Catatan Kecil Untuk Warna Warni Kota Tua Surabaya

Disposable Objects
Disposable Objects
Published in
4 min readJan 12, 2019

Oleh: Astri Isnaini Dewi

Saya kebetulan mengikuti banyak arsitek di media sosial. Kemarin, Instagram dan WhatsApp saya dihebohkan oleh artikel tulisan Kuncarsono P.[1] yang viral dalam mengkritisi pengecatan koridor Jalan Panggung dengan warna-warna neon seperti post-it notes. Walikota Surabaya baru saja mengesahkan program revitalisasi wilayah utara kota itu untuk pengembangan sektor pariwisata.

Wajah baru bangunan di koridor Jalan Panggung Surabaya setelah dicat oleh Pemerintah Kota Surabaya

Perlu digarisbawahi bahwa menjadikan warisan budaya sebagai komoditas pariwisata merupakan hal yang tidak sederhana. Kajian tentang pelestarian warisan budaya terus berkembang dari waktu ke waktu — mulai dari pemahaman akan entitas tunggal (situs, bangunan), kemudian kelompok (koridor, area), hingga melingkupi sebuah kesatuan lansekap kawasan. Unsur yang terlibat ke dalam kajian warisan budaya tidak hanya unit bangunan saja, termasuk pula masyarakat, infrastruktur, sejarah, budaya, lingkungan, dan aspek-aspek politis di dalamnya.[2]

Tren pariwisata belakangan pun mengindikasikan bahwa cara masyarakat memandang objek wisata terus bergeser dari waktu ke waktu. Dari yang semula terpaku pada eksotisme alam, kemudian muncul kesadaran untuk menikmati eksotisme benda budaya. Belakangan, muncul pula kesadaran akan pentingnya interaksi dengan masyarakat lokal untuk lebih memahami budaya tersebut.[3] Apakah mungkin jika unsur-unsur terpaut warisan budaya ini tidak diperhatikan jika kebutuhan masyarakat terhadap budaya itu sendiri terus berkembang?

Di sisi lain, warisan budaya sendiri rupanya hal yang juga sangat subjektif, terlepas dari usia bangunan atau kelas cagar budayanya. Suatu bangunan bisa jadi warisan budaya bagi suatu keluarga, namun belum tentu bagi keluarga lainnya. Bila Jalan Panggung merupakan warisan budaya bagi arsitek dan pemerhati budaya, bagaimana posisinya terhadap masyarakat yang tinggal di sana? Bagaimana bila ternyata mereka lebih risau dengan bau ikan yang menusuk dari dekat Pasar Pabean? Atau bagaimana jika ternyata mereka menyambut bahagia uluran tangan pemerintah untuk memperbaiki tempat tinggal mereka, apalagi dapat menarik wisatawan untuk berkunjung dan menghabiskan uang di sana? Dalam konteks ini signifikansi budaya suatu daerah tidak bisa hanya dimiliki kaum elitis yang mengerti perbedaan warna pantone satu dan lainnya, namun juga harus menjadi milik masyarakat dan pemerintah. Sudah sejauh apa masyarakat, pemerintah, dan profesional sepakat akan hal ini??

Apabila warisan budaya memang penting bagi berbagai pihak, maka perlu ada kesepakatan akan bentuk intervensi yang akan dilakukan. Misalnya, diawali dengan merujuk pada arsip kajian, dokumentasi kawasan, dan kondisi-kondisi eksisting kawasan. Intervensi fisik hanya merupakan 20% dari keseluruhan rangkaian upaya pelestarian, dan hanya 30% menuju keberlanjutan pariwisata budaya. Masih banyak pekerjaan lainnya, seperti injeksi aktivitas ekonomi, pemberdayaan masyarakat, aktivitas edukasi wisatawan, dan interaksi wisatawan-masyarakat.[4]

Sebetulnya, jika diperhatikan lebih cermat, rumah-rumah di Jalan Panggung justru lebih dekat dengan karakter rumah toko pecinan ketimbang melayu: menggunakan atap perisai lengkung dengan gunungan atau hiasan atap seperti naga, disertai ragam hias dan sistem konstruksi campuran tipologi tionghoa-kolonial.[5,6] Dengan demikian, menggunakan studi komparasi tipologi rumah toko pecinan dengan yang dimiliki negara lain seperti Singapura, Melaka, Hongkong, mungkin dapat memperkaya pendekatan kajian perancangan yang akan dilakukan.

