Antara Sejarah dan Ziarah

Menguji Keaslian Naskah Wangsakerta

Pranacaraka
Deuteronomi
3 min readFeb 5, 2024

--

Saya sedang membaca antologi artikel Polemik Naskah Wangsakerta. Artikel-artikel yang terkandung di dalamnya menguraikan pendapat para filolog, epigraf, maupun ahli sastra ketika meragukan maupun mendukung keaslian naskah-naskah yang diterbitkan oleh Pangeran Wangsakerta dan timnya.

Catatan: keaslian yang dimaksud adalah dalam konteks kesesuaian isi dengan kenyataan pada zamannya, bukannya keaslian tulisan fisik dari naskah.

Ilustrasi naskah-naskah, bukan menunjukkan gambar yang sebenarnya

Siapakah Pangeran Wangsakerta

Pangeran Wangsakerta merupakan putra ketiga dari Panembahan Girilaya dari Kesultanan Cirebon. Kakak-kakaknya antara lain dari Pangeran Martawijaya (Sultan Sepuh I) dan Pangeran Kartawijaya (Sultan Anom I). Kedua kakaknya dinobatkan menjadi sultan pasca pemisahan kekuasaan Cirebon menjadi Kasepuhan dan Kanoman. Sedangkan Pangeran Wangsakerta dipercaya menjadi pemimpin Keprabon — yang bukan keraton atau pusat suatu wilayah, melainkan penjaga pustaka baik Kasepuhan dan Kanoman.

Karena putranya tidak memiliki keturunan, maka genealogi Pangeran Wangsakerta tidak dapat dengan mudah dilacak. Meskipun demikian, nama Wangsakerta sendiri pernah muncul dalam sebuah perjanjian antara VOC dengan Cirebon.

Panitia Tujuh

Dalam mukadimah kitab-kitab Wangsakerta — walaupun saya belum membacanya secara langsung, dituliskan bahwa antologi naskah tersebut diprakarsai oleh Wangsakerta bersama dengan tujuh orang panitia. Secara terorganisasi, mereka mengumpulkan sejarawan dan pujangga dari seluruh kerajaan-kerajaan di Nusantara. Mereka mendapat amanat untuk menuliskan riwayat, kitab suci pegangan masyarakat maupun tradisi dari masing-masing kerajaan.

Ringkasnya, seluruh panitia dan pujangga tersebut menghasilkan kitab-kitab Negarakretabhumi, Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara, Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa, Pustaka Dwipantaraparwa, Pustaka Carita Parahyangan I Bhumi Jawa Kulwan, dan Samastabhuana.

Polemik di Balik Naskah

Dalam buku Polemik Naskah Wangsakerta, saya terkesan dengan adu pendapat mengenai keotentikan naskah-naskah Wangsakerta yang dimaksud. Dari pendapat-pendapat tersebut, kurang lebih ditarik kesimpulan — sejauh belum ada bukti lain, sebagai berikut:

  1. Menggunakan aksara dan bahasa yang sepertinya tidak sezaman dengan klaimnya di abad ke-17. Jika mungkin ini merupakan salinan dari naskah sebelum-sebelumnya, maka hingga sekarang belum pernah ditemukan baik naskah asli maupun salinan lainnya.
  2. Pertemuan tim dengan sastrawan kerajaan di Nusantara dinilai terlalu ilmiah pada zamannya. Apalagi mengingat bahwa pada tahun tersebut, kondisi Cirebon dan Mataram sedang tidak akur. Meskipun demikian, kita juga tidak boleh menganggap remeh mengenai adanya seminar para sastrawan pada masa itu.
  3. Naskah ini belum melengkapi gelapnya sejarah Tarumanegara, justru hanya mengulang informasi prasasti Tarumanegara yang baru terungkap pada abad ke-19 oleh Casparis, termasuk dengan kesalahannya. Logikanya, jika ditulis dua abad sebelumnya, maka mustahil kebetulan pengulangan itu terjadi.
  4. Selain meninggalkan gelapnya sejarah Tarumanegara, malah muncul Salakanegara dengan silsilah rinci sampai hubungannya dengan Kalimantan (Mulawarman) dan Sumatera (Adityawarman).
  5. Seluruh naskah ini merupakan unicum, belum ditemukan salinannya di tempat lain walaupun cuma satu saja.
  6. Tidak dideskripsikan dengan jelas mengenai anggota tim panitia maupun penyalin naskah, termasuk asal-usulnya. Kalau pun seharusnya ada, mengapa peristiwa besar ini tidak terekam dalam Babad Cirebon?

Dan masih ada pendapat-pendapat lain yang akhirnya memvonis: naskah ini sebagai naskah yang tidak dapat dijadikan sumber sejarah primer maupun sekunder, bahkan mungkin pseudonim — mengatasnamakan Pangeran Wangsakerta. Hal ini berarti, mungkin, panitia Pangeran Wangsakerta ini tidak pernah ada.

Ataukah dengan kata lain, hanya ulah iseng dari satu atau sekelompok orang yang kebetulan bernama sama? Kalaupun iseng, agaknya para penulisnya sangat niat menulis naskah-naskah tersebut.

Boro-boro nulis naskah palsu, mendokumentasikan naskah asli di zaman ini saja sudah jarang (lah!)

Motivasi di baliknya patutlah kita puji, meskipun ternyata nantinya hanya seperti catatan kuliah sastra. Menurut pendapat saya, tidak bijak juga kalau naskah tersebut hanya dibiarkan begitu saja. Setidaknya, dapat dilakukan penelitian lanjutan untuk mengungkap bagaimana naskah tersebut disusun, bahkan terselamatkan hingga saat ini.

Pada akhirnya, catatan ini tidak menghakimi upaya penyelamatan naskah-naskah Wangsakerta yang konon dibeli dari toko preloved. Upaya ini justru menambah khazanah pengetahuan kita, bahwa setidaknya pernah ada upaya untuk mengisi kekosongan sejarah. Bila tak dapat dinikmati nilai sejarahnya, maka mungkin dapat diambil manfaat ziarahnya.

Rahayu.[]

--

--