Co-Workless Office: Nongkrong Gawe Towards 21st Century

Disposable Objects
Disposable Objects
Published in
6 min readApr 26, 2018

Tujuh besar sayembara pop-up ruang kreatif Lixil dan Ikatan Arsitek Indonesia

Latar belakang gagasan proyek: Yang Luang Yang Punya Peluang

Salah satu perubahan paling dramatis dalam struktur ekonomi dunia dalam tiga dekade terakhir ini adalah maraknya aktivitas ekonomi “tersier” atau usaha di sektor industri jasa dan informal di negara-negara berkembang. Pelaku sektor informal meliputi wirausaha, pekerja lepas (freelancer), dan pekerja upah di berbagai sektor tanpa jaminan kontrak, tunjangan karyawan, atau jaminan sosial jangka panjang. Cakupan aktivitas sektor informal cukup luas, mulai dari industri rumah tangga, industri kreatif, dan berbagai pekerjaan domestik, baik yang dilakukan di rumah atau di ruang publik (International Labour Conference, 2002).

Lebih dari 60 persen pekerja di Asia hidup dari aktivitas ekonomi tersier, termasuk Indonesia. Sejak tahun 2004, lebih dari 25 persen pekerja lepas (freelancer) di Indonesia bekerja dalam durasi yang lebih pendek — kurang dari 35 jam per minggu. Para pekerja informal mengonversi waktu kerja penuh (full-time) menjadi waktu produktif parsial yang lebih fleksibel dengan memanfaatkan ruang-ruang alternatif seperti co-working space, kantor sewa, rumah kontrakan, studio kecil, atau rumah untuk tempat bekerja.

Fleksibilitas waktu kerja ini mengindikasikan bahwa waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan pekerjaan dan waktu bersantai (leissure time) menjadi samar. Para pekerja sektor informal, khususnya freelancer di dalam industri kreatif, memerlukan stimulus dari waktu luang di ruang yang cair untuk mengembangkan ide-ide gagasan mereka. Saat ini, belum semua ruang alternatif yang ada dapat diakses seluruh lapisan masyarakat atau komunitas karena pandangan baku “ruang untuk bekerja” masih melekat, membentuk sekat-sekat berdasarkan relasi dan kelas sosial. Ruang alternatif menjadi beku, ia ada untuk memutar kembali roda ekonomi, sementara proses berkreasi memerlukan ruang yang lebih cair atau bahkan sewaktu-waktu harus meleleh dan lenyap digantikan aktivitas, ruang, dan pelaku kreatif lainnya.

Jika waktu dan ruang yang fleksibel adalah dua hal yang niscaya akan terus dibutuhkan oleh para pekerja kreatif, bagaimana jika keduanya dibaca sebagai sebuah kesempatan yang tidak hanya memproduksi sistem perputaran ekonomi saja, namun juga kesempatan untuk memproduksi arsitektur melalui variabel aktivitas yang ada?

Gagasan arsitektur pop-up ruang kreatif Co-Workless Office mengimajinasikan proses perancangan arsitektur spekulatif yang berangkat dari aktivitas keseharian para pekerja lepas di sektor industri kreatif, kemudian dituangkan ke dalam bangunan temporer yang dapat terus berpindah, berubah atau sewaktu-waktu menghilang, menyesuaikan mereka yang menjadi isi dari bangunan itu sendiri.

Proses Kreatif dan Digital Nomads Sebagai Variabel Rancangan

Proses perancangan dimulai dengan memahami dua hal yang menjadi elemen inti — proses kreativitas dan aktivitas para pekerja lepas di sektor industri kreatif (dalam hal ini meminjam modul aktivitas digital nomads).

Secara makro, tiga modul bangunan pop-up dikombinasikan berdasarkan stimulus proses kreatif. Merujuk pada Roger Von Oech, bahwa proses kreatif dikatakan sebagai “a whack, a kick and a poke”, fase kreatif tersebut terbagi pada dua tahap yakni germinal dan praktikal. Secara sederhana, tiga tahapan utama dalam proses kreatif adalah (1) pencarian dan motivasi, (2) manipulasi, inkubasi dan iluminasi, serta (3) evaluasi dan aksi.

Tiga modul pop-up difungsikan sesuai tiga tahapan tersebut. Modul pertama merupakan tempat bermain, di mana para pengguna bertemu dan bersosialisasi untuk menemukan gagasan kreatifnya masing-masing. Modul kedua untuk aktivitas inkubasi, tiap pengguna diajak untuk berimajinasi mengolah gagasan mereka menjadi rencana. Sedangkan modul ketiga adalah tempat bereksperimen, yang dapat berubah sewaktu-waktu mengikuti kemauan si pelaku eksperimentasi.

Secara mikro, aktivitas di tiap bangunan mengadaptasi modul para pekerja digital nomads. Digital nomads merupakan istilah yang digunakan oleh kelompok pekerja yang dewasa ini menjamur di berbagai belahan dunia, dengan mengandalkan teknologi komunikasi untuk bekerja dan hidup secara berpindah (nomaden) dari satu kota ke kota lain, dengan menggunakan fasilitas publik seperti kedai kopi, co-working space, perpustakaan publik, dan sebagainya.

Dalam kongres tahunan DNX Global (salah satu kongres pekerja digital nomads), dalam satu hari setidaknya ada enam inti rutinitas yang perlu dilakukan, dengan waktu bekerja tidak lebih dari empat jam. Aktivitas bekerja — sebagai aktivitas utama — dimulai pada pukul 9.30 hingga 13.30, sementara di sela-sela waktu tersebut diisi dengan aktivitas yang mendukung keseimbangan mental pekerja seperti olahraga, makan pagi, makan siang dan bermain, pengecekan sosial media, dan riset. Aktivitas ini diakomodasi oleh program ruang di tiap bangunan pop-up. Pada modul pertama, terdapat area bermain, ruang pantry dan urban farming. Modul kedua diisi oleh ruang diskusi, ruang kerja, pin-up board, dan perpustakaan kecil. Sedangkan modul ketiga merupakan modul yang didedikasikan untuk pelaku eksperimen, sehingga dapat berubah dari waktu ke waktu menyesuaikan kebutuhan.

Sistem Pop-Up

Pada dasarnya, sistem pop-up co-workless office mengadopsi dan memodifikasi sebuah sistem yang sudah ada, yakni three wheeled cargo bike. Three wheeled cargo bike merupakan sepeda motor yang dimodifikasi untuk keperluan membawa barang khusus, seperti box cargo, alat pengangkut sampah, pemadam kebakaran, barang dagangan, dan semacamnya. Pada rancangan ini, dua buah sepeda motor membawa box kargo berbahan besi berukuran 2x1,25x1,25 meter yang berisi rangka struktur tambahan dan sistem utilitas. Box besi sendiri dapat diurai menjadi lembaran jari-jari balok yang digunakan untuk penutup atap bagian core modul bangunan dengan ukuran 5x2 meter. Ukuran modul seluas 10 meter persegi ini dimultiplikasi sebanyak 2 kali dari masing-masing sepeda motor, menggunakan struktur tambahan yang ada di dalam box. Sehingga keseluruhan modul menaungi ruang seluas 60 meter persegi di bawahnya.

Sistem struktur tambahan menggunakan besi hollow untuk kolomnya, truss pada bagian baloknya, dan terpal sebagai material selubung penutup atap. Sistem struktur ini mengadaptasi sistem yang biasa digunakan di tenda-tenda acara dengan tujuan membuat sistem perakitan menjadi sederhana dan pengaplikasiannya dapat dilakukan oleh siapapun.

Bagian toilet menggunakan kamar mandi sementara yang dapat diangkut ke dalam kargo tambahan. Bagian-bagian lantai tambahan menggunakan material hammock, jaring, dan textile agar mudah untuk dilipat dan tidak menambah beban struktur secara signifikan. Pembatas ruangan menggunakan material kerai dan tirai bambu yang bersifat temporer, sehingga ruang utama tidak tertutup secara permanen, untuk meminimalisir penggunaan energi listrik.

-

Rancangan ini adalah ide sederhana yang coba menghubungkan beberapa realitas dan kemungkinan yang ada di dalam keseharian. Strategi ini menjadikan desain sebagai alat untuk memahami fenomena di luar bentuk formal arsitektur sebagai tipologi itu sendiri untuk mencari kemungkinan-kemungkinan lain dari produk arsitektur.

Kredit:

Tim desain: Tatyana Kusumo dan Rifandi S. Nugroho

--

--

Disposable Objects
Disposable Objects

Merekam fenomena seputar desain, arsitektur, dan sejarah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari