Jejak islamofobia di Indonesia
Menurut John L. Esposito, Islamofobia tidaklah muncul tiba-tiba paska terjadinya peristiwa 11 September 2001. Islamofobia telah memiliki sejarah yang panjang (Esposito, 2017). Lebih jauh lagi menurut Esposito (2017), fobia ini semakin menjadi-jadi setelah semakin banyaknya Muslim yang masuk ke negara-negara Barat di akhir abad ke-20. Peristiwa lainnya seperti Revolusi Iran, pembajakan, penyanderaan, dan aksi terorisme lainnya pada 1980-an dan 1990-an, serangan terhadap World Trade Center dan Pentagon pada tanggal 11 September 2001, dan serangan-serangan “teroris” berikutnya di Eropa semakin menambah jenis fobia ini.
Islamofobia tidaklah muncul tiba-tiba paska terjadinya peristiwa 11 September 2001. Islamofobia telah memiliki sejarah yang panjang dan dalam (Esposito, 2017).
Hal-hal negatif tentang Islam dan Timur Tengah sering menjadi berita utama. Islamofobia telah menjadi epidemi dan telah meningkat secara eksponensial walaupun Islam telah menjadi agama terbesar kedua di dunia (Esposito, 2017). Muslim dipaksa menjadi merasa bersalah dan dipersalahkan dalam hal radikalisme, ekstrimisme dan terorisme. Islam digambarkan sebagai ancaman politik, peradaban, dan demografis dan dibesar-besarkan oleh sejumlah jurnalis dan para cendikiawan dengan mengesampingkan realitas kompleksitas politik, sosial, dan dinamika agama di dunia Muslim.
Retorika anti-Muslim dan kejahatan rasial telah berkembang biak (Mbembe, 2014). Rasisme telah bergeser dari yang bersifat “biologi” menjadi rasisme “budaya” dan “agama” atau lebih jauh telah menjadi rasisme “pemikiran” (Grosfoguel, 2010). Grosfoguel (2012) mengemukakan bahwa islamofobia sebagai salah satu bentuk rasisme terhadap umat Islam tidak hanya diwujudkan dalam pasar tenaga kerja, pendidikan, ruang publik, perang global melawan terorisme atau ekonomi global, tetapi juga dalam medan pertempuran epistemologis tentang definisi prioritas dunia saat ini. Islamofobia adalah salah satu bentuk rasisme terhadap umat Islam yang bukan hanya sebagai fenomena di permukaan saja tapi merupakan bagian dari pembagian kerja internasional (Grosfoguel, 2012). Dengan demikian, dapat diduga Islamofobia adalah fenomena yang tersistematis dan bersifat rahasia.
Islamofobia adalah salah satu bentuk rasisme terhadap umat Islam yang bukan hanya sebagai fenomena di permukaan saja tapi merupakan bagian dari pembagian kerja internasional (Grosfoguel, 2012).
Islamofobia mengakibatkan potensi penyalahgunaan UU Anti Terorisme, penangkapan sembarangan, dan penjara yang membahayakan kebebasan bagi Muslim telah terjadi (Esposito, 2017). Lebih jauh lagi Esposito (2017) menjelaskan penguasa telah menuduh kelompok hak-hak sipil, komite aksi politik, badan amal telah mengumpulkan dana untuk mendukung gerakan terorisme dan ekstremisme.
Jika Islamofobia merupakan bagian dari pembagian kerja internasional dan telah memiliki sejarah yang panjang dan dalam, maka gejala dan akibat Islamofobia dapat dibuktikan di Indonesia.
Keberadaan Islamofobia di Indonesia diyakini tidak lepas dari kondisi global dalam konteks ruang dan waktu. Posisi Indonesia yang strategis secara geografis, demografis dan ekonomis sangat memungkinkan adanya pengaruh kondisi global tersebut. Untuk mempermudah pembahasan, maka saya merujuk pada Beydoun (2018) yang telah mendefinisikan jenis-jenis Islamofobia, salah satunya adalah Islamofobia terstruktur.
Saya melihat Islamofobia terstruktur ini dimulai dari perjanjian Tordesilas Spanyol, 7 Juni 1494. Isi perjanjian tersebut berisi pemberian kewenangan oleh Paus Alexander VI kepada kerajaan Portugis dan Spanyol yang masing-masing berhak menguasai belahan timur dan barat (Weigert, 1957). Selain itu menurut Smith (1999), sejak runtuhnya Granada pada tahun 1494 di semenanjung Iberia telah terjadi pemaksaan terhadap umat Islam dan Yahudi untuk konversi agama ke Kristen. Bersamaan itu pula dan di tempat yang sama, sentimen anti-Semit atau anti Islam dan Yahudi digalakkan.
Implikasi dari perjanjian Tordesilas adalah ekspansi bangsa-bangsa Eropa demi Gold, Gospel dan Glory yang tiada lain sebagai aktualisasi imperialisme (lihat dalam Suryanegara, 2009). Saat itu ada pemahaman di kalangan bangsa Eropa yaitu bangsa-bangsa di luar Gereja Vatikan, yang tidak bergama Katolik dinilai sebagai bangsa biadab. Negara atau wilayahnya dinilai sebagai terra nullis (wilayah kosong tanpa pemilik) oleh karenanya layak untuk dikuasai dengan cara apapun. Dari sinilah awal imperialisme yang dapat diduga dipicu oleh islamofobia.
Namun demikian, imperialisme bangsa-bangsa Eropa mendapat perlawanan yang sengit di negeri yang hendak mereka kuasai. Sejumlah peperangan di Nusantara tiada berkesudahan, jika tipu muslihat tidak dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Semangat jihad kaum Muslim di Nusantara yang dipimpin oleh para alim ulama telah menjadi bahan bakar untuk mengusir penjajah Belanda dari Nusantara (lihat Suryanegara, 2009). Perang-perang: Aceh, Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, Sultan Agung adalah sedikit contoh.
Para imperialis berusaha untuk memecah belah umat Islam di nusantara. Jangan sampai ada persatuan umat Islam. Karena ini begitu berbahaya. Bahkan Snouck Horgronje dalam tulisannya menegaskan bahwa (Natsir, 2015) :
- Umat Islam baru berbahaya jika kemerdekaan mereka terganggu. Semakin dilarang mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan ubudiyah, semakin “fanatik” lah mereka mengerjakannya. Hal ini berpotensi menimbulkan kelompok yang lebih berbahaya yang mungkin memicu “perang sabil”. Dengan demikian mengapa pemerintah Hindia Belanda tetap membiarkan kepada umat Islam untuk beribadah dengan seluas-luasnya. Lantaran merdeka inilah, mereka akan lalai bahwa mereka sedang diperintah oleh bangsa yang beragama yang berbeda. Berhubung dengan ini Snouck Horgronje sering kali bersemboyan yang katanya umum dalam dunia Islam (entah bisa dijamin atau tidak!) yaitu: “satu kerajaan mungkin tetap berdiri dalam kekufuran akan tetapi tidak mungkin dalam kezaliman.”
- Ruh keislaman itu mungkin akan bangkit jika mendapat gangguan dalam urusan mu’amalah seperti urusan perkawinan warisan dan yang terkait dengannya. Oleh karenanya perlu menghormatinya dengan menunjuk orang-orang pribumi untuk memimpin. Dengan demikian umat Islam akan merasa diperintah oleh orang-orang mereka sendiri dan tidak lagi timbul cita-cita kenegaraan dengan pemerintahan Islam.
Terkait dengan poin 2 ini jabatan Lurah hingga Bupati dipangku oleh pribumi sementara jabatan Residen, Controleur dan Goebernoer Jenderal dipegang oleh orang-orang Belanda. - Apabila urusan dalam sudah diatur seperti itu, maka yang harus dijaga adalah hubungan umat Islam dengan luar negeri yang akan menimbulkan semangat Pan Islamisme yang berbahaya. Oleh karenanya nasehat Snouck Horgronje adalah “pastikan umat Islam tidak mendapat pengaruh dari luar!”
Dari ketiga poin yang dikemukakan oleh Snouck Horgronje tersebut, maka aura Islamofobia telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Upaya penghancuran kekuatan Ulama dan Santri serta massa pendukungnya dilakukan secara halus dan tidak disadari melalui politik Tanam Paksa (lihat dalam Clausewitz, 1976). Politik tanam paksa tidak akan berhasil jika tanpa dukungan dari Lurah dan Bupati yang implementasi di lapangan dijalankan oleh para Pangreh Praja (lihat Suryanegara, 2009).
Referensi
Beydoun, K.A., 2018. American Islamophobia. University of California Press, Oakland.
Clausewitz, C.V., 1976. On War. Princeton University Press, New Jersey.
Esposito, J.L (foreword) dalam Lean, N., 2017. The Islamophobia Industry. Pluto Press.
Grosfoguel, R., 2010. ‘Epistemic Islamophobia and Colonial Social Sciences’, Human Architecture: Journal of Sociology of Self-Knowledge, Vol. 13, №2, Fall.
Grosfoguel, R., 2012. ‘The Multiple Faces of Islamophobia’, Islamophobia Studies Journal, Vol. 1, №1, Spring 2012, https://irdproject.com/the-multiple-faces-ofislamophobia/
Mbembe, A., 2017. Critique of Black Reason, Duke University Press, Durham/London.
Natsir, M., 2015. Islam dan akal merdeka, Sega Arsy, Bandung.
Smith, J.I., 1999. Islam and Christendom. Historical, Cultural and Religious Interaction from The Seventh to the Fifteenth Centuries dalam Esposito, J.L (ed). The Oxford History of Islam. Oxford University Press. New York.
Suryanegara, A.M., 2009. Api Sejarah. Salamadani, Bandung.
Wigert, H.W., 1957. Principles of Political Geography. Appleton Century-Crofts. Inc. New York.