Korupsi adalah sistem?

Ery Arifullah
Deviasi
Published in
3 min readSep 8, 2021

Korupsi selalu menyertai kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan dan kontrol serta mengalihkan perhatian dari sumber kekuasaan yang sebenarnya (Hiatt, 2007). Demikian juga di Indonesia dan Nusantara di masa lalu. Korupsi telah terjadi di Nusantara dan mengakar kuat sejak sebelum Indonesia lahir (lihat dalam Ong, 2002). Menurut Peter Carey dalam Tempo. Co, (2015) korupsi di Nusantara khususnya di pulau Jawa sudah terjadi. Misalnya laporan korupsi pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV yang dilakukan oleh Patih Danureja IV, patih tertinggi di Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Korupsi itu terjadi akibat posisi HB IV lemah karena usianya yang masih muda (10 tahun). Akibat tidak adanya pengawasan terhadap- dan pemberian wewenang yang begitu besar kepada Patih Danureja IV. Sang patih begitu dekat dengan pengusaha asing dengan cara memberikan izin penggunaan tanah kepada mereka.

Korupsi selalu menyertai kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan dan kontrol serta mengalihkan perhatian dari sumber kekuasaan yang sebenarnya (Hiatt, 2007)

Lebih jauh Peter Carey dalam Tempo. Co, (2015) memastikan bahwa sang patih mengambil keuntungan pribadi dari izin-izin yang diberikan. Korupsi di Nusantara menjadi-jadi ketika sistem tanam paksa diberlakukan. Pada masa itu komisi untuk penguasa di luar upeti disahkan. Kuat dugaan perang Jawa terjadi salah satunya akibat dari korupsi yang merajalela ini (Carey dalam Tempo, 2015).

Korupsi adalah bagian dari tindakan yang telah ada sejak adanya peradaban ini. Pungli misalnya, telah tercatat sejak abad ke-13. Asal mulanya berasal dari sistem pembiayaan tradisional Kerajaan Majapahit, Mataram hingga kerajaan lainnya di Nusantara (VOI, 2020). Pungli itu muncul akibat pejabat dalam kerajaan ini tidak digaji oleh raja (Ong, 2002). Mereka harus mandiri dalam masalah keuangan. Raja hanya memberi hak (wewenang) kepada pejabat untuk memungut bea cukai. Sesudahnya, pejabat itu meminta denda dan upeti ke rakyat. Dengan cara inilah inilah urusan jabatan dibiayai. Ong (2002) juga mencatat bahwa tidak hanya jabatan itu saja yang mencari gajinya tetapi mulai dari jabatan menteri di keraton, bupati, pengawas pengairan, jagal, pencatat penduduk, penarik pajak, kepala desa dan lain sebagainya telah berdikari dalam keuangan.

Posisi jabatan bumiputera seperti bupati, demang dan bekel (pengumpul pajak) menjadi rebutan. Delam perkembangannya jabatan tersebut kemudian diperjualbelikan. Misalnya saja, jabatan bupati di daerah penting menjadi mahal dan harus dibayarkan sebelum jabatan diduduki (VOI, 2020).

Korupsi, kolusi dan nepotisme menghebat setelah diberlakukan tanam paksa (cultuur stelsel). Kerja paksa ini mewajibkan setiap warga desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, seperti kopi, tebu dan teh. Kondisi ini menjadi ladang subur berlangsungnya aksi pungli yang dilakukan oleh bupati. Mereka tidak saja mendapatkan gaji tapi juga komisi dari tanam paksa, hak atas tenaga bakti, upeti serta hak-hak adat lainnya (Ong, 2002).

Masa cultuur stelsel adalah masa terburuk bangsa ini. Satu sisi mengalirkan berjuta-juta gulden ke Negara Belanda dan satu sisi lainnya telah menggemukkan segelintir pejabat bumiputera seperti bupati. Rakyat jelata menjadi semakin miskin, melarat dan menderita (Multatuli, 1868).

Bagaimana dengan masa kini? Tanpa segan-segan para petinggi negara yang korup mengambil hutang tambahan untuk proyek-proyek yang tidak perlu, tidak direncanakan dengan baik. Hutang membengkak yang harus dilunasi oleh warga negaranya. Program privatisasi yang didorong oleh IMF menawarkan peluang yang begitu besar bagi para petinggi negara untuk korupsi. Bentuk korupsinya adalah penyuapan atau komisi dari penjualan BUMN (Halifax Initiative Coalition, 2004).

Walaupun IMF dan Bank Dunia menyadari motif ini, namun tampaknya mereka dengan senang hati melanjutkan pemberian pinjaman ini (Hiatt, 2007). IMF dan Bank Dunia hanya memastikan para debitor dapat membayar pinjamannya. Setidaknya setengah dari dana yang dipinjam oleh debitur terbesar mengalir keluar dari pintu belakang, biasanya pada tahun yang sama atau bahkan bulan yang sama ketika pinjaman tiba (Henry, 2004).

Dapat disimpulkan bahwa pertama, motif korupsi baik dimasa kerajaan-kerajaan Nusantara dan masa Indonesia modern tidaklah berbeda. Kedua, korban korupsi adalah rakyat bukan pejabat pemerintah. Ketiga, diduga korupsi tidak selalu merugikan rakyat tapi juga memberikan kontribusi kepada negara. Keempat, terjadinya korupsi adalah karena sistem itu sendiri dirancang untuk membuka peluang korupsi.

Referensi

Halifax Initiative Coalitio., (2016). Water, land and labour: The impact of forced privatization in vulnerable communities. Halifax Initiative Coalition.

Henry, J.S., (2004). “Where the Money Went”. Fortune.

Hiatt, S., (2007). Global empire: the web of control dalam A game as old as empire (Hiatt, S., ed), Berret-Koehler Publishers, Inc., hal 13–29.

Multatuli., (1868). Max Havelaar. Edinburg Edmonton & Douglas.

Ong, H. H., (2002). Dari soal priyayi sampai Nyi Blorong, refleksi historis Nusantara. Penerbit Buku Kompas.

Suryanegara, A.M., (2009). Api Sejarah. Salamadani, Bandung.

Tempo. Co., (2015). Perang Jawa, Diponegoro, dan Sejarah Korupsi Indonesia — Nasional Tempo.Co. https://nasional.tempo.co/read/708144/perang-jawa-diponegoro-dan-sejarah-korupsi-indonesia

VOI., (2020). Akar Sejarah Korupsi di Indonesia dan Betapa Kunonya Mereka yang Hari Ini Masih Korup. VOI — Waktunya Merevolusi Pemberitaan. https://voi.id/memori/22255/akar-sejarah-korupsi-di-indonesia-dan-betapa-kunonya-mereka-yang-hari-ini-masih-korup

--

--

Ery Arifullah
Deviasi
Editor for

I am a geology specialist in the fields of ichnology, sedimentology and paleoecology, I also enjoy history, politics and life sciences.