Tentunya, dengan tidak mentah-mentah menerapkannya begitu saja. Apalagi dengan comot tempat sembarangan seperti Georgetown sebagai preseden pengembangan, hanya karena keberhasilannya melestarikan bangunan dan menarik wisatawan, tanpa mengetahui sejarah kawasan, tipologi bangunan, maupun kesesuaiannya dengan Surabaya Utara. Melakukan studi preseden memang penting, namun perlu disajikan berdampingan dengan konteks sejarah kawasan, budaya, tipologi, kebijakan, atau bahkan kegagalan di baliknya.

Saya yakin pihak pemerintah tidak mungkin mengeksekusi ide tanpa kajian-kajian sebelumnya, apalagi sudah melalui rute yang panjang sesuai adat istiadat birokrasi pada umumnya untuk dapat dieksekusi. Inisiasi pemerintahan untuk berdiskusi dengan warga sudah dilakukan, dan pengecatan ini merupakan langkah awal yang akan dilanjutkan dengan perbaikan infrastruktur.[7] Proses pengecatan yang diberi label “kerja bakti kampung” ini bisa jadi sumber kebahagiaan masyarakat untuk bekerjasama memperbaiki huniannya untuk menciptakan suasana yang baru (baca: meningkatkan partisipasi).[8] Mereka bahagia, meski warna-warna itu disebut norak dan tidak sesuai oleh masyarakat Surabaya lainnya. Peran Pemerintah di sini tidak hanya sebagai Top Ground (pemberi perintah) namun juga Middle Ground (mediasi) yang juga harus berperan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang kebutuhan dan keinginan dalam intervensi ruang kota.

Kenapa kita panik? Upaya preventif apa yang sudah kita lakukan sebelumnya? Bila benar warna cat harus dikembalikan menjadi asalnya, warna manakah yang dapat disebut asalnya, arsip apa yang dirujuk, apa upaya kuratif yang dapat dilakukan? Tim Ahli Cagar Budaya sudah menyetujui pendekatan tersebut, namun jika melihat keputusan yang terjadi di lapangan, bukankah nampak jelas ada hal-hal yang terlampau sederhana dalam eksekusinya?

Mungkin Bu Risma sedang iseng kepada masyarakat yang sudah lalai punya harta berharga di Surabaya Utara? Ya sudah dicat yang warna-warni saja, biar ingat lagi. Bisa jadi, dan sepertinya berhasil.

[1] https://www.facebook.com/notes/kuncarsono-prasetyo/saya-kecewa-dengan-pengecatan-kota-tua/402766403813200/

[2] Sila dipantau di Burra Charter, Venice Charter, dan Heritage Urban Landscape, Francesco Bandarin, UNESCO 2012

[3] Greg Richards, Creative Tourism, 2007, 2010, 2014

[4] Tanuwidjaja, Gunawan (2012) “Creative and Participative” Remaking of Place Strategy for Jalan Panggung, Surabaya. In: Arte-Polis 4 Intl Conference — Creative Connectivity and the Making of Place: Living Smart by Design

[5] Tanuwidjaja, Gunawan (2012) “Creative and Participative” Remaking of Place Strategy for Jalan Panggung, Surabaya. In: Arte-Polis 4 Intl Conference — Creative Connectivity and the Making of Place: Living Smart by Design

[6] Zubaidi, N. C., Antariksa, A., & Suryasari, N. (2015). Karakteristik Fasade Bangunan untuk Pelestarian Koridor Jalan Panggung Surabaya. Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur, 3(4).

[7] http://jatim.tribunnews.com/2018/11/13/dapat-program-revitalisasi-kawasan-kota-tua-akan-jadi-jujukan-wisata-baru-di-surabaya-utara

[8] https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4339539/kata-warga-soal-warna-warni-jalan-panggung-di-kota-tua-surabaya; dan Docim yang berbahagia setelah menggambar di dinding kampungnya menjelang Agustusan

--

--

Disposable Objects
Disposable Objects

Merekam fenomena seputar desain, arsitektur, dan sejarah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari