Perihal Display di Ruang Pamer

Disposable Objects
Disposable Objects
Published in
6 min readDec 11, 2017

Oleh: Rifandi Septiawan Nugroho

Siang itu, Kamis 7 Desember 2017, setelah semalaman suntuk menghabiskan waktu di McD untuk menunggu kereta yang baru berangkat subuh, saya melakukan dua hal yang belum pernah saya lakukan sebelumnya: menginjakan kaki di kota Jember dan mengisi materi di kelas kuratorial seni rupa. Ayos Purwoaji, sahabat yang kini menjadi seorang Bapak merangkap kurator handal dari Surabaya, mengajak saya untuk berbagi perihal skenografi atau praktik display di dalam pameran. Modalnya sederhana saja, saya cukup dekat dengannya dan beberapa kali bikin pameran bareng membantu merancang ruang pamernya, atau istilahnya konco lawas. Bukan karena saya memang ahli betul di bidang itu.

Praktik seni rupa kolektif selalu menarik bagi saya yang bukan berlatar belakang seniman. Kecepatan praktiknya mampu melampaui batas pembahasan akademis yang sedang hangat dikaji di kampus-kampus, ia bisa menjadi begitu cair sebagai medium belajar tanpa terbebani aspek-aspek formal yang melingkupi keilmuannya. Jember sendiri sebagai sebuah kota yang skena seni rupanya jarang terdengar tiba-tiba dengan mengejutkan mengadakan inisiatif kegiatan semacam ini. Artinya melalui jejaring kolektif pula anak muda di Jember (sebagian besar peserta masih kuliah S1) mampu mendahului institusi formal untuk menyelenggarakan pendidikan kajian kuratorial.[1] Sejumlah pegiat seni dari beberapa kota berkumpul dan berbagi cerita tanpa terikat oleh institusi apa pun, secara sukarela.

Sebelum memulai pembahasan tentang display, saya sempat takjub dan penasaran pada inisiatif salah satu peserta yang pada tahun 2017 lalu menggagas pameran besar di aula Universitas Jember dengan tajuk Local Visual.[2] Pameran ini mampu menampilkan karya dari 120 seniman. Lebih hebatnya lagi, pameran ini tidak terbatas pada seniman dari dalam Jember saja, ada pula dari kota bahkan negara lain! Satu seniman yang diundang berasal dari negara Mesir. Sungguh perhelatan yang ambisius. Keadaan jadi berbalik. Saya yang ingin belajar dari mereka. Saya iri melihatnya, pameran begitu besar bisa dilaksanakan bermodal dana hasil ngamen dan undangan seniman via instagram. Di tengah keluguannya, mereka dapat mewujudkan gagasan besar tanpa ragu.

Dengan partisi kain, rangka bambu, bingkai kayu, mereka menyusun alur cerita dan pengalaman visual kepada pengunjung. Praktik display mereka lakukan dengan intuisi. Ada jembatan, lorong kecil, ruang lapang, lalu box kain, masing-masing dengan maksud membantu pengunjung menangkap isi pameran, baik disadari atau tidak disadari. Bingkai-bingkai kayu disusun tinggi dan rendah, pengunjung berlalu lalang memperhatikan satu per satu bingkai yang tak sama rata itu. Jumlah karya yang sangat banyak membuat ruang yang sederhana itu begitu kaya akan pengalaman visual. Cara display tidak berlebihan, tidak juga kurang. Pameran ini merayakan berbagai distraksi estetika.

Kemudian saya memulai diskusi dengan satu pertanyaan sederhana, apa yang membuat ruang pameran dapat dinikmati?

Alih-alih brainstorming bareng, saya bertanya sebab penasaran bagaimana praktisi seni kota Jember mengapresiasi sebuah karya seni di ruang pamer. Mereka yang berlatar belakang berbeda pasti menjawab berbeda pula. Begitu adanya. Bagi Didit dan Nando yang berasal dari Jember Art Frame, mereka menekankan pentingnya “keteraturan” susunan medium di ruang pamer. Sementara Benny yang pernah membuat pameran skala masif, beranggapan “benang merah” dari pengalaman sangat penting. Dimsi, dari sudut pandang seniman, mempertanyakan prioritas komposisi “objek dan teks” di dalam ruang pamer.

Diagram elemen pembentuk skema display di ruang pameran [Rifandi, 2017]

Saya mengawalinya dengan pemahaman akan konteks kota dimana pameran itu berada. Apresiasi karya di kota London tentu berbeda dengan Surabaya atau Jember. Pembacaan ini bisa dilihat dari hal-hal sederhana, mulai dari minat baca, latar belakang pengetahuan seni budaya, atau sesederhana kebiasaan masyarakatnya. Penikmat seni di Indonesia cenderung berswafoto ketimbang menyaksikan video karya berdurasi satu jam, misalnya.

Demikian halnya dengan skala yang lebih kecil, ruang atau tempat pameran diadakan. Sudah barang tentu pameran di mall tidak bisa diperlakukan seperti pameran di galeri. Begitu pula aula, gudang, trotoar jalan, atau kafetaria. Masing-masing memiliki karakteristik sendiri. Kecenderungan menjadikan ruang pamer sebagai white cube[3] terlalu menyederhanakan dan tidak membaca peluang yang diberikan oleh karakter ruang. Sebaliknya, pengolahan berlebihan pada ruang juga menyebabkan pengunjung tidak dapat fokus pada karya. Hal ini terjadi di New National Gallery, Berlin karya arsitek Ludwig Mies Van De Rohe yang selesai dibangun pada tahun 1964. Monumentalitas karya galeri ini menuai kritik dari berbagai pihak di awal keberadaannya, sebab banyak masalah dari sisi fungsional, seperti skala ruangnya yang kolosal “mengkerdilkan” karya seni, tidak ada dinding untuk meletakan karya seni, dan seluruh sisi yang terbuka menyebabkan distraksi visual berlebihan ke dalam ruang pamer.[4] Berbagai penyelesaian tambahan dalam penyajian karya seni akhirnya muncul akibat “batasan baru” yang diciptakan oleh Mies. Dialog ini sangat menarik untuk dilakukan, baik karya seni maupun ruang, keduanya saling “menantang” tanpa saling menjatuhkan.

Sedangkan bentuk medium karya seni sendiri juga sangat berpengaruh dalam penentuan bagaimana ia diletakan, ditampilkan, atau disembunyikan. Medium seni kontemporer sangat luas, mulai dari objek lukis, patung, video, instalasi, bahkan performans manusia. Kepekaan kurator dan perancang ruang pamer sangat berpengaruh pada komposisi informasi karya ini. Karya seni yang diletakan sesuai dengan karakter mediumnya dapat memperkuat impresi pengunjung, pengalaman estetis, dan keserasian dengan kebiasaan-kebiasaan yang ada.

Komposisi antara karya dan teks juga menjadi penguat pernyataan seorang kurator tentang pesan yang ia telah susun sebelumnya. Pada pameran tertentu, komposisi teks perlu dibuat seminim mungkin atau sebaliknya. Misalnya, saya tidak bisa membayangkan jika pameran “Juragan style” yang dipamerkan di JCC pada tahun 2015 lalu tidak menggunakan teks, sebab sebagian besar informasi adalah hasil dari residensi beberapa peneliti dan penulis yang beberapa pekan sebelum acara baru saja merampungkan kerjaan mereka [5]. Juga tempatnya yang menjadi satu dengan expo material bangunan. Teks menjadi “pelambat”, menghentikan pengunjung untuk kemudian fokus pada apa yang ditampilkan.

