tarik jauh ke zaman pendudukan Belanda. Berawal dari pengembangan perkebunan-perkebunan di sekitar ibukota dulu, pemerintah kolonial banyak membuka lahan perkebunan baru. Di Bekasi misalnya, banyak dibangun perkebunan gula. Tentu perkebunan ini tidak mereka garap sendiri: orang-orang pribumi dan Cina lah yang bekerja keras menggarap lahan ini. Menurut sejarahjakarta.com, orang-orang pribumi tersebut tinggal di bangunan bersekat-sekat menyerupai rumah kecil yang mereka sebut sebagai pondok. Makanya, banyak sekali daerah di Bekasi yang disebut dengan pondok. Ohhh, begitu!

Pola lain yang menarik adalah nama hari dan ‘tanah’. Saya pernah naik KRL lalu turun di Stasiun Pasar Minggu. Pernah juga mendengar sebuah stasiun di Jakarta namanya Senen. Wah, nama-nama hari. Apa jangan-jangan Jakarta punya 7 nama hari lengkap dalam seminggu? Lalu teringat juga dengan daerah yang namanya Tanah Abang dan Tanah Kusir di daerah Jakarta pusat. Adakah tanah-tanah yang lain?

Uh, oh, setelah dilihat lebih dalam, sepertinya Jakarta hanya mengenal 5 hari: Senin, Rabu, Kamis, Jumat dan Minggu. Kenapa begitu ya? Kalau menurut artikel ini, nama Pasar Minggu diambil karena dulu pasar tersebut hanya beroperasi di hari Minggu. Bisa jadi benar, karena kalau di Belanda selalu ada ‘pasar kaget’ di pusat kota setiap hari Rabu dan Sabtu. Tapi kemana perginya Pasar Selasa dan Pasar Sabtu? Olala.. Menurut artikel ini, ternyata Tanah Abang yang tersohor, yang ada di peta sebelah kanan itu konon dulu bernama Pasar Sabtu. Sedangkan Pasar Selasa, sekarang dikenal dengan Pasar Koja di Jakarta Utara. Ternyata..

“Tom, coba cari tempat-tempat yang namanya ‘Jati’ dong! Aku sering lewat Jatiwarna, Jatisampurna, Jatiasih.. Mungkin ada banyak lagi yang lain?”, ujar pacar saya, saat saya tanya-tanya pendapat soal toponimi ini. Hmm, benar juga! Ada berapa banyak tempat dengan awalan Jati-di Jadetabek?

Oow, lagi-lagi sebaran spasial. Kebanyakan toponimi dengan awalan Jati terletak di Jakarta Timur dan Bekasi! Ada apa gerangan? Sejauh ini riset kecil-kecilan saya belum berhasil menemukan fakta yang menarik, hmm. Mungkin ada yang tau?

Kebon, kampung, pondok, hari, tanah, jati. Selanjutnya? Rawa, lebak, gunung, bukit! Kesamaan dari keempat kata tersebut, mereka semua adalah fitur geografis. Ada Rawamangun, Lebak Bulus, Gunung Sahari, Bukit Duri..

Olala, lihat peta rawa-rawa itu! Banyak sekali toponimi di Jakarta dengan awalan rawa! Lebih banyak dari yang saya kira. Menurut artikel ini, dahulu memang banyak sekali rawa-rawa di Jakarta. Genangan tersebut lalu dikuras dan manusia pun hidup di atasnya.. Hmm, tidak heran kalau banjir sudah menjadi cerita rutin orang Jakarta sejak dulu. Jadi, kalau Rawamangun dulunya adalah rawa-rawa, Lebak Bulus dulunya adalah lebak atau lembah, apakah Gunungsahari dulunya adalah gunung? Entahlah :-)

OKE! Mungkin itu beberapa temuan menarik dari keisengan saya bermain-main dengan data spasial. Betapa data yang sederhana, sesederhana nama-nama tempat, ternyata memiliki makna dan cerita sejarah di baliknya. Kalau ada teman-teman yang punya ide lain, atau mungkin tau pola-pola yang menarik untuk ditelisik, silahkan kontak saya di email htombayu(at)gmail(dot)com atau bisa juga di twitter @tom5ive. Kalau ada yang tertarik dengan bagaimana saya membuat visualisasi yang ada di artikel ini, saya sudah unggah source code-nya di github saya.

Cheers!

Tombayu Amadeo Hidayat

--

--

Tombayu Amadeo Hidayat
Data Sekitar

A guy with particular interest with maps. Always expect maps in my writings 🌏