Sang Hyang Tunggal dalam Mitologi Jawa

Pandangan mengenai Dewa-Dewi Hindu dalam Jagad Pakeliran Jawa di Era Islam

Pranacaraka
Deuteronomi
5 min readApr 15, 2022

--

Menelusuri tradisi Kejawen — buat saya, merupakan pengalaman yang unik. Mendengar “Kejawen” sendiri, saya harus berjumpa dan bersahabat dengan nuansa mistik, spiritual bahkan tak sedikit tuduhan kesesatan jika dipandang dari sudut pandang religiositas.

Lantas mengapa Kejawen tetap menarik untuk ditelusuri dan diuji?

Seperti air yang mengisi wadahnya, Kejawen mengalir dan menjadi jati diri masyarakat Jawa di masa silam. Ada yang wadahnya besar dan menampung banyak air, ada pula yang wadahnya berukuran kecil dan bermotif-motif. Semuanya bisa diisi olehnya.

Pada saat akhir pengaruh Majapahit, transisi kekuasaan politik yang beralih dari Hindu-Buddha ke Islam membuahkan karya-karya yang luar biasa. Sinkretisme mitologi yang dibawa dari Hindu pun bertransformasi menjadi bernuansa Islam untuk menarik hati masyarakat. Oleh karenanya pujangga-pujangga di masa silam menuangkan kreativitas mereka dengan membalut cerita-cerita Hindu dan Islam menjadi suatu kesatuan yang integral.

Di antara karya-karya serat dan suluk Jawa yang berkembang pada masanya, Serat Paramayoga karya Ki Ronggowarsito menyajikan cerita wayang yang menjadi tali penghubung Hindu-Islam dalam tradisi Jawa. Sang Pujangga berupaya agar persaudaraan masyarakat tetap terjalin, sebagaimana Mpu Tantular menghubungkan Hindu dan Buddha dalam mahakaryanya Sutasoma.

Sang Hyang Tunggal sebagai Irisan Ajaran Hindu-Islam dalam Kejawen

Dalam ajaran Hindu, dikenal Dewa-Dewi yang menciptakan dan mengendalikan semesta. Di antara para Dewa tersebut, dikenal Dewa Siwa yang dipuja sebagai Dewa tertinggi dalam ajaran Siwaistis. Tradisi Hindu ini masih dianut oleh masyarakat Bali dan beberapa daerah lainnya secara turun-temurun.

Dalam tradisi Islam yang tidak mengenal mitologi tersebut, masyarakat Jawa — yang kala itu beralih ke Islam, menempatkan posisi Dewa-Dewi Hindu dalam ajaran Kejawen. Hal inilah yang membedakan Islam Jawa dengan Islam dari tanah asalnya.

Penempatan Dewa-Dewi ini dalam tubuh Islam menjadi menimbulkan dua opini yang berlawanan:

  1. Di satu sisi, hal ini memperkaya khazanah spiritual Jawa dan masih dapat diterima oleh simpatisan Kejawen sebagai kekayaan batin tersendiri;
  2. Di sisi lain, hal ini tidak sesuai dengan syariat dan fundamental Islam yang dibawa dari tanah asalnya.

Meskipun keduanya memiliki jalan sendiri-sendiri, bukan berarti kita tidak bisa bersatu dalam kemanusiaan, bukan?

Sang Hyang Tunggal (Sang Hyang Widi) yang dipuja sebagai Sang Pencipta dalam agama Hindu. Dari hakikat-Nya, terwujudlah Dewa-Dewi lain yang mengatur roda kehidupan semesta.

Saya akan membandingkan hakikat Sang Hyang Tunggal ini dari buku Lahirnya Sang Hyang Tunggal (LSHT) karya Soetadji Padma — yang menyadur sebagian kisah dari Serat Paramayoga (Paramayoga akan dibahas dalam artikel lain).

Keturunan Adam dari Sis / Set

Dalam LSHT, diceritakan bahwa Sang Hyang Tunggal merupakan keturunan Sang Hyang Sis. Sang Hyang Sis atau dikenal sebagai Nabi Sis (Islam) atau Set (Kristen) merupakan anak dari Adam.

Berikut ini adalah rangkuman silsilah Sang Hyang Sis yang diceritakan dalam LSHT:

  1. Dikisahkan terdapat dua entitas dewata Sang Hyang Sis dan Jin Jadjal. Jin Jadjal memiliki seorang puteri bernama Dewi Malatsih.
  2. Dalam pengembaraannya di jagad raya, Sang Hyang Sis menciptakan Sang Hyang Kaneka dari kain.
  3. Sang Hyang Sis kawin dengan Dewi Malatsih dan berputerakan Sang Hyang Anwar.
  4. Sang Hyang Anwar berputerakan Sang Hyang Nurasa dan Sang Hyang Nurcahya secara gaib. Sang Hyang Nurasa ini cenderung memiliki daya rasa dan akrab dengan dunia kebatinan, sedangkan Sang Hyang Nurcahya ini cenderung taat terhadap ajaran. Dikisahkan, oleh karena suatu perdebatan, keduanya dihukum untuk bertapa di Kawah Candradimuka. Dari tapa itu, muncul dua bidadari Dewi Kanistren dan Dewi Kaniswara.
  5. Dari Sang Hyang Nurasa dan Sang Hyang Nurcahya, terwujudlah entitas dewata lain bernama Sang Hyang Wenang.
  6. Sekali peristiwa, bertemulah Sang Hyang Wenang dengan Sang Hyang Kaneka. Pertemuan keduanya menciptakan Dewi Wening.
  7. Sang Hyang Wenang kawin dengan Dewi Wening dan berputerakan Sang Hyang Tunggal. Ari-arinya kemudian berubah wujud menjadi Kala Bendu.
  8. Sang Hyang Tunggal menemukan telur yang kemudian dipecah dan disebarkan ke beberapa tempat.
    - Cangkang telur berubah menjadi Sang Hyang Tejamaya (Togog).
    - Kulit ari telur berubah menjadi Sang Hyang Ismaya (Semar).
    - Putih telur berubah menjadi Sang Hyang Kaneka Putra (Narada).
    - Kuning telur berubah menjadi Sang Hyang Manikmaya (Siwa).
  9. Sang Hyang Ismaya kemudian beristrikan Dewi Kanistren, sedangkan Sang Hyang Kaneka Putra beristrikan Dewi Kaniswara.
  10. Dikisahkan, karena suatu pertempuran, Kala Bendu dikalahkan dan sifat kasarnya perlahan-lahan hilang dan berubah menjadi Batara Umar. Ketika terjadi pertempuran lain, sifat Bhatara Umar semakin halus dan oleh Sang Hyang Wenang diubah menjadi perempuan menjadi Bathari Uma. Bathari Uma inilah yang menjadi istri Sang Hyang Manikmaya.
  11. Selama mengejar Bathari Uma, terciptalah Dewa Indra, Dewa Brama, Dewa Bayu, Dewa Baruna, dan Dewa Penyarikan.
Wayang Antaga, Ismaya dan Manikmaya (Sumber: https://youtube.com)

Variasi Silsilah karena Kreativitas Dalang

Silsilah di atas memiliki perbedaan dengan karya lain seperti cerita bergambar Wayang Purwa dan Raja Purwa Carita; dan tentunya dengan Serat Paramayoga sendiri.

Menurut penulisnya, LHST ini dituliskan berdasarkan ingatannya ketika menikmati sajian cerita wayang yang disaksikan sejak muda. Pementasan wayang ini juga tentu merupakan sebuah pesan tak tertulis (melalui komunikasi verbal dan visual) yang diwariskan secara turun temurun.

Dalam jagad pakeliran (semesta pewayangan), para dalang cerita mengambil kisah dari Serat Ringgit Purwa sebagai pakem utama. Selain pakem tersebut, para dalang juga memiliki kebebasan untuk menambahkan atau mengurangi cerita sesuai dengan kreativitasnya masing-masing. Tidak mengherankan bahwa pakem cerita wayang bisa berubah sesuai dengan penyajinya.

Penutup: Sebuah Pandangan Subyektif

Penggalan kisah Dewa-Dewi ini tentunya berbeda dari Kitab Purana Hindu. Kesamaan nama mungkin dimaksudkan agar masyarakat Jawa Kuno di masa silam mampu mengadaptasi riwayat Nabi yang mendahului Sang Hyang Tunggal.

Selain itu, Sang Hyang Nurasa dianggap sebagai Dewa yang menginspirasi kaum-kaum kebatinan. Pencapaian pencerahan diperoleh melalui usaha tapa brata dan olah batin.

Sedangkan Sang Hyang Nurcahya dianggap sebagai Dewa yang menginspirasi kaum-kaum religius. Pencapaian pencerahan diperoleh dengan memahami ajaran dan syariat.

Dalam suatu artikel lain, dianggap bahwa Nurasa dan Nurcahya ini saling bertolak belakang. Bahkan keberadaan pengikut Nurasa dianggap yang akan menghancurkan agama yang dibawa Nurcahya. Ada pula yang menyebutkan bahwa golongan penganut agama ini “tersesat” oleh golongan kebatinan.

Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa kebatinan dan syariat ini bisa berjalan berdampingan; karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang berpikir. Melalui LSHT, dapat dipahami bahwa Dewa-Dewi tersebut adalah analogi kehidupan manusia dan seluruh anatominya, yang membentuk cipta, rasa dan karsa. Oleh karenanya, keberadaan Nurasa dan Nurcahya ini telah ada dalam jiwa manusia serta mengambil peran masing-masing dalam menjaga pikiran.

Demikianlah sedikit ulasan mengenai Sang Hyang Tunggal dalam Mitologi Jawa, sebagaimana diambil dari buku Lahirnya Sang Hyang Tunggal karya Soetadji Padma.

Sebagaimana air, dia akan menyesuaikan dengan bejana pembaca. Semoga bermanfaat.[]

Daftar Pustaka

  • Padma, Soetadji. Lahirnya Sang Hyang Tunggal. Jakarta: Indira. 1986.

--

--