Belibis yang Menjadi Duta

Kakawin Wṛttasañcaya Karya Mpu Tanakung

Pranacaraka
Deuteronomi
2 min readNov 11, 2023

--

Sepasang belibis diutus seorang Nona, untuk menyampaikan rasa rindunya kepada sang Suami. Nona itu dengan kegairahan yang sayu-sayu mengungkapkan kenangan dan rasa rindunya yang mendalaman di hadapan Cakrawanggi, si Belibis betina.

Sang Nona berharap bahwa dengan ceritanya itu, Cakrawanggi dapat berbelas kasih dan merasakan penderitaannya. Sehingga pesan yang disampaikan kepada suaminya juga mendalam dan berdaya guna.

Ilustrasi dua belibis emas

Wṛttasañcaya (dibaca: werta sancaya), begitulah judul yang disematkan oleh Mpu Tanakung dalam salah satu kakawin guritan tangannya. Sebagai kakawin, naskah ini dilantunkan dengan mengikuti aturan metrum tertentu. Kaidah metrum ini diadaptasi dari India kuno, dengan aturan kurang lebih sebagai berikut:

  • Satu bait kakawin, umumnya mengandung 4 baris / larik. Tetapi ada bentuk khusus yang hanya mengandung 3 baris saja.
  • Setiap baris dalam bait itu, menggunakan 1 template metrum yang mengatur jumlah suku kata (chanda), pelantunan panjang / berat (guru), dan pelantunan pendek / ringan (laghu).
  • Template metrum ini memiliki nama tertentu, contohnya Śardūlawikrīḍita yang terdiri dari 19 suku kata tiap baris, dengan guru-laghu −−−|UU−|U−U|UU−|−−U|−−U| U ( − dilantunkan panjang / guru, sedangkan U dilantunkan pendek / laghu).
  • Template metrum tersebut dapat diterapkan di beberapa bait secara seragam, membentuk 1 pupuh atau sarga.
  • Kemudian pupuh-pupuh dirangkai oleh para pujangga untuk menceritakan sesuatu hal.

Jadi dapat disimpulkan bahwa, sebuah kakawin terdiri dari beberapa pupuh yang memiliki pola metrum teratur setiap pupuhnya. Dalam satu pupuh terdiri beberapa bait, yang tiap baitnya terdiri dari empat baris.

Kebayang, kan, bagaimana rumitnya penyair jaman dulu dalam membuat sebuah karya sastra (dari sudut pandang kita sekarang yang mungkin sudah tidak menggunakannya).

Selain menguraikan sebuah kisah belibis di atas, kakawin Wṛttasañcaya disusun oleh Mpu Tanakung untuk mengajarkan dengan memberi contoh aturan chanda, guru dan laghu. Beliau menarasikan kisah belibis itu mulai dari penggunaan 1 suku kata hingga 27 suku kata dalam satu baris.

Dalam dua bulan terakhir, kami berupaya untuk menyalin aksara Jawa, mengalihaksarakan, dan menerjemahkannya ke dalam bahasa yang lebih populer. Tentu ini dilakukan dengan harapan untuk “membawa pulang” naskah-naskah kuno Nusantara, siapa tahu ada yang berminat membacanya🥹.

--

--