Cara Mengunyah 20 Buku dalam Setahun

Revolusi isi otak dan kebiasaan burukmu dengan membaca banyak buku berkualitas. But, how?

Andrew Wang
Dove & Fire Collaborative
5 min readFeb 4, 2019

--

Photo by Kinga Cichewicz on Unsplash

Jujur aja, kita lebih cepat untuk klik “3 min. read” daripada “6 min. read”, apalagi “10 min. read”.

Unbelieavable.”

Terkejut saya terheran-heran ketika pertanyaan iseng saya dijawab dengan serius tetapi enteng.

“So, how many books have you read in 2018?”

“37 books,” ujar teman dari Kanada ini.

Pada akhir 2018 saya menghitung jumlah buku yang saya selesaikan — hanya tujuh buku. I guess there’s something wrong with my reading appetite. Lebih dari itu, motivasi saya dalam membaca buku terlalu dangkal.

Membaca buku membutuhkan lebih dari sepuluh menit. Terkadang saya menghabiskan 30 menit untuk sebuah bab, dikali 10 bab (rata-rata jumlah bab dari buku-buku yang saya baca), menjadi total butuh 300 menit untuk sebuah buku. Boom.

Budaya Instan, Toxic

Dalam salah satu dari sekian banyak perenungan saya, kita (generasi Z) doyan hal-hal instan. Mie instan, tinggi instan, Insta-gram, Tuhan yang instan (praktis dan bisa diajak transaksi!), pacar instan, dan lain sebagainya yang serba cepat. Gratifikasi instan adalah istilah di kepala saya untuk tindakan mendapatkan sesuatu yang saya harapkan (sensasi kepuasan) dengan segera.

Pandangan serbainstan ini membuat kita bekerja dengan cepat dan mampu menghasilkan hasil yang mumpuni dalam waktu sesingkat-singkatnya. Namun, pandangan serbainstan ini tidak selalu lahir dari perspektif yang, ehem, tidak selalu benar.

Mulut dapat berkilah, intonasimu bisa naik seakan kualitas argumen bertambah, dan lain sebagainya menyangkal hal ini — tetapi bagi saya, hasrat saya tidak bisa bohong. Hasrat kamu juga tidak bisa bohong. Tanyalah “kenapa” kepada dirimu sendiri sebelum melakukan sesuatu.

Photo by Toby Stodart on Unsplash

Kaleng-Kaleng Klontang

Mungkin kamu akan menemukan sesuatu yang saya temukan: saya melakukan berbagai hal dengan cepat karena saya suka hal yang instan. Saya tidak suka pengorbanan, apalagi berkorban dalam durasi tertentu. Oh, sungguh mahal sekali waktu saya. Semahal itukah? Tidak juga.

Saya punya waktu untuk menikmati konten-konten media sosial yang kebanyakan tidak konstruktif namun dapat memberikan gratifikasi instan. Selain itu, siapa sih yang tidak suka menikmati tulisan “xxxxxx loved your post?”

Budaya instan membuat kita menjadi kaleng-kaleng. Kita cenderung menjadi manusia yang tidak berani ambil risiko besar, menginginkan hasil yang cepat tanpa membayar harga yang sepadan, dan akhirnya kita menjadi manusia-manusia berkualitas tanggung — tidak matang dan tidak dewasa — yang saat diproses hanya dapat mengeluh.

Tidak ada yang salah dengan menjadi efektif dan efisien dalam membuat keputusan. Hal yang bodoh adalah berpikir bahwa segala sesuatunya harus 100% efektif dan jadi sempurna sekarang.

Kembali ke Buku

Budaya instan-instan membuat kita tidak menikmati proses. Kita mungkin suka membaca kata pengantar dan daftar isi. Namun, untuk menyelesaikan suatu buku dalam satu atau dua minggu? Hmmmm…. saya pikir nanti saja deh. Kumaha engke. Gimana nanti.

Kalau cara pikir kita selalu seperti ini, maka kita akan membeli 50 buku dan bisa-bisa tidak menyelesaikan satupun. Karena itu, mari kita ganti pola pikir instan menjadi pola pikir “benefit-oriented”.

Mengarahkan Fokus kepada Benefit, bukan Kesulitan

Tulislah jawaban dari pertanyaan berikut,

“Dalam setahun ke depan, dampak positif apa yang akan saya panen jika saya menuntaskan buku ini?”

Menuliskan hal ini dengan sengaja membuat kita sadar pentingnya membaca. Ada beberapa contoh jawaban untuk pertanyaan ini:

  1. Saya akan memiliki pemahaman konseptual yang kuat dalam bidang Data Mining (buku textbook Data Mining and Machine Learning in Astronomy),
  2. Kemampuan fotografi saya akan meningkat dengan 3 skill baru yang saya pelajari dari buku ini (buku tentang fotografi),
  3. Saya akan siap menerapkan metode ini dalam dunia kerja nantinya saat saya bekerja di perusahaan, bahkan berkontribusi dalam menyelesaikan tantangan yang besar. (buku SPRINT),

dan lain sebagainya. Setiap buku yang kita pegang memiliki harta terpendam yang siap untuk digali dan kita manfaatkan. Oh iya, durasi ‘setahun ke depan’ dapat kamu ganti dengan ‘lima tahun ke depan’ bahkan ‘dalam sisa hidup saya’. Semakin panjang waktunya, semakin besar daya tarik reward yang diberikan.

Break The Iceberg!

Saya sempat mengamati bagaimana es batu mencair. Ternyata, es batu lebih cepat mencair ketika ia telah dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.

Saya juga lebih mudah mengunyah es batu yang kecil dibandingkan bongkahan besar. Konsep ini dapat diterapkan dalam cara membaca buku.

Hitung jumlah waktu yang kamu butuhkan untuk mencerna suatu bagian (bab, subbab, dll) sampai paham. Lalu, luangkan waktumu dalam sehari untuk membaca porsi tersebut. Be disciplined.

Misal, saya perlu membaca sebuah subbab buku SPRINT selama 10 menit supaya paham. Kemudian, saya menetapkan akan membaca setidaknya dua subbab setiap hari. Maka, saya perlu meluangkan 20 menit setiap harinya untuk membaca ini. Sangat singkat dibandingkan jadwal kuliah yang padat.

Photo by Juha Lakaniemi on Unsplash

Sedikit demi sedikit, lama lama menjadi bukit. Pepatah ini ada benarnya. Apabila saya konsisten membaca buku ini dengan durasi tersebut selama lima belas hari saja, maka saya akan selesai dan memahami apa yang saya baca. Inilah yang disebut compounding effect. Efek Penumpukan.

Lanjut. Apabila saya dapat menghabiskan satu buku dalam dua minggu dan ada 52 minggu dalam satu tahun, maka saya dapat melahap setidaknya 26 buku dalam satu tahun, jika saya berdisiplin tinggi.

It’s Not That Hard

Membaca 20 buku setahun tidak sesusah itu, kok. Pastikan kamu punya tujuan yang jelas dalam membaca buku. Reward yang jelas menghasilkan tujuan yang jelas. Saya merekomendasikan biografi public figure, pengembangan diri, hubungan, dan teologi. Buku-buku ini cenderung menginspirasimu dalam jangka panjang, bahkan seumur hidup.

Tidak ada yang lebih bertanggung jawab terhadap pertumbuhanmu, selain dirimu sendiri. Mengapa pikiran kita begitu pendek? Mengapa wawasan kita sempit? Mengapa kita menghadapi konflik yang itu-itu lagi? Mengapa kita salah paham terus tentang Tuhan?

Saya tidak tahu jawaban tepatnya.

Namun, pengalaman saya menunjukkan bahwa saya terlalu sering membiarkan pikiran saya tidak mendapatkan makanan berkualitas. Bukannya mencari tahu jawaban dari akar masalah, saya malah lari ke bacaan, tontonan, dan konten-konten yang tidak membenahi perspektif saya.

Makanya, saya baca buku.

--

--