Pujangga Jawa ini Sudah Meramalkan Akhir Zaman

Pranacaraka
Deuteronomi
Published in
3 min readFeb 20, 2024

Usai melaksanakan salat subuh, dia melangkah keluar rumahnya. Pemandangan di kampungnya — di salah satu sudut Karesidenan Surakarta, tak pernah membuatnya bosan. Meskipun sebetulnya, dirinya sedang berhadapan dengan ketakutan terbesar dari dirinya!

Dia duduk di teras rumah, menunggu endapan sari-sari teh merasuk ke dalam air panas. Rasa sepat dari sadrasa adalah yang dinantinya. Setelah beberapa saat, air teh kesukaannya itu dituangkan ke dalam cangkir favoritnya. Rasa panas di ujung bibir sengaja dia biarkan, serta dengan segera dibuang ke lidah.

“Biarlah api ini membakar lidahku, agar kelak aku mampu melantangkan panasnya batinku. Batinku yang marah melihat kebodohan manusia di zaman edan ini.”

Selain Winter, koleganya, dia tidak begitu bersimpati dengan orang-orang berkulit putih. Mengapa? Karena perbudakan manusia Jawa sudah menjadi keprihatinannya selama bertahun-tahun. Orang keraton pun tampak lebih memedulikan orang-orang berkulit putih itu ketimbang rakyat jelata. Tak sadarkah mereka kalau sedang digerogoti?

Seorang tetangga — sahabat diskusi mendatanginya. Dia menuangkan teh panas ini ke cangkir lain yang sebelumnya nganggur. Sahabatnya itu berkata, “Agaknya dirimu kurang disukai oleh Kanjeng Gusti. Mungkin kamu terlalu vulgar menyindir keraton yang ketularan budaya feodal barat.”

“Begitu, ya? Belakangan ini aku hanya menyuarakan isi hatiku, keprihatinanku kepada bangsa ini. Apakah sebetulnya para bangsawan itu sudah tak lagi mendengarkan para resi, tak mengindahkan lagi sampiran para pujangga?”

“Mungkin, raden. Mungkin raden terlalu keras saja. Kejujuran dan kebenaran itu memanglah musuh mereka yang sedang mabuk.”

“Saudaraku, zaman ini memang benar-benar sudah edan. Semuanya kebolak-balik. Berita miring dianggap benar, kebenaran hanya dianggap sampah.”

Arunika memancar di balik Gunung Lawu. Sahabatnya itu bergegas memanggul cangkulnya untuk menyawah. Dirinya lantas masuk ke dalam, mengambil kertas dan pena, kemudian menuliskan ketakutan terbesarnya.

Aku takut bangsaku ini tidak maju, kebodohan sudah jadi makanan yang lezat baginya.

Aku takut para pujangga tak lagi didengarkan, petuah-petuahnya seperti taring yang dipatahkan, tak mampu menggigit dan menghancurkan daging penghalang kemabukan.

Aku takut yang naik menjadi penguasa di negeri ini, ialah mereka yang tidak tahu menahu ajaran utama para leluhur.

Ah, jaman ini sudah benar-benar edan! Maka biarlah aku yang sudah tua ini, kembali menjadi muda dan membakar mulutku ini untuk kalian. Semoga mereka yang sadar akan bangkit dan melawan dengan berikhtiar.

Kemudian dia mulai menuliskan baris pertamanya dengan gaya tembang Sinom, berbunyi, “Mangkya darajating praja,…”.

Mungkin tak disadarinya, bahwa ketakutan yang selama ini menghantuinya selama itu, kelak menjadi sebuah bait-bait suci yang dikagumi orang-orang yang hidup ratusan tahun kemudian.

“Amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi.
Milu edan nora tahan, yen tan milu anglakoni, boya kaduman melik, kaliren wekasanipun.”

Hidup di zaman gila, serba sulit dalam bertindak.
Ikut gila tidak tahan, kalau tidak ikut melakukan, tidak kebagian pendapatan, pada akhirnya kelaparan jua.

“Ndilalah karsa Allah,
begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada.”

Namun sudah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lupa diri, lebih bahagia mereka yang senantiasa ingat dan waspada.

Dialah yang dikenal dengan nama Raden Ngabei Ronggawarsita, kelak dia dikenal sebagai pujangga besar yang terakhir dari Jawa. Karyanya tak lekang oleh masa. Tulisan-tulisannya menggugah hati masyarakat, hatiku, dan mungkin kamu yang membacanya juga.

--

--