Roemah Jang Sehat dan Elok: Menelusur Arsip Propaganda Pendudukan Jepang Untuk Hunian di Indonesia 1943–1944

Disposable Objects
Disposable Objects
Published in
8 min readJul 24, 2018

oleh: Rifandi S. Nugroho

“Rumah-rumah di sana setelah didirikan oleh pemerintah Sjoe dengan mementingkan syarat-syarat ilmu kesehatan serta bentuk yang sangat elok, lalu diserahkan kepada penduduk. Orang-orang yang diam di sana dengan merasa berterima kasih kepada pihak berkewajiban hidup dalam suasana berbahagia.”

— Djawa Baroe, 1 September 1943

September 1943 adalah bulan yang buruk bagi bala tentara Jepang di Indonesia. Hari-hari mereka direpotkan dengan wabah malaria dan disentri yang menyerang penduduk di pedesaan. Dalam tekanan perang, baik secara finansial maupun mental, melakukan pembangunan fisik bukan perkara mudah. Maka rezim militer Jepang mengandalkan satu cara: Propaganda.

Jepang hanya tiga setengah tahun di Indonesia. Namun melalui propaganda itu mereka mampu mengubah kebiasaan masyarakat secara drastis pada teritori manusia yang paling intim, sebuah hunian. Bagaimana manusia bertindak dan berperilaku dalam sebuah tempat di mana mereka sehari-hari tinggal nampaknya dinilai lebih esensial ketimbang faktor fisik bangunan itu sendiri.

Arsip Djawa Baroe 1 September 1943, tentang penyelidikan nyamuk Malaria yang menyerang desa-desa di Jawa
Arsip Djawa Baroe 1 September 1943, tentang penyelidikan nyamuk Malaria yang menyerang desa-desa di Jawa

Dalam buku yang berjudul Under Construction: The Politics of Urban Space and Housing during the Decolonization of Indonesia, 1930–1960, Freek Columbijn menguraikan bagaimana Jepang melakukan berbagai perubahan pada tatanan sosial kota-kota besar di Indonesia. Mulai dari peningkatan drastis jumlah tahanan sipil Eropa, penghancuran monumen, pelarangan menggunakan Bahasa Belanda dan Inggris, penggantian nama jalan dan tempat dengan Bahasa Indonesia dan Jepang, perubahan sistem administrasi daerah, pengibaran bendera Jepang, serta penerapan aturan ketat yang membuat situasi keamanan meningkat. Uraian Columbijn memberi gambaran bagaimana Jepang berusaha mengubur dalam-dalam ingatan akan hadirnya bangsa Eropa di “Asia Timur Raya”.

Pada penelusuran arsip koran Djawa Baroe sepanjang tahun 1943 hingga 1944, saya mencoba mencari persilangan antara propaganda Jepang dan arsitektur di Indonesia. Bermula dari pertanyaan sederhana, adakah peninggalan arsitektur Jepang (baik faktor fisik yang kini membuat banyak arsitek di Indonesia kepincut maupun yang non-fisik) di negara yang pernah ia singgahi?

Konon, secara formal, bentuk-bentuk arsitektur Jepang lekat akan budaya “timur” meskipun terpapar oleh industrialisasi dan modernisasi pasca Restorasi Meiji. Mengutip Antonin Raymond — seorang arsitek Amerika yang tinggal lama di Jepang dan banyak menangani bangunan kamp militer sepanjang1940-an — setidaknya ada empat hal yang menjadi akar proses modernisasi dari arsitektur Jepang; kesederhanaan dan kelugasan, apresiasi pada alam, apresiasi pada ruang, apresiasi pada kualitas spiritual material, serta ketenangan dan keheningan. Namun, apakah hal yang sama berlaku dalam situasi krisis? Dalam beberapa aspek uraian Raymond nampak terlalu ideal untuk sebuah bangsa yang harus membangun dalam keadaan serba terbatas.

Arsip Djawa Baroe 1 September 1943
Arsip Djawa Baroe 1 September 1943

Koran Djawa Baroe 1 September 1943 di atas memberitakan kabar pendirian sebuah “kampung model” di Cirebon yang diberi nama Kjooei Matji (Kampung Kemakmuran Bersama) dengan 57 rumah tangga di dalamnya. Pada gambar-gambar yang ditampilkan, terlihat bentuk bangunan dengan atap perisai sedangkan dinding masih tetap menggunakan material bambu seperti rumah-rumah pedesaan Jawa pada umumnya. Tiap rumah dikelilingi halaman dan berjejer rapih dalam satu susunan linear. Pada foto lain juga terlihat suasana ruang dalam sebuah keluarga yang berkumpul mengelilingi meja makan (ini juga salah satu propaganda cara makan yang dinilai lebih beradab dari pada lesehan oleh pemerintah Jepang) dan foto sekelompok orang yang sedang menanam sayuran di halaman samping rumah. Pada masa-masa yang sulit itu berulang kali Jepang “mendorong” masyarakat lokal untuk memproduksi sumber pangan mereka sendiri.

Arsip Djawa Baroe 1 September 1944
Arsip Djawa Baroe 1 September 1944

“Suatu pendapatan jempolan! Di rumah ini ada sumur, di rumah itu ada telpon, di rumah pojok itu ada tanda dokter. Sebab itu nanti kalau ada orang mendapat luka penuh kehormatan di dalam penjagaan bahaya udara baiklah dibawa ke sana.”

Satu tahun kemudian, koran yang sama menyampaikan propaganda mengenai penerapan susunan penjaga keamanan dengan mekanisme kontrol Tonari Gumi disertai pemasangan papan-papan penanda (signage) di rumah-rumah penduduk.

Tonari-gumi adalah kelompok perwakilan dari lima hingga sepuluh rumah tangga dalam satu ku (desa). Dalam satu Tonari Gumi terdapat satu Tonari Gumi Cho (ketua RT) yang ditunjuk oleh anggotanya dan diberi izin oleh Ku Cho (kepala desa). Dalam sebulan tiap Tonari Gumi mengadakan Azajokai (musyawarah pertemuan) setidaknya satu kali. Pertemuan itu dilakukan di halaman rumah salah satu warga dengan tata cara tertentu, salah satunya dimulai dengan melakukan penghormatan ke arah istana Tokyo.

Diagram hirarki Tonari Gumi. Sumber: Video propaganda Jepang di Indonesia 1943
Propaganda Jepang untuk penerapan sistem Tonari Gumi. Sumber: Video propaganda Jepang di Indonesia 1943
Azajokai Tonari Gumi yang dilaksanakan di halaman rumah salah satu warga. Sumber: Video propaganda Jepang di Indonesia 1943.

Mulanya, sistem Tonari Gumi berlaku untuk menyelesaikan persoalan sehari-hari warga, seperti bantuan kesehatan, ajakan mengolah sawah yang terbengkalai, kerja bakti, dan sistem subsidi kesejahteraan warga desa. Dalam perkembangannya, sistem ini diterapkan untuk perencanaan sistem mitigasi dan evakuasi warga apabila terjadi serangan udara secara mendadak. Seperti pembuatan lubang perlindungan di bawah tanah, pembuatan sumur untuk memadamkan api, rumah medis, dan alat telekomunikasi.

Seorang pria menyebarkan pemberitahuan keadaan darurat serangan pada warga desa. Sumber: Video propaganda Jepang di Indonesia 1943.
Seorang pria menyebarkan pemberitahuan keadaan darurat serangan pada warga desa. Sumber: Video propaganda Jepang di Indonesia 1943.
Sekelompok pria melakukan penggalian tanah di samping rumah untuk ruang perlindungan dari serangan udara. Sumber: Video propaganda Jepang di Indonesia 1943.
Dua orang wanita berlindung di lubang perlindungan yang telah dibuat di samping rumah. Sumber: Video propaganda Jepang di Indonesia 1943.
Sekelompok pemuda memadamkan api dari ledakan serangan udara. Sumber: Video propaganda Jepang di Indonesia 1943.
Warga desa bersama-sama mengolah pematang sawah. Sumber: Video propaganda Jepang di Indonesia 1943.
Arsip Djawa Baroe 1 September 1944
Arsip Djawa Baroe 1 September 1944

Pemerintah Dai Nipon juga banyak membangun permukiman khusus untuk latihan militer di beberapa daerah. Beberapa di antaranya di Desa Randu Bongkar, Pekalongan dan Desa di lereng Gunung Kawi, Kepanjen, Malang.

Pada arsip Djawa Baroe 1 September 1944 di atas, terlihat sebuah foto kawasan desa dengan jumlah total 200 unit rumah di dalamnya untuk “tempat latihan kaum bojongan”. Sekilas tidak ada yang menarik secara fisik dari tempat ini. Yang mencolok justru skala desa yang besar hingga mampu menampung 200 unit rumah beserta langgar, pasar, dan peternakan menyerupai sebuah kota kecil. Layaknya fiksi, tiap kota atau permukiman baru dalam skala besar memerlukan imajinasi pemegang kuasa untuk mewujudkan tatanannya. Atas otoritas kuasa militer dan desakan perang proyek skala besar ini terwujud.

Sama seperti gambaran desa di Cirebon, material bangunan yang digunakan untuk penutup dinding adalah anyaman bambu dengan atap alang-alang. Belum tergambarkan jelas di mana posisi desa ini tepatnya. Namun jika dibaca dari sudut pandang pemberitaan propaganda, alasan dipilihnya tempat ini untuk latihan militer bagi pemuda karena udaranya yang sejuk.

