Di Mana Ada Kesulitan, Di Situ Banyak Jalan

Disposable Objects
Disposable Objects
Published in
4 min readApr 16, 2019

“Human continuously imagine different ways even in the same context, to the point of malfunction. The human is the only species that has tools that don’t work.”

Beatriz Columina & Mark Wigley, 2016

Tiap pukul sepuluh malam, di salah satu tepi jalan Jakarta Selatan, seorang tukang nasi goreng yang sebetulnya tidak hanya menjual nasi goreng memulai rutinitasnya. Namanya Kemeng, asli Jawa Tengah. Lebih dari 20 tahun Kemeng mendulang rezeki dengan cara yang hampir sama. Mulai dari memarkir gerobak, meletakkan batu pengunci roda, mengisi air ke ember cucian piring, me-nyantol listrik untuk penerangan, menyalakan tungku, dan mengeluarkan satu per satu alat serta bahan untuk hidangan malam itu. Selebihnya, koreografi memasak hingga dini hari, sampai bahan baku ludes baru ia kembali ke rumah dengan tenang, mendorong gerobak yang berat melewati halang rintang jalanan Jakarta.

Suatu ketika Kemeng bernasib sial. Dirinya tergelincir bersama gerobak kesayangan saat melalui turunan tajam di dekat kontrakannya. Gerobaknya ringsek, kacanya pecah, kaki penyangga gerobak patah. Dirinya terpaksa tidak berdagang sebulan lantaran kakinya terbentur tepian bawah gerobak. “Gerobaknya lebih berat dari yang sebelumnya, mas, karena pakai kayu solid semua. Memang lebih kuat tapi jauh lebih berat”, ungkap Kemeng. Sepekan kemudian, Kemeng menempelkan potongan ban bekas pada sisi tepi depan bawah gerobak sebagai alat bantu pengereman.

Dari kejadian itu kita bisa melihat bahwasannya bukan sekedar Kemeng “mampu” membuat perangkat baru untuk membantu dirinya, namun perangkat itu juga “mempengaruhi” cara ia bergerak dan bekerja pada hari-hari berikutnya. Siasatnya menubuh di dalam gerobak serta perangkat-perangkat lain yang ia gunakan sehari-hari. Selain rem dari ban bekas, gagang wajan, sodet, kompartemen bumbu masakan, dan penutup tungku api, sebagian besar sudah dimodifikasi dari bentuk standar yang mungkin pernah kita kenal. Begitu pula cara mengoperasikannya. Dirinya membentuk perangkat, perangkat membentuk dirinya. Begitu sederhananya.

Jika kita percaya bahwa desain adalah upaya sadar manusia untuk membuat sesuatu yang dapat membantu dirinya dalam menghadapi persoalan, bukankah sebetulnya proses itu selalu ada dan sangat dekat dengan keseharian kita? Bukankah setiap orang, seperti Kemeng, pasti pernah melakukan proses mendesain? Membekukan hubungan desainer-pengguna dalam sebuah siklus linear malah menjauhkan desain dari realitasnya yang “utuh”, seakan hasil desain digunakan secara pasif tanpa ada respon lain pada objek itu. Sebuah keadaan steril yang hampir tidak pernah terjadi pada kenyataannya.

Don Norman dalam The Design of Everyday Things menguraikan kaitan antara pengetahuan di dalam diri manusia dengan pengetahuan yang ada di dunia nyata. Ketika kita berinteraksi dengan sebuah objek, pada dasarnya kita seperti menghadapi dua buah ceruk dengan kedalaman yang berbeda, yakni ceruk eksekusi dan evaluasi. Eksekusi terkait bagaimana kita melakukan sesuatu, sedangkan evaluasi melihat apa yang terjadi setelahnya. Kedua proses ini terus berulang secara simultan, berelasi terhadap logika, pemaknaan, dan budaya dari pengguna maupun perancang objek tersebut.

Gagang wajan tukang nasi goreng yang dimodifikasi. Foto: M. Ichsan
Kaleng bekas kemasan lem yang digunakan untuk merebus air oleh tukang kue putu. Foto: instagram @unconditionaldesign
Pengguna TransJakarta duduk di railing tepian platform halte. Foto: instagram @use.less.space

Beberapa produk industri (yang terkadang dianggap paripurna oleh perancangnya) mencoba menyertakan instruksi penggunaan di dalam kemasan untuk menjembatani jarak pemahaman antara perancang dan pengguna produk. Ketika si pengguna membaca instruksi itu, bisa jadi ia mendapatkan pemahaman yang berbeda dengan apa yang dimaksud oleh desainer di dalam instruksinya, lalu melakukan tindakan sesuai dengan interpretasinya sendiri. Di titik itu lah setiap orang memiliki model respon, kebiasaan, dan refleksi yang berbeda-beda untuk melewati cerukan eksekusi maupun evaluasi, terpaut dengan pengetahuan dan kebiasaan masing-masing orang.

Berjalan lah sejenak di luar dan perhatikan hal-hal yang ada di sekitar, maka hubungan alam pikiran dan kenyataan kita akan semakin lentur. Amati bagaimana tukang kue putu menumbuk kepala sendoknya menjadi rata demi memudahkan proses perataan tepung di dalam tabung bambu, juga bagaimana seorang penjual es podeng menjaga dagangannya tetap dingin dari pagi sampai sore hari. Amati pula bagaimana warga kota mengalihfungsikan railing di halte TransJakarta menjadi tempat duduk, atau gerombolan ibu-ibu yang bersembunyi di ruang bawah tangga eskalator Stasiun Tanah Abang demi mencari kesunyian pada jam-jam ramai. Kota menyajikan beragam fenomena untuk kita pelajari, menggeser nilai guna yang ada di dalam nalar perancangan konvensional dengan nilai-nilai guna yang dinamis mengikuti kenyataan.

Lewat interaksi tubuh dan objek di keseharian, semuanya pun akhirnya tiba pada kompromi. Ketika nalar perancangan produk industri mendominasi objek, baik di ruang publik maupun domestik kita hari ini, akankah kita dipaksa untuk mereduksi nilai guna yang sebetulnya jamak? Jika biaya yang tinggi dan usia produk yang pendek adalah bagian dari harga yang harus kita bayar untuk hidup dalam cara yang praktis, efisien, sehat, dan indah, hal mana yang akan kita pilih?

Essay untuk kelas Belajar Desain Sabtu Minggu, 13–14 April 2019. Bekerjasama dengan LabTanya, Unconditionaldesign, dan The Company Studio

Ditulis oleh: Rifandi S. Nugroho

Materi disusun oleh: Rifandi S. Nugroho, Ignatius Susi Adi Wibowo, dan Muhammad Rifqi Fajri

--

--

Disposable Objects
Disposable Objects

Merekam fenomena seputar desain, arsitektur, dan sejarah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari