Pengalaman pindah haluan karir menjadi UX Designer atau Product Designer

Borrys Hasian
Design Chit-Chat
Published in
7 min readMay 12, 2022
Photo by Alex Radelich on Unsplash

Di tulisan kali ini, saya ingin berbagi pengalaman dan hal penting yang saya pelajari, saat berpindah haluan karir menjadi seorang UX Designer atau Product Designer (selanjutnya untuk lebih simpel, saya gunakan sebutan Product Designer ya).

Lumayan banyak yang bertanya tentang hal ini, terutama setelah mengetahui bahwa sebelum menjadi seorang Product Designer, saya menjalani karir sebagai seorang Mobile Software Engineer.

Sekilas tentang saya

Saya Borrys Hasian, asal Bandung, Indonesia. Sekarang menetap di Singapura. Sekarang menjabat sebagai Senior Vice President, Head of Design & Research di ALAMI Group. Beberapa pencapaian profesional sebelumnya: Design Director di Gojek, Design Director di Singtel Group (Telkomsel salah satu dibawahnya), Head of Design di GrabFood, orang Indonesia pertama yang menjadi Google Expert di bidang Product Design, termasuk menjadi Google Global Mentor untuk Product Design di Silicon Valley, Amerika Serikat.

Silakan yang mau terhubung via LinkedIn. Saya juga aktif di Twitter dan memiliki channel Youtube Design Chit-Chat.

Menemukan aspek yang hilang dari pembuatan produk

Di tahun 2007, saya menjadi Lead Mobile Software Engineer di British Telecoms (BT), salah satu tugas besarnya: men-develop aplikasi untuk Transport for London. Tim inti ada tiga orang, dan semuanya Software Engineer. Selain sebagai Lead, saya juga satu-satunya yang memiliki software Adobe Fireworks untuk mendesain, sehingga saya yang ditunjuk untuk membuat desain — desain disini termasuk screen flow dan UI/Visual Design. Jangan tanya soal Design Thinking atau design process, saat itu pembuatan flow atau desain saya kerjakan sendiri, tanpa input dari pengguna, sedikit interaksi dengan tim bisnis dan tim proyek…tapi hampir semua desain (termasuk fitur-fitur) di-drive oleh engineer.

Kesadaran bahwa ada aspek pengguna yang kita abaikan, muncul saat aplikasi mobile berbasis Java 2 ME itu kita coba di situasi sebenarnya di London. Setelah menghabiskan waktu berbulan-bulan, ternyata beberapa fitur tidak berguna, termasuk kesulitan mengakses fitur di konteks sebenarnya (di stasiun kereta). Saat mencari referensi tentang aspek pengguna, saya menemukan beberapa buku yang membantu untuk sadar bahwa ada aspek pengguna dalam pembuatan suatu produk yang sukses:

  1. Designing Interactions dari Bill Moggridge — saya mulai kenal istilah human-centered di pembuatan produk.
  2. About Face dari Alan Cooper — saya mendapat pencerahan mengenai Goal-directed Design, membuat Persona (profile dari target users), dan membuat desain menggunakan narasi (Context Scenarios).
  3. The Humane Interface dari Jef Raskin (pembuat Apple Macintosh) — saya mulai belajar prinsip desain yang lebih mendasar, semacam filosofinya, termasuk landasan desain (yaitu user needs). Yang selalu saya ingat sampai sekarang: “Building an interface is pretty much like building a house, if you don’t get the foundation right, no amount of decoration can fix the resulting structure.” Dan fondasinya adalah user needs.

Setelah mempelajari hal-hal diatas, saya tercerahkan. Masih sebagai Software Engineer, tapi pendekatan saya mulai membaik, ke arah human-centered. Diskusi tentang fitur dan produk, mulai mengikutsertakan pertanyaan seperti “Apa yang menjadi masalah pengguna sekarang?” “Bagaimana mereka menggunakan layanan lainnya?” “Bagaimana kita membantu pengguna mencapai tujuan mereka dengan lebih baik?” Hanya tetap prakteknya tidak optimal. Saya dan tim masih tidak berinteraksi dengan pengguna. Proses pembuatan produk pun jauh dari proses Design Thinking. Secara pribadi, saya menemukan excitement di bidang baru ini. Semakin tenggelam dalam bacaan mengenai desain, saya makin semangat.

Sebelum pindah haluan menjadi Product Designer

Ini yang mesti ditanyakan ke diri sendiri saat ingin berpindah haluan menjadi seorang Product Designer. Sebelum bicara “Bagaimana…?”, tanyakan dulu “Kenapa…?” Motivasi melakukan sesuatu bisa bermacam-macam — dari mulai potensi gaji/penghasilan yang lebih besar, jabatan yang lebih keren (mungkin), atau hal lainnya. Untuk saya sendiri, excitement dengan dunia desain itu sendiri yang jadi alasan untuk berpikir pindah haluan. Waktu kita di dunia ini hanya sekejap, jadi penting untuk kita melakukan hal yang membuat kita lebih excited, lebih bahagia, lebih meaningful. Apalagi dalam berkarir, dimana kita akan menghabiskan mungkin 70–80% dari waktu hidup kita untuk bekerja. Hal ini juga akan berpengaruh pada ketahanan kita saat menjalani jalur karir tersebut. Selalunya di awal dari segala sesuatu, butuh usaha lebih untuk memulai. Melakukan hal yang kita sukai akan memberi suntikan energi yang besar saat muncul tantangan besar.

Jadi sebelum terlalu jauh bicara bagaimana cara menjadi seorang Product Designer, ambil waktu dulu untuk melakukan retrospective. Bisa coba menggunakan metode VITAMIN yang pernah saya share.

Luck adalah saat kesempatan bertemu kesiapan

Niat saya untuk berpindah karir menjadi Product Designer, bersambut dengan adanya kesempatan menjadi UX Designer di salah satu operator selular Norwegia yang ada di Kuala Lumpur. Dengan percaya diri setelah mendalami buku-buku tentang human-centered design, saya masuk ke ruang interview dengan Director of UX-nya. “Tell me about your Design Process in building a product,” kata interviewernya. Saya menjelaskan dengan percaya diri, panjang lebar…dan sadar bahwa saya melakukan kesalahan setelah raut muka direktur tersebut berubah. Saya mengatakan bahwa setelah saya membuat produk (di develop), baru saya tes dengan pengguna 🤦🏽‍♂️. Ini a BIG NO untuk proses desain yang human-centered. Saat saya berjalan meninggalkan gedung operator selular tersebut, saya lihat formulir lamaran saya dibuang ke tempat sampah.

Sempat terlintas, bahwa takdir saya mungkin tetap di Mobile Software Engineer, tapi masih ada dorongan dan semangat yang kuat untuk mendalami bidang desain. Saya mengirim email ke direktur tersebut, dan minta direkomendasikan untuk posisi lain yang menurut dia cocok. Akhirnya saya direkomendasikan untuk menjadi Product Development (mirip Product Manager), dan Alhamdulillah berhasil mendapat posisi tersebut.

Setelah masuk dengan posisi Product Development, saya tetap kepikiran untuk mendalami dunia desain. Sambil menjalani posisi yang ada, saya mendekati tim desain, bertanya yang banyak, meminta referensi buku-buku terkait UX Design. Ini buku-buku yang membantu saya lebih memahami desain saat itu:

  1. Elements of User Experience dari J. J Garrett — dari sini saya mengerti hal penting tentang bagaimana UX itu dibangun, dari mulai Strategy (User needs and Business Goals), Scope (content and functional requirements), Structure (Information Architecture dan Interaction Design), Skeleton (Information Design, Layout, Hierarcy), dan Surface (Visual Design). Mulai terbuka bahwa desain itu bukan hanya tentang membuat flow dan screen, termasuk UI, tapi juga ada tahapannya dan dimulai dengan user needs dan business goals.
  2. Don’t make me think dari Steve Krug — dari Steve Krug saya belajar hal praktis, termasuk konsep penting jangan membuat pengguna berpikir (atau sesedikit mungkin berpikir), dan jumlah klik itu bukan patokan good UX — fokusnya mesti di gampangnya setiap klik, bukan jumlah klik.
  3. Designing Interfaces dari Jenifer Tidwell — saya mulai mengenal UI (User Interface), termasuk best practices penggunaan berbagai komponen UI.
  4. Information Architecture dari Peter Morville — ini lebih ke overview membuat struktur informasi, hanya lumayan berat untuk saya yang baru mulai di desain.

Setelah mendalami buku-buku diatas, dan semakin sering berinteraksi dengan tim desain, saya jadi makin bersemangat. Dengan kondisi latar belakang sebagai Software Engineer dan gagal di interview sebagai UX Designer, saya menawarkan diri untuk menjadi intern di tim desain dan aktif menawarkan bantuan. Saat itu perusahaan sedang bertransformasi menjadi user-centric, dan tim desain sedang aktif membuat kampanye internal. Saya mulai dengan mengerjakan poster, kemudian membuat screen saver. Kelihatannya tidak penting, tapi hal-hal tersebut membantu saya untuk berinteraksi lebih banyak dengan tim desain dan belajar dari mereka.

Berikan lebih dan hal baik akan datang

Tidak terlihat tanda-tanda saya bisa mendapat posisi fulltime di tim desain. Muncul satu titik terang: ada proyek untuk meredesain website utama. Tanpa diminta (karena memang bukan job scope saya), saya membuat Heuristic Evaluation. Menggunakan Elements of Experience sebagai outline, saya buat detail evaluasi desain dari website yang ada. Hasilnya adalah ratusan halaman berisi analisa desain, termasuk usulan bagaimana desain yang lebih baik untuk setiap masalah desain yang saya temukan. Setelah mendapat respon positif dari hasil analisa tersebut, saya meminta internal transfer untuk menjadi UX Designer, dan Alhamdulillah diterima. Mulailah perjalanan saya sebagai Product Designer di tahun 2009.

Pelajaran penting di tahun pertama

Setelah sebelumnya telah mencapai posisi Lead Software Engineer, di dunia desain saya harus mulai dari nol lagi. Buku-buku bisa membantu untuk membuka pengetahuan, tapi untuk mencapai tahap “wisdom”, perlu dibarengi dengan pengalaman — menerapkan pengetahuan itu di proyek nyata. Beberapa hal yang menjadi pelajaran penting di tahun pertama sebagai Product Designer:

  1. Terlalu fokus pada design best practices, bukan user needs atau business goals — Desain hanyalah sarana untuk membantu pengguna dan bisnis mencapai tujuan. Karena saya pemula, jadi sangat text-book, dan kurang fleksible saat mencari solusi/mendesain produk.
  2. Tidak kolaboratif — Ini terkait dengan poin pertama. Desain dianggap bagian tim desain saja, padahal proses mencari solusi itu mesti mengikutsertakan semua tim, baik produk, bisnis, operasional, sampai teknologi. Dengan tidak kolaboratif, masing-masing tim jadi memaksakan agenda masing-masing, dan akhirnya pengguna lah yang jadi korban. Mestinya sebagai tim desain, saya bisa memfasilitasi solutioning.
  3. Tidak lean — proses desain bisa mencapai berminggu-minggu, karena mencoba menyempurnakan aspek desain sampai ke detail UI/Visual Design nya, tanpa sadar bahwa proses desain mestinya dibagi ke 3 hal: buat high level flow/experience map, kemudian lanjut ke wireframes (fokus di konten, fitur, dan high level transition), baru detail UI/Visual Design termasuk motion design.
  4. Kurang eksploratif dan iteratif —ide-ide desain yang muncul untuk suatu masalah hanya satu-dua saja, paling banyak tiga. Kurang mengerti bahwa di tahap eksplorasi, mestinya digunakan sebagai kesempatan untuk berinovasi (dengan memunculkan banyak — puluhan ratusan ide out-of-the-box), baru setelah tahap eksplorasi, dilakukan tahap pengkerucutan ide menjadi 2–3 solusi potensial yang mesti di validasi ke pengguna dan di perbaiki (iteratif).
  5. Tidak fleksibel dalam melakukan validasi ke pengguna — validasi konsep, biasanya Usability Testing, memakan waktu berminggu-minggu, dari mulai perencanaan, pelaksanaan, sampai analisa hasil.
  6. Tidak membangun personal relationship dengan tim lain — seprofesional apapun, personal relationship tetap penting. Bukan masalah KKN, tapi dengan hubungan yang baik, komunikasi bisa lebih baik, dan juga kita membangun rasa empati — mengerti aspirasi, prioritas, dan masalah yang dihadapi tim lain.

Belajar, latihan, dan praktek

Bisa dibilang, kebanyakan proyek di tahun-tahun pertama saya sebagai Product Designer, gagal semua. Saya juga gagal merubah mindset kebanyakan orang di perusahaan operator selular tersebut untuk menjadi user-centric. Akhirnya tim desain pun dibubarkan. Satu per satu mulai resign, atau pindah ke divisi lain. Tapi hal ini tidak membuat saya mundur untuk kembali menjadi Mobile Software Engineer. Saat kita punya mimpi atau tujuan yang baik, jangan harap segalanya akan mudah. “Everything good is never easy,” kata orang bijak. Saya tetap semangat menjadi seorang Product Designer. Makin banyak belajar dan latihan desain, sampai akhirnya ada kesempatan datang untuk hijrah ke Singapura, sebagai UX Designer juga.

Semenjak di Singapura, dunia desain semakin membuat saya bersemangat dan terbuka lebar. Mungkin nanti saya tulis artikel lain tentang pembelajaran di berbagai perusahaan yang pernah saya jalani. Untuk sekarang, semoga tulisan ini bisa menjadi inspirasi untuk siapapun yang ingin berpindah haluan karir, terutama menjadi UX Designer/Product Designer. Kerjakan hal yang membuat kita semangat dan kita sukai, jangan takut atau ragu mulai dari nol untuk mengejar mimpi/cita-cita, belajar dan latihan keras, beri yang terbaik tanpa pamrih, dan serahkan hasilnya kepada Allah.

--

--

Borrys Hasian
Design Chit-Chat

I'm a Product Designer, fascinated about Design Innovation, and I have led Design for successful and award-winning products used by millions of people.