Lagi, Varian Dewa Ruci dalam Kidung Jawa Baru
Serat Dewa Ruci, menurut Pujangga Surakarta tak Dikenal
Belum kuhitung lagi naskah-naskah Dewa Ruci yang ada di rumah. Memang karena begitu populer, Dewa Ruci ini dapat ditemukan dalam pelbagai varian: kakawin, kidung, prosa, hingga cergam.
Varian-varian yang berbeda ini menunjukkan bahwa kisah Dewa Ruci dapat diolah dengan penekanan yang berbeda di sana-sini.
- Bagi yang menggemari kisah pewayangan, maka penekannya lebih kepada alur cerita Dewa Ruci berduel dengan musuh-musuhnya.
- Bagi yang menggemari kebatinan, maka dialog Bima dengan Dewa Ruci akan lebih ditekankan. Dialog seseorang dengan batin adalah salah satu cara untuk memperkenalkan ajaran spiritual.
Sebagai medium penyampaiannya, para kreator dapat menggunakan variasi seperti wayang, lagu-lagu kidung atau kakawin, maupun komik atau ilustrasi.
Plot cerita Dewa Ruci bisa dibilang cenderung seragam, meski telah ditambahkan pemanis. Ceritanya kurang lebih sebagai berikut:
- Bima atau Werkudara, putra Pandu yang ke-2 mendapatkan kegelisahan dalam dirinya. Dia bermaksud untuk menemukan pencerahan agar hatinya menjadi teguh. Dalam kegelisahannya itu, dia meminta petunjuk dari gurunya, Resi Drona.
- Resi Drona memanfaatkan kegalauan Bima untuk mencelakainya. Hal ini dilakukannya untuk mengamankan posisinya di Astinapura, karena dengan mencelakai anggota Pandawa maka akan memperbesar kemenangan Kurawa pada saat perang Bharata terjadi.
- Atas petunjuk gurunya, Bima mencari keberadaan Tirta Amarta, yaitu air suci yang mampu memberikan pencerahan. Di dalam perjalanannya, Bima bertemu dengan cobaan-cobaan yang selalu dapat dilaluinya.
- Alih-alih mendapatkan Tirta Amarta, Bima justru tidak menemukan apa-apa selain daripada bayangan dirinya dalam wujud anak kecil. Bayangan dirinya inilah yang dikenal sebagai Dewa Ruci. Bima “masuk” ke dalam tubuh Dewa Ruci, dia melihat alam seluas jagat raya, serta mendapatkan pelajaran-pelajaran mistik dari Sang Dewa.
- Usai mendapatkan pencerahan, keluarlah Bima dari tubuh Dewa Ruci (karena telah bersatu dengannya). Kemudian, Bima kembali kepada Pandawa dengan penuh suka cita dan kemantapan hati.
Pesan-pesan yang disampaikan oleh Dewa Ruci kepada Bima ini cukup bervariasi. Dalam Serat Dewaruci yang digubah oleh seorang pujangga Surakarta tanpa nama, pesan-pesan ini menyerupai hal-ikhwal yang terdapat dalam Kakawin Dharmasunya.
“Miwah ireng, abang, kuning, putih, iya panguripe kang buwana,
jagad cilik jagad gedhe, pan padha isinipun,
tinimbangken ing sira iki, yen ilang warna ingkang jagad kabeh suwung, saliring reka tan ana,
kinumpulaken aneng rupa kang sawiji, tan kakung tan wanodya.”
Dan hitam, merah, kuning, putih, ialah kehidupan di dunia,
alam kecil (mikrokosmos) dan alam besar (makrokosmos), memang sama isinya,
pertimbangkan olehmu, jika warna hilang maka seluruh alam akan sepi, tak akan ada usaha,
segalanya terkumpul menjadi satu rupa saja, tiada lelaki tiada perempuan.
Iya sinandhangken ing sireki, nanging kadya simbar ing kakaywan, aneng ing reraga nggone, uriping Pramaneku, inguripun ing Suksma nenggih, misesa ing sabarang, Pramana puniku, yen mati melu kaleswan, lamun ilang Suksmane sarira nuli, uriping Suksma ana. Sirna iku iya kang pinanggih, uriping Suksma ingkang sanyata, kaliwatan upamane lir rasane kamumu, kang Pramana anresandani, tuhu tunggal pinangka, jinaten puniku.
Juga dikenakan kepadamu, tetapi bagaikan bulu pada hewan, berada di raga, kehidupan Pramana dihidupi oleh Suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang kemudian, kehidupan Suksma tetaplah ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan Suksma yang sesungguhnya bagaikan rasa kemumu, sebenarnya satu asal, buktikanlah itu.
Kutipan Serat Dewaruci di atas menyinggung hakikat Suksma yang berada di inti kehidupan manusia. Ketika seseorang mati, maka Suksma itu akan senantiasa ada dan bersatu dengan Sirna atau Sunya.
Bimbangnya seorang Bima adalah ketika berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan dari dalam dirinya, “Mengapa harus ada peperangan di antara keluarganya dengan Kurawa?” Dan mungkin lebih luas lagi: tentang tujuan hidupnya, tentang takdir, tentang kelepasan jiwa, dan tentang makna keberadaannya di semesta ini. Itu semua terjawab dalam pertemuannya dengan Dewa Ruci.
Berbeda dengan Bima, kebimbangan Arjuna justru terjadi di tengah-tengah peperangan dengan Kurawa. Dalam kebimbangannya itu, Arjuna mendapatkan pencerahan dari Sri Kresna secara langsung. Pencerahannya ini diabadikan dalam Bhagavad Gita.
Dengan demikian, baik Bima dan Arjuna, keduanya adalah sosok yang unggul yang menjadi dua sosok kunci dalam Bharatayuddha. Arjuna berhasil mengalahkan Bhisma (patih terkuat dari pihak Kurawa), sedangkan Bima berhasil mengalahkan Duryodana (pemimpin para Kurawa). Keduanya adalah tokoh yang diceritakan mendapatkan pencerahan dengan cara masing-masing.
Tak berhenti sampai di sini, Dewa Ruci itu ada di dalam kita semua, tentu dengan wujud dan rupa yang berbeda. Sudahkah pembaca bertemu dengannya?