Pameran Juragan Style yang dikuratori pada tahun 2015 di JCC Senayan

Perletakan wall text baik dalam bentuk caption, tulisan singkat, atau kutipan, seharusnya menjadi satu dengan objek pamer, tidak terpisah dan terkesan hanya sebagai komplementer yang tidak penting. Isi dari caption juga harus menjelaskan dengan sederhana maksud dari karya tersebut. Wall text yang dibuat asal-asalan, baik konten maupun komposisi artistiknya, dapat merusak isi dari pameran.

Karya seni dari Richard Tuttle berjudul In Parts, 1998–2001 yang mencoba mengkritik keberadaan caption dari karya

Richard Tuttle dikenal dengan seorang seniman yang membuat karya berdasarkan “slight”, sesuatu yang mengganggu gestur visual manusia. Dirinya sangat tertarik pada keberadaan wall text labels untuk membedakan (signifying). Ia meletakan karyanya yang dibuat dengan besaran yang hampir sama dengan label tersebut, lalu menjadikan label dan karyanya bersebalahan, untuk menegaskan perbedaannya. Pernyatan ini menarik karena Tuttle menentang kebiasaan meletakan wall text yang bagi dirinya terlalu besar dan mengganggu. [6]

Wall text pada Pameran Silaban yang banyak beredar di media sosial
Wall text Pameran Silaban yang banyak di media sosial
Wall text hasil riset arsip pada pameran Lukisan Tanpa Teori, karya seni lukis abstrak koleksi Dewan Kesenian Jakarta

Masalah wall text labels juga terkadang saya temui pada berbagai pameran, sebagai sesuatu yang mengganggu fokus dan terkadang terlepas dari keseluruhan isi pameran. Seringkali saya menemukan wall text besar menjadi objek swafoto pengunjung, akhirnya mengganggu fokus pada substansi objek pamer yang sebenarnya. Hal semacam ini memang cukup efektif untuk mempertegas pesan kurator, hanya saja pilihan isinya perlu dipertimbangkan matang-matang agar tidak terjebak pada jargon-jargon.

Dengan demikian seluruh elemen display mestinya dapat dipahami secara holistik. Meskipun pada praktiknya, segala yang terencana kemungkinan dapat berubah, adanya gambaran awal tentang display akan sangat penting untuk menentukan pemahaman pengunjung ruang pamer, terutama menegaskan apa yang kurator inginkan. Menyusun display artinya menyusun pengetahuan, pada apa-apa yang telah kurator pelajari sebelumnya, untuk kemudian dibagikan kepada penonton yang beragam.

[1] Jember Art Frame adalah kolektif seniman yang menginisiasi kegiatan ini. Mereka menempati sebuah galeri di bangunan kafetaria bernama The Anglo Saxon Tavern. Galerinya begitu rutin mengadakan kegiatan pameran dan yang berhubungan dengan seni budaya.

[2] Local Visual digagas oleh kelompok UKM Dewan Kesenian Kampus dari Universitas Jember. Salah satu penggagasnya bernama Benny, ia juga turut menjadi peserta lokakarya.

[3] White cube maksudnya pameran yang menihilkan elemen ruang pamer guna memfokuskan pengalaman visual pada karya seni saja.

[4] Baca artikel Mie’s New National Gallery: Empty and Full tulisan Detlef Mertins dalam What Makes Great Exhibition? (Marincola, 2007)

[5] Pameran Juragan Style dikuratori oleh Ayos Purwoaji dan saya terlibat sebagai perancang ruang pamernya. Pameran ini hasil dari residensi beberapa dokumenter dari luar Jawa di Madura untuk menelusuri perkembangan rumah para juragan tembakau di pulau tersebut, yang konon mulanya disebut bergaya “Jengki”.

[6] Baca Wall Text, 2003/6 tulisan Inggrid Schaffner dalam What Makes Great Exhibition? (Marincola, 2007)

--

--

Disposable Objects
Disposable Objects

Merekam fenomena seputar desain, arsitektur, dan sejarah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari