Apa itu Design Thinking?

Ravi Mahfunda
Design Jam Indonesia
8 min readSep 16, 2019

Saat pertama kali saya mencoba mendalami dunia UX Design, saran yang paling banyak saya terima adalah — “Coba pahami Design Thinking?”.

Lantas saya bertanya-tanya, apa itu Design Thinking.

As far as I know, Design Thinking adalah “framework” dalam pola pikir kita atau bagaimana pendekatan kita dalam menyelesaikan sebuah permasalahan.

“Design Thinking berfokus pada mengintegrasikan kebutuhan user, kapabilitas teknologi, dan bisnis”

Design Thinking melibatkan seluruh pihak dalam prosesnya, hal ini menjadi kelebihan Design Thinking dimana kita menyelesaikan masalah dengan melihatnya dari berbagai sisi.

Secara teknisnya, saya percaya Design Thinking dapat diterapkan dalam banyak bidang. Tidak hanya dalam membuat aplikasi tapi juga untuk keperluan engineering, arsitektur, advertising, organisasi, atau bahkan kehidupan sehari-hari.

Design Thinking Flow

Dalam metode Design Thinking, dikenal 5 fase yaitu Empathy, Define, Ideate, Prototype, lalu Test. Harus digaris bawahi, kelima proses ini tidak selalu bersifat linear. Alur proses dapat disesuaikan dengan kasus spesifik tertentu.

Empathy — Feel your users

“Empathy is at the heart of design. Without the
understanding of what others see, feel, and
experience, design is a pointless task”

Buat siapa sih kita bikin produk? Buat user kita tentunya. Maka dari itu, pada Design Thinking pendekatan yang diambil bersifat user-centered atau menitik beratkan pada apa yang sebenarnya yang dirasakan oleh user kita. Dengan berempati dengan user kita, kita dapat membuat sebuah produk yang benar benar dibutuhkan dan menyelesaikan permasalahan user kita.

Pada prosesnya, empati merupakan landasan terpenting dalam metode Design Thinking. Hal ini bertujuan untuk kita memahami lebih dalam apa sebenarnya yang terjadi dan dirasakan oleh user kita. Dalam implementasinya, hal ini bisa dilakukan sedikit User Research. Seperti wawancara, survei, feedback, turun ke lapangan, atau bahkan dari pengamatan langsung yang spontan.

Saya sendiri sering tercetus pikiran-pikiran spontan yang menantang seperti

“Kalo mereka…. kira-kira proses nya bagaimana ya… dan kenapa mereka terlihat begitu kesusahan… apa yang membuat mereka kesusahan… Kalo ada sesuatu yang bisa membantu…”

Dan kadang hal ini memicu rasa penasaran untuk mencari tau lebih dalam, kadang berakhir pada diskusi hingga larut malam.

Dalam salah satu prinsip Product Design yang paling penting menurut saya adalah Guess Less, dimana kita mencoba untuk sesedikit mungkin untuk berasumsi dan mencari tau kebenaran dengan fakta di lapangan.

“Ya.. karena asumsi membunuh mu”

Sedikit berbagi pengalaman, pada saat dulu awal membuat produk saya mencoba menerapakan Design Thinking. Proses awal yang ingin saya lakukan adalah User Research untuk lebih memahami calon user. Setelah membuat Research Plan, saya menemui kendala dimana saya tidak bisa menemukan calon user yang tepat untuk diwawancarai. Akhirnya, untuk mengefisienkan waktu saya melanjutkan tahap ini dan langsung menuju tahap Ideation berbekal asumsi.

Tahap Ideation merupakan tahap yang benar-benar memakan waktu dan pikiran. Flow dan fitur saya jabarkan dalam diagram dan narasi. Saat selesai tahap Ideation, saya kembali lagi ke tahap Empati untuk memvalidasi asumsi yang saya bawa. Namun kenyataan di lapangan sangat bertolak belakang dengan asumsi yang saya percaya. Model bisnis yang saya rancang bahkan tidak dapat dijalankan.

Hal ini menjadi pengingat saya betapa pentingnya kita harus memahami dan berfokus pada calon user kita. Namun hal ini masih lebih baik dibanding saya mengetahuinya saat sudah mengembangkan produk akhir.

“Fail early, Fail often… Iterate”

Output dari tahap ini adalah data, insight, user persona, etc

Define — What are they really need?

Next step… Define. Menentukan sebenarnya apa yang dibutuhkan oleh user kita. Dari berbagai fakta lapangan yang kita peroleh pada tahap sebelum nya, disini kita simpulkan dan jadikan insight.

Salah satu istilahnya adalah Framing the Problem within a Point of View.

Dengan melihat permasalahan dengan sudut pandang tertentu, kita dapat menentukan mana yang jadi prioritas permasalahan yang akan kita selesaikan dengan solusi.

Setidaknya pada tahap sebelumnya kalian mendapatkan beberapa hal ini:

  • Siapa user kalian? Secara detail dan spesifik.
  • Apa kebutuhan atau kesulitan utama mereka?
  • Hal-hal mengejutkan atau eye-opening lainnya yang membuat anda menyadari realita di lapangan.

Lalu kita bingkai permasalahan itu dalam sebuah perspektif dengan pola seperti dibawah ini

“We met … ”

“We were amazed to realize that … ”

“It would change the world if … ”

Simpulan permasalahan ini yang akan dibawa ke tahap selanjutnya — Ideate.

Output dari tahap ini adalah problem statement, rumusan masalah

Ideate — Generate as many ideas you could think of

Ideate… where the fun begins… they said.

Tahap Ideate ialah tahap dimana kita mencari segala macam solusi yang dapat memecahkan permasalahan pada tahap sebelumnya. Diskusi dalam sebuah tim dan mencatata segala macam solusi yang dikemukakan. Dalam tahap ini ada beberapa prinsip dasar yang menjadi landasan proses Ideate.

1. Jangan mudah menghakimi

Tidak ada ide yang tidak masuk akal, pada tahap ini akan berfokus pada solusi apa saja yang ada. Karna sangat mudah untuk kita menumbangkan ide dengan justifikasi “hal ini tidak memungkinkan”.

Tujuan dari tahap ini adalah untuk melakukan eksplorasi seluar mungkin dari solusi yang ada, dan early-judgement seperti itu sangat tidak sehat untuk berlangsungnya proses diskusi.

“Deferring judgement reduced social inhibitions in the group — no one would be stigmatized for shouting out a crazy idea.”

2. Berfokus pada menghasilkan sebanyak mungkin ide

Prinsip selanjutnya ialah untuk menghasilkan ide sebanyak mungkin. Ide ini tidak harus original, inovatif, unik atau lainnya. Ide disini bisa saja dari pengalaman sebelumnya atau model bisnis yang sudah ada. Sebanyak mungkin, berbagai sudut pandang, dan bermacam-macam pengalaman.

Anda dapat berekplorasi liar dengan metode “How might we…” namun jangan lupa untuk membatasi waktu yang dialokasikan. Karna tak jarang begitu mudah untuk kita larut dalam eksplorasi yang mendalam yang kadang terlalu lebar.

How Might We…

3. Budaya akan rasa percaya

Pada tahap ini sangat dibutuhkan rasa kepercayaan dan percaya diri yang besar dalam tiap anggota tim untuk berani mengemukakan pendapat dan ide nya. Namun, untuk beberapa kasus tertentu dimana belum terciptanya rasa percaya ini akan menimbulkan keheningan berkepanjangan.

Salah satu solusinya sebagai contoh, pada Design Sprint (yang bakal kita bahas di kesempatan berikut nya) tiap partisipan diminta untuk membuat sketsa dari solusi yang mereka inginkan lalu di-vote secara diam menggunakan sticky note bulat kecil atau kalau di Indonesia seperti di-coblos.

Lalu bagaimana jika anda tidak memiliki tim atau sedangan menjalani proses ini sendiri? Mind Mapping akan menjadi sahabat baru mu!

Dengan Mind Mapping kita bisa fokus mencatat ide yang lalu kita rumuskan cabangan dari ide kita dan cabang-cabang-cabang berikutnya. Seperti di bawah ini (lebih lengkapnya akan kita bahas di kesempatan berikutnya)

Mind Map

Output dari tahap ini adalah sketsa, flow, diagram, mind-map, concept

Prototype— Demonstrate the idea

Sekarang anda sudah memiliki konsep atau gambaran dari solusi yang ingin anda buat, tujuan selanjutnya adalah bagaimana cara memvalidasi bahwasannya ide ini dapat menyelesaikan masalah tersebut. Apabila anda merealisasikan nya baru melakukan validasi, hal ini tentu memakan waktu dan sumber daya yang sangat besar. Maka dari itu kita harus membuat kerangka minimum dari solusi kita, atau disebut Prototype atau purwarupa (translasi dalam bahasa indonesia nya agak lucu).

Prototype merupakan suatu implementasi solusi dalam sumber daya yang minim. Detail dari spesifikasi dalam implementasi pun dapat bervariasi, atau biasa disebut fidelity. Secara umum prototype terbagi menjadi Low-fidelity dan High-fidelity.

Prototype sendiri bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul saat dalam mengembangkan produk. Bisa jadi memvalidasi, ketergunaan produk, efisiensi, dan lainnya.

“A good prototype is a prototype that facilitates
answering the questions you have.”

Beberapa pertanyaan bisa saja hanya membutuhkan low-fidelity prototype, dan beberapa lainnya membutuhkan high-fidelity. Sebagai contoh — pada sebuah aplikasi multilingual diperlukan validasi untuk mengecek apakah translasi dari istilah kata sudah cukup mudah dipahami calon user, hanya membutuhkan low-fidelity prototype. Sedangkan untuk menguji kontras warna, kemudahan keterbacaan, lalu familiarity dengan icon memerlukan high-fidelity prototype.

Jenis prototype pun beragam tidak harus berupa interactive prototype, bisa saja sketch, paper-prototype, atau magic prototype (prototype yang disimulasikan dengan menggunakan manusia secara manual).

Output dari tahap ini tentunya… prototype ahahahaa

Test — Challenge your assumption and learn from it

Pengujian merupakan tahap dimana kita memvalidasi apakah rancangan solusi yang kita buat sudah benar mampu menyelesaikan masalah user? atau ada hal yang dapat kita kembangkan?

“Prototype as if you know you’re right, but test as if you know you’re wrong.”

Penting kita untuk bersifat netral dan tidak terbawa suasana atau bahkan bias. Disini penting untuk kita memiliki Beginner’s Mind.

Beginners mind

“In the beginner’s mind there are many possibilities, in the
expert’s mind there are few.”

Dengan memposisikan diri kita sebagai pemula, kita akan mempelajari banyak hal tanpa terhalangi rasa ego dan rasa “songong”. Terus mendengarkan masukan tanpa bersifat defensif ialah attitude yang wajib dimiliki orang yang ingin terus berkembang.

Pada saat menjalani tahap testing, mungkin akan banyak insight baru yang baru kita tau kebenerannya. Mungkin juga akan berlawanan dengan pendapat kita, namun begitu lah adanya. Dan dari situ lah kita belajar mengenai calon user kita.

Set objectives

Sebelum memulai testing, ada baiknya kita menentukan dulu apa yang ingin kita ketahui dari testing ini. Buat lah testing plan, insight apa saja yang ingin kamu dapatkan, bagian mana yang ingin kamu validasi.

Seperti dijelaskan pada tahap prototype, prototype dibuat untuk menjawab pertanyaan yang masih menjadi perdebatan dengan tujuan untuk membuat produk menjadi lebih baik.

Recruiting users

Selanjutnya ialah menentukan orang yang dijadikan calon user sebagai tester. Mungkin teman dan keluarga akan menjadi mangsa yang empuk. Namun penting untuk dipertimbangkan bahwa tester yang kalian rekrut sesuai dengan demografis atau user persona yang telah kita tentukan sebelumnya.

Apabila anda sudah memiliki data dari existing user, akan sangat bagus bila kita dapat merekrut tester yang berpotensi. Seperti user baru, user yang paling aktif, user yang mulai jarang aktif, dan lain sebagainya.

Testing the prototype

Saat memulai testing, jangan tergesa-gesa untuk langsung menjelaskan semua hal. Biarkan user untuk mencoba memahami produk mu. Dengan begitu anda juga bisa sekaligus mengecek apakah rancangan yang anda buat sudah cukup intuitif.

Sampaikan yang perlu disampaikan dan berusaha lah untuk menghargai waktu mereka. Saat melakukan testing, usahakan untuk merekam berjalannya testing dan alokasikan orang lain untuk mencatat dan mengamati proses testing. Hal ini ditujukan agar kita dapat lebih leluasa memandu tester dalam proses testing.

Berikut ada contoh bagaimana perusahaan seperti Google melakukan pengujian produk mereka

Tahap selanjutnya ialah melakukan review dan menyimpulkan hasil dari proses testing. Apa yang perlu diperbaiki? dan kembali ke tahap awal.

Kesimpulan

Design Thinking merupakan pola pendekatan penyelesaian sebuah masalah. Proses nya tidak harus linear. Design Thinking bertujuan untuk memvalidasi ide lebih cepat dan lebih sering, dengan begitu kita bisa gagal lebih cepat dan memperbaiki diri lebih cepat.

Peace :D

Artikel ini dibuat berdasarkan Design Thinking Handbook dari InVision, dan saya cerna dan jelaskan sesederhana mungkin dengan harapan untuk lebih mudah dipahami oleh para pembaca. Silahkan langsung membaca pada sumber terkait jika penasaran lebih dalam.

--

--

Ravi Mahfunda
Design Jam Indonesia

M.24 • Product Designer • No-code Builder • Community Organizer