Dear Designer: Jangan Jadi “Yes Man”!

“Stakeholder request A, kerjakan! Engineer minta revisi B, hajar! PM minta riset C, gaskeun!” Ciyee yang jadi pixel pusher… *eh

Fahmy Habibullah
Dribbble Indonesia
5 min readJun 1, 2020

--

Photo by Icons8 Team on Unsplash

Ah jadi nostalgia di tahun 2017, dimana aku masih berkarir sebagai seorang freelancer. Dimana goalsku bekerja hanya 1. “Pokoknya bos atau klien seneng sama desainku!” Mindset ini terbentuk berlandaskan alasan yang sederhana, karena aku menganggap klienku sebagai raja. Seaneh apapun permintaannya, sejelek apapun kebijakannya, ketika klien suka maka segalanya akan aku lakukan. Karena mau bagaimanapun juga, yang memberikan kita gaji dan makan adalah klien tersebut, bukan? HAHA. Tapi aku masih belum sadar bahwa mindset ini sangat bahaya untuk karirku kedepannya.

Mari kita berlanjut ditahