Tentang corat-coret

Disposable Objects
Disposable Objects
Published in
5 min readMar 1, 2018

Oleh: Bangkit Mandela

Beberapa waktu lalu saya sempat membaca kumpulan cerpen Eka Kurniawan yang berjudul Corat-Coret di Toilet. Kumcer ini merupakan salah satu karya awal Eka sebelum mengejutkan dunia penulisan dengan judul-judul istimewa semacam Cantik Itu Luka, dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Namun, sedari kumcer ini, kita dapat melihat gejala ketertarikan Eka terhadap isu-isu remeh yang hadir di masyarakat. Eka membuktikan, begitu kerap dan variatif suatu fenomena urban, ketika disajikan kembali dalam bentuk narasi, ia dapat diolah menjadi cerita yang utuh. Misalnya pada novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, Eka menceritakan kisah tentang sopir truk yang tidak mampu ereksi akibat trauma berkepanjangan. Di novel ini, Eka mengolah drama psikologi murni dan menyandingkannya dengan latar keseharian yang banal. Pada cerpen Corat-coret di Toilet, Eka menceritakan kisah tentang dialog tekstual yang terjadi di salah satu bilik toilet. Justru di dinding toilet, terjadi dialog yang lebih dinamis dan transparan daripada di dunia nyata.

Saya tertarik untuk mengulas perihal corat-coret mengingat di kota yang sama (Bandung), saya menemukan keganjilan serupa yang mengundang tawa. Suatu ketika saya dan seorang teman tengah berkemah di Gunung Batu, yang terletak di sisi utara kota Bandung. Saat menjelajahi ketinggian tertentu, di atas sebongkah batu saya menciduk suatu tulisan memorabilia yang berbunyi: Andri loves Sinta*. Hal ini terbaca biasa saja sebelum teman saya berkomentar dengan muka datar dan nada yang tulus:

“Hebat juga, naik gunung bawa Tipp-eX”.

Lelakon semacam ini menjadi menarik saat kita mencoba menggali motivasi dari sang penulis. Anggaplah Andri atau Sinta ini sebagai penulis, karena kita dengan atau tanpa sengaja membaca tulisannya dan merasakan sesuatu. Motivasi Andri atau Sinta ini sederhana, yakni menyatakan kebahagiaannya, atau menggurat kesepakatan mesra melalui pewartaan. Mau tidak mau, orang yang lewat akan membaca hal tersebut, lalu menelan suatu informasi baru, bahwa Andri dan Sinta ini, tengah saling mencintai pada saat itu. Tidak penting bahwa 3 bulan setelah pewartaannya, Andri dan Sinta sudah putus. Yang penting adalah ekspresi tersebut di saat itu.

Saya kemudian mulai mengamati corat-coret yang muncul di tempat-tempat lain. Corat-coret tersebut seringkali berada di tempat-tempat publik, pada sudut-sudut ganjil, dan tidak sedikit yang ditulis dengan terburu-buru. Adapun kontennya, seringkali berupa memorabilia seperti di atas, ekspresi sosial, hingga pernyataan politik. Medianya pun terbilang sederhana, dari ballpoint hingga cat semprot, tergantung seberapa tegas garis yang ingin ditorehkan.

Corat-coretan ini lain cerita dengan mural maupun graffiti, yang merupakan bentuk alternatif dari kegiatan menyampaikan suatu pesan. Mural selalu dan pertama-tama mengandung usaha kreatif melalui pendekatan visual, sementara graffiti menonjolkan eksplorasi tipografi untuk menyatakan sesuatu. Keduanya berbeda dengan corat-coret yang mendahulukan efek kejutan. Mural dan graffiti pada dasarnya menyorot dirinya sendiri sesuai dengan kodratnya sebagai perangkat seni, berkebalikan dengan coret-coret yang cenderung menyembunyikannya dengan saling menimpa di antara coretan lainnya. Namun, ketiganya memiliki persamaan, yakni berlindung pada anonimitas dan umumnya meletak merdeka di ruang publik.

Anonimitas tersebut menjadi unsur penting dalam penciptaan corat-coret di ruang publik, yang umumnya disebut grafitti, padahal perbedaannya sulit digariskan. Dengan berlindung dibalik anonimitas, seorang penulis membebaskan dirinya dari kewajiban-kewajiban figur yang bekerja di masyarakat. Seno Gumira Ajidarma dengan nama pena Mira Sato, serta banyak penulis menggunakan jubah yang sama dari waktu ke waktu. Dengan menggunakan nama pena, mereka dapat membahas hal-hal yang dianggap tabu atau berbahaya tanpa perlu kehilangan nyali saat menuliskannya. Begitu pun dengan penulis banal kita, yang kerap menyatakan pemikiran mereka dengan media, kemampuan, dan nyali ala kadarnya. Anonimitas pada coretan dinding, membuat kontennya tampak tidak berbahaya, dan di saat yang bersamaan, merupakan keistimewaan demokratis yang tidak dimiliki media lain.

“LATIHAN BIKIN GRAFFITI” DI POS SATPAM, JL. TAMAN AMARILIS, JAKARTA. 01/03/18

Sehingga, ekspresi yang muncul dari seni (anggaplah itu sebagai seni, jika kita menghitung rangsangan emosi yang muncul saat melihatnya) corat-coret menjadi sangat beragam dan tidak terikat pada standar penulisan tradisional. Corat-coret dapat dibuat dengan cepat dan selalu memenuhi tujuannya sebagai elemen interupsi. Dalam pandangan saya, sebuah corat-coret gagal menjadi corat-coret saat mencoba secara runyam untuk menjadi karya seni serius. Karya puisi yang ditempel pada tembok, atau suatu pameran graffiti kolektif yang pernah dilakukan di Jakarta [1], mungkin lebih membekas bagi banyak orang. Sebab, pagelaran ini menandai dirinya dengan keluar dari pakemnya yang kasar. Namun, interupsi yang dihadirkan oleh corat-coret di tembok, cenderung lebih menikam. Interupsi inilah yang menjadi kekuatan utama coretan dinding. Bayangkanlah suatu tembok putih cantik, dan suatu hari tertulis tegas-tegas di sudut atau bagian tengahnya; “gedung kontol”. Tidak ada tindakan yang lebih tegas untuk menyatakan keberatan terhadap suatu karya arsitektur daripada pemerkosaan dengan sejentik Pylox. Hal itu, tentu saja membutuhkan kenekatan yang luar biasa.

SUATU CORAT-CORET DI BAWAH SELUNCURAN ANAK-ANAK, TAMAN HEGARMANA, BANDUNG. 17/02/18

Di sisi lain, corat-coret juga muncul seperti bisikan-bisikan yang bersembunyi. Saya sedang duduk pada lubang beton di bawah perosotan anak-anak di suatu taman, sementara teman saya sedang sibuk dibuai ayunan sembari merokok. Di dalamnya, terdapat corat-coret yang tumpang tindih. Di sini, kita dapat mencoba untuk memetakan cerita yang hadir di dinding tersebut. Marginalia, atau tindakan pembubuhan catatan samping, baik untuk mempertajam atau pun mencatat ide lepasan, muncul pada corat-coret di banyak tempat. Sekali lagi, kemudahan mencoret menumbuhkan keinginan merespon yang kuat, dan lemahnya nilai seni dari coretan dinding, membuat orang lebih mudah untuk melanjutkan aspirasi di antara tumpukan coretan tersebut.

Jika ditelisik lebih dalam, coretan dinding bernilai lebih dari sekadar pembubuhan liar di tembok orang. Misalnya saja, kita dapat menelaah perubahan spasial yang dipengaruhi coretan sebagai penanda wilayah, dengan membaca gejala kehadirannya pada tempat-tempat yang mengalami absen kekuasaan. Antisipasi dan aspirasi yang terkandung dari coretan dinding, dapat menjadi tolak ukur informal untuk membaca masyarakat di lingkungan dan waktu tertentu. Hingga, bagaimana hubungan reaksi antara coretan dinding dengan figur-figur khusus di masyarakat. Apakah bocah dan seorang satpam dapat sama-sama membaca jerit di tembok orang?

*Foto tidak termasuk, bukan untuk melindungi pewarta, tetapi karena terhapus di drive penulis.

[1] Jakarta Biennale menggelar pameran seni bertajuk ‘Bebas Tapi Sopan’ pada 26 Oktober — 16 November 2015, yang di dalamnya termasuk kegiatan corat-coret partisipasif dengan media dinding partisi bersama pengunjung.

--

--

Disposable Objects
Disposable Objects

Merekam fenomena seputar desain, arsitektur, dan sejarah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari