Status oposisi: retrospeksi sejarah Indonesia

Ery Arifullah
Deviasi
Published in
5 min readOct 23, 2020

Essay ini terinspirasi dari webinar tanggal 15 Oktober 2020 dengan narasumber Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Provinsi Kalimantan Timur menginisiasi . Webinar tersebut mengangkat tema “perlu tidaknya oposisi di negara kita”. Narasumber tidak hanya bicara masalah oposisi tapi juga tema lain yang tidak kalah penting. Berikut essay yang dapat saya jabarkan menjadi sejumlah sub-bab antara lain:

Status oposisi

Dapat diduga semangat oposisi di parlemen sudah tidak efektif lagi. Hipotesis tersebut diperkuat dengan gejala lebih banyaknya partai politik yang merapat kepada penguasa (pemerintah) dibandingkan dengan yang memposisikan diri sebagai oposisi. Dapat diduga pula telah terjadi pengebiran semangat oposisi di dalam komunitas masyarakat di luar parlemen.

Oposisi adalah bentuk koreksi pada kebijakan penguasa atau penguasa jika melenceng dari rel tujuan berbangsa dan bernegara. Jika kebenaran bukanlah monopoli pemerintah maka dialog dan debat terbuka dengan warga negara sangat diperlukan di dalam negara demokrasi. Ironinya, stigmatisasi kepada mereka yang kritis justru semakin memperlihatkan pemerintah alergi atau mungkin paranoid dengan semangat oposisi. Kemungkinan masyarakat semakin curiga bahkan kepercayaan kepada pemerintah semakin menurun. Sungguh tidak kondusif jika dalam bernegara dibangun atas dasar penuh kecurigaan!

Oposisi muncul karena: Pertama, perbedaan sudut pandang (perspektif). Jika sudut pandang berbeda, maka kesimpulan juga akan berbeda. Perbedaan sudut pandang wajar adanya karena dinamika dan kompleksitas pikiran dalam masyarakat. Kedua, perbedaan data yang digunakan. Jika data yang digunakan dalam proses pengambilan kesimpulan, maka wajar jika berpeluang menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Ketiga, perbedaan kepentingan. Dapat dikatakan karena perbedaan tujuan. Jika kepentingan seseorang atau sekelompok orang atau organisasi berbeda atau berlawanan penguasa, maka wajar memunculkan oposisi. Keempat, motivasi kebencian. Jika dasarnya adalah kebencian, maka apapun kebijakan pemerintah akan dianggap salah. Demikian juga sebaliknya, jika pemerintah sudah benci kepada oposisi atau bahkan kepada rakyatnya sendiri yang beroposisi maka para oposan akan dianggap lawan yang perlu dibungkam. Oposisi jenis keempat inilah yang mengakibatkan situasi negara menjadi tidak kondusif, karena negara dikelola atas dasar kecurigaan.

Konon tradisi oposisi tidak cocok dengan negara kita. Entahlah, apakah dugaan itu muncul karena alasan kultur yang memang tidak cocok atau hanya karena ingin membungkam oposisi. Usaha memperhalus terminologi “oposisi” menjadi terminologi “penyeimbang” telah dilakukan bahkan diperhalus lagi menjadi terminologi “kolaborasi.” Dikhawatirkan makna “oposisi” bergeser, sehingga check & balance sebagaimana yang umum di alam demokrasi tidak bekerja.

Jika DPR gagal menjadi penyambung lidah masyarakat dan kepercayaan masyarakat kepada institusi negara begitu rendahnya, maka masyarakat akan mencari jalannya sendiri dalam ber-oposisi terkait proses mencari keadilan. Caranya adalah dengan bersuara di media sosial atau dengan demonstrasi turun ke jalan, terlepas mempertimbangkan dampak yang ditimbulkannya. Yang terpenting suara para oposan didengar.

Pengaruh sejarah

Oposisi yang sedang terjadi di negara kita sebagaimana yang dikatakan oleh pak Jimly adalah karena faktor sejarah. Dalam hal ini adalah hubungan umat Islam dan golongan nasionalis di satu sisi dan hubungan Islam dan pemerintah kolonial Belanda sisi lainnya. Saya mencoba meluaskan pembahasan ini dengan merujuk pada sejumlah referensi.

Di zaman kolonial Belanda, oposisi yang terjadi adalah antara pemerintah kolonial Belanda dan masyarakat pribumi yang direpresentasikan oleh umat Islam sebagai mayoritas [1]. Pemerintah kolonial Belanda tidak menyukai orang-orang Islam yang fanatik terhadap ajaran agamanya [2] apalagi terhadap mereka yang memiliki hubungan yang kuat dengan orang-orang Islam di luar negeri. Pada periode tersebut semangat perlawanan bangsa terjajah begitu berkobar terhadap bangsa penjajah seperti Inggris, Perancis dan Belanda. Itulah mengapa para jamaah haji yang baru pulang dari Makkah akan benar-benar diawasi oleh pemerintah kolonial Belanda saat itu [3].

Sejarah telah mencatat orang-orang yang fanatik terhadap Islam (seperti Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak Dien) itulah yang mempelopori perlawanan atau jihad melawan kolonial Belanda. Saya meyakini, mereka berjihad bukan dalam kerangka Indonesia saja tetapi dalam cakupan yang lebih luas lagi yaitu menegakkan nilai-nilai Islam di bumi Allah.

FB_IMG_1484187780721.jpg

Sikap penguasa kepada Islam tidak berubah walaupun Indonesia telah merdeka [2]. Oposisi berlanjut setelah 7 kata dalam Piagam Jakarta, “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya…” dihapuskan dari dasar negara Pancasila dan pembukaan UUD’45. Saat itu umat Islam melalui perwakilannya di PPKI “merelakan” penghapusan 7 kata tersebut, dengan alasan dasar negara yang disahkan masih bersifat sementara [4]. Namun karena Indonesia fokus dalam menghadapi agresi Belanda, maka janji itu tidak kunjung terealisasi.

Merujuk pada [4], Piagam Jakarta adalah tonggak sejarah bagi tercapainya cita-cita Islam di bumi Indonesia. Namun demikian, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan yakni pada tanggal 18 Agustus 1945, ikhtiar umat Islam Indonesia untuk menegakkan syariat Islam lewat Piagam Jakarta yang sebelumnya disepakati oleh tokoh-tokoh nasional justru ditelikung di tengah jalan [4]. Natsir menyebut penghapusan tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen dari Indonesia Timur, yang tidak saja ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga kepada bangsa Indonesia yang baru 24 jam diproklamirkan. Terhadap peristiwa pahit itu, Natsir mengatakan,” insya Allah umat Islam tidak akan lupa!” . Saya merasa, kata-kata Mohammad Natsir ini menunjukkan rasa kecewa yang begitu dalam.

Saya berpendapat, belum ada alasan yang memuaskan terkait penghapusan 7 kata itu. Jika karena tuntutan sekelompok orang perwakilan Indonesia Timur terhadap 7 kata tersebut, maka mengapa A.A. Maramis seorang Kristen dan merepresentasikan orang dari Indonesia Timur yang tergabung dalam PPKI menyetujui isi Piagam Jakarta? Siapakah sekelompok orang yang mengultimatum tersebut sampai-sampai PPKI pun lebih memilih mengubah isi Piagam Jakarta?

Pada sidang konstituate tahun 1950-an partai-partai Islam kembali memperjuangkan Islam sebagai dasar negara [3]. Sayangnya seluruh golongan dan partai sekuler bersatu menolaknya. Segala ideologi boleh berkembang dan bisa dicobakan di negeri ini kecuali ideologi Islam [2].

Menurut saya, masih ada yang mengganjal dalam pengelolaan negara ini, sehingga hubungan Islam dan negara tidak terlalu mesra. Masih saja ada yang mempersoalkan penghapusan 7 kata tersebut adalah bukti ganjalan tersebut. Dan saya menduga hal ini akan terus berkelanjutan.

Bagi pemerintah mungkin masalah ini sudah final, tapi bagi golongan Islam masalah ini belumlah final. Perbedaan inilah yang seharusnya diakomodir oleh pemerintah. Pembiaran berlarut-larut hanyalah menunda masalah. Ini bagaikan bom waktu. Perlu upaya duduk satu meja, dialog dan debat terbuka terkait permasalahan tersebut agar duduk permasalahannya terang benderang.

Kesimpulan

  1. Warna kehidupan berbangsa dan bernegara kita saat ini ditentukan oleh sejarah masa lalunya.
  2. Konsekuensi dari anggapan bahwa “debat terbuka masih tidak cocok” adalah tidak pernah tuntasnya penyelesaian terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini.
  3. Karena kebenaran bukan monopoli penguasa, maka oposisi mutlak diperlukan.
  4. Jika demokrasi kita ingin modern, maka: oposisi yang fokus pada substansi dan literasi masyarakat perlu dihidupkan.

Referensi

[1] Ong, H. H. Dari soal priyayi sampai Nyi Blorong, refleksi historis Nusantara. (Penerbit Buku Kompas, 2002).

[2] Hamka. Ghirah: cemburu karena Allah. (Gema Insani, 2015).

[3] Natsir, M. Islam dan akal merdeka. (Sega Arsy, 2015).

[4] 18 Agustus 1945, Dihapusnya Syariat Islam dalam Piagam Jakarta. Kiblat https://www.kiblat.net/2014/08/18/18-agustus-1945-dihapusnya-syariat-islam-dalam-piagam-jakarta/(2014).

--

--

Ery Arifullah
Deviasi
Editor for

I am a geology specialist in the fields of ichnology, sedimentology and paleoecology, I also enjoy history, politics and life sciences.