Arsip Djawa Baroe Agustus 1944
Arsip Djawa Baroe 1 September 1944

“Di Malang Shu yang bertujuan hendak melengkapkan susunan perang mati-matian telah diputuskan, bahwa akan memindahkan 200 keluarga kaum tani dalam Shu tersebut dengan tujuan pembelaan tanah air. Segenap penduduk desa yang ditunjuk segera mengadakan rapat desa, dan atas suara bulat telah diputuskan bahwa dengan rela mereka akan pindah dengan mempersembahkan tanah dan rumah mereka yang turun temurun diwariskan oleh nenek moyang mereka dan yang telah lazim didiami mereka itu. Mereka bermufakat hendak mengayunkan pacul untuk membuka tanah yang belum pernah diusahakan orang.”

Sedangkan di Malang, Agustus 1944, terdapat sebuah permukiman petani — yang semula letaknya menyebar — kemudian direlokasi ke tempat baru guna menyesuaikan pola pertahanan militer yang telah ditentukan oleh pemerintah Jepang. Proyek ini diproyeksikan sebagai “desa model” di sana yang dibangun dalam waktu dua bulan. Infrastruktur jalan dan bangunan umum seperti sekolah, masjid, dan pasar juga dipersiapkan dalam masterplan. Desa ini diberi nama Tanakamoelja (tanah yang mulia) yang dibangun bersama-sama oleh warga desa.

Dalam gambar peta desa terlihat pola susunannya berbentuk grid dikelilingi oleh tegalan dan pematang sawah. Jika diamati, dua hal yang menjadi fokus dari penataan ini adalah mekanisme kontrol dan distribusi pangan. Pola grid mempermudah bala tentara mengontrol gerak-gerik penduduk sedangkan lahan produktif di sekelilingnya menjadi penunjang pemenuhan kebutuhan pokok penduduk di dalamnya, sekaligus mengisolasi penduduk dari lingkungan luar.

Djawa Baroe 15 Agustus 1944

“Serangan udara musuh sudah mesti. Untuk mengecilkan kecelakaan-kecelakaan yang mungkin ditimbulkan oleh serangan udara itu, maka harus ditempelkan kertas pada kaca-kaca jendela, supaya menghindarkan kita dari pada kecelakaan yang disebabkan pecahan kaca.”

Selain susunan permukiman, dalam hal teknologi bahan bangunan Jepang juga menekankan beberapa intervensi, khususnya pada bangunan di perkotaan. Salah satunya seperti yang tertulis dalam koran Djawa Baroe 15 Agustus 1944 di atas, tentang material kaca bangunan yang perlu dilapis kertas cellophane pada kedua sisi kaca dan rangka-rangkanya.

Sebelum ada kaca temper dan kaca film, kertas cellophane digunakan untuk meredam angin dari hulu ledak di sekitar bangunan sekaligus menjaga agar pecahan kaca tidak melukai orang-orang di sekitarnya. Pada koran di atas, terdapat gambar beberapa pola kaca yang ada pada pertokoan di Jakarta. Gambar 1 dan 2 dinilai menjadi contoh yang baik sedangkan gambar 3 dan 4 adalah contoh yang buruk.

Pola kaca dianggap aman apabila memiliki susunan rangka lebih rapat dan lebih kecil. Semakin kecil luas permukaan kaca maka semakin kecil daya tekan udara terhadap kaca itu. Selain itu, jika diamati lebih jeli, gambar 1 menunjukan pola dekorasi menyerupai gambar matahari terbit simbol militer Jepang. Maka terlihat jelas intensi Jepang dalam berita ini. Selain menekankan aspek keselamatan melalui teknologi material bangunan, pola dekoratif susunan material bangunan menjadi alat penguat pesan propaganda mereka.

Butuh kerja ekstra untuk menelusur jejak-jejak fisik peninggalan Jepang di Indonesia hari ini. Namun realitas yang terjadi kala itu sebetulnya masih bisa ditemui di dalam keseharian lingkungan tempat tinggal kita saat ini.

Beruntung saya, di kampung tempat saya tinggal, di pinggir kota Jakarta tempat persilangan pendatang dan penduduk lokal Betawi, Tonari Gumi samar-samar masih terasa. Musyawarah warga, kerja bakti, urunan untuk biaya rumah sakit tetangga, penjagaan keamanan, pesta pernikahan masih mungkin dinegosiasikan pada ruang-ruang yang cair tanpa melalui kontrol ketat seperti yang terjadi di bawah pengawasan militer Jepang.

Pembangunan fisik yang terjadi puluhan tahun setelah Jepang pergi tentu telah dibiaskan oleh berbagai otoritas lain yang mengubah ruang hidup kita secara sistemik. Ruang-ruang hunian banyak yang direduksi menjadi komoditas dan destinasi semata. Di samping itu semua, kita perlu belajar dari Jepang bagaimana cara meninggalkan pola pikir. Pola pikir yang menyadarkan pentingnya perilaku dalam membangun sebuah lingkungan peradaban.

Membangun fisik tanpa disertai pembangunan mental penggunanya bagai merapihkan kamar yang berantakan tanpa berperilaku resik, niscaya beberapa minggu kemudian kamar itu akan berantakan lagi.

--

--

Disposable Objects
Disposable Objects

Merekam fenomena seputar desain, arsitektur, dan sejarah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari