Komunitas Sepeda Onthel Bebas Berekspresi

Destinasi Indonesia
Destinasi Indonesia
3 min readJul 8, 2016

Komunitas ini menawarkan kebebasan, kepuasan batin, kesehatan, dan memperluas pertemanan hingga lintas bangsa.

Awal Mei 2016, Bandung dibanjiri sepeda onthel. Ribuan peserta dari berbagai daerah bahkan dari luar negeri seperti Belanda, Inggris, Swedia, Brunei dan Filipina ikut meramaikan acara tersebut. Semua peserta bebas bereksprsi. Ada yang menjadi tentara Jepang, pejabat kolonial, pahlawan revolusi, petani, rocker, pengantin Belanda, pocong, berpakaian adat, sampai kembali menjadi anak-anak dan remaja denga memakai seragam SD, SMP, maupun SMA. “Dikomunitas sepeda onthel semua bebas berekspresi. Bebas menjadi apapun.” Ujar Diar Cahdiar, ketua Paguyuban Sepeda Heubeul Garut.

Sejarah

Hapir setiap daerah di Indonesia, papar Diar, punya komunitas sepeda onthel. Sebelum terbentuk Komunitas Sepeda Tua Indonesia (Kosti), masing-masing komunitas berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada induk yang menaungi. Salah satu komunitas sepeda tua yang sudah berdiri belasan tahun ada di Jawa Tengah.

Diar yang sempat menjabat sebagai Ketua Pengawas Internal Kosti dan sejak dibentuk hingga sekarang manjabat sebagai Ketua Paguyuban Sepeda Heubeul Garut, bertutur bahwa Kosti terbentuk Februari 2008. Sebelumnya, beberapa tokoh penggemar sepeda tua berkumpul dan tercetus ie untuk membuat induk dari komunitas-komunitas sepeda tua. Kemudian ide itu mulai diwujudkan melalui komunikasi dengan komunitas-komunitas sepeda tua di daerah. Akhirnya terselenggaralah kongres pertama di Bogor. “Februari 2008 Kosti dideklarasikan. Setiap 3 tahun diadakan kongres untuk memilih ketua sekaligus melakukan silaturahmi nasional.”

Bagaimana dengan Paguyuban Sepeda Heubeul Garut (PSHG)? Diar bercerita, komunitas sepeda onthel Garut itu berdiri 19 Mei 1998 dan berada dibawah naungan organisasi induk, Kosti. Awalnya, setiap pagi Diar selalu bersepeda onthel, mengikuti anjuran dokter. Karena ada saraf terjepit, dokter menyarankan untuk melakukan terapi dengan sepeda onthel. Posisi duduk tegak disebut bisa membantu proses penyembuhan dan pemulihan. “Karena itu, mulailah setiap pagi saya naik sepeda onthel.” Awalnya Diar bersepeda sendiri, tapi lama-kelamaan mulai ada yang bergabung dan jumlahnya terus bertambah. “Saat ada sekitar 30-an, kami akhirnya membentuk Paguyuban Sepeda Heubeul Garut. Anggotanya kini mencapai 375 orang. Dari situ teman bertambah dan ternyata anjuran dokter sangat manjur. Sampai sekarang urat terjepit saya tidak pernah kambuh lagi.” Diar menambahkan, sepeda onthel pada masanya dibuat sebagai alat transportasi utama. Karena itu, sangat memperhatikan kenyamanan dan kesehatan, baik itu posisi duduk, berlutut, pinggang, dsb. Berbeda dengan sepeda-sepeda jaman sekarang yang dibuat untuk lifestyle atau untuk kepentingan lain. “Saya jadi paham mengapa dokter menyarankan sepeda onthel sebagai alat terapi urat terjepit.” Katanya.

Sepeda Onthel tipe Flying Pidgeon Wikipedia

Sepeda Onthel tipe Flying Pidgeon Wikipedia (foto: Wikimedia Commons)

Jual Beli

Apa saja sih kegiatan komunitas sepeda onthel? Menurut Diar, setiap daerah memiliki event sendiri-sendiri. Awal Mei, Bandung baru saja menjadi lautan onthel. Komunitas di daerah itu menyelenggarakan event rutin yang tidak hanya diikuti dari berbagai daerah di Indonesia, tetapi juga dari luat negeri. Mengapa pecinta sepeda onthel dari luar negeri sampai datang ke Indonesia? “Negeri kita ini surga, menyimpan banyak sepeda-sepeda tua. Mereka berburu suku cadang yang bisa digelar ketika ada event. Selain itu, tentu memperluas jaringan dan pertemanan,” ujar Diar.

Setiap ada event, menggelar suku cadang memang selalu muncul. Biasanya disebut bursa Klithikan. Di situlah pecinta sepeda kuno berburu. Para pedagang menggelar barang di tanah beralas plastik, seperti layaknya pedagang kaki lima. Tetapi jangan salah, harga suku cadang yang dijual luar biasa, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Kepuasan

Biasa membeli sepeda kuno, berburu suku cadang, memperbaiki hingga mulus dan jalan kembali menjadi kepuasan tersendiri bagi para pecinta sepeda onthel. “Apalagi jika membeli dari kondisi kurang baik, kemudian berhasil memperbaiki dan mendapat suku cadang original. Kepuasan luar biasa,” tukas Diar. Secara garis besar, ada 3 jenis sepeda onthel, yakni sepeda lelaki, perempuan, dan sporty yang kerap disebut onthel wandu. Harganya bervariasi, paling murah untuk sepeda tahun 1950–1960an sekitar Rp 750ribu hingga 1 jutaan. Untuk tahun yang lebih tua sekitar tahun 1910–1920an mencapai Rp 75juta sampai Rp 150juta” rekornya ada di Bandung. Satu sepeda ditukar dengan rumah tipe 37 seharga Rp 300 juta. Intinya ini hobi yang memang mengasyikkan dan menyehatkan. Teman-teman kita pun bertambah dari berbagai daerah di Indonesia bahkan dari negara-negara lain.” Ujar Diar menutup pembicaraan. (D-1)

Originally published at Destinasi Indonesia.

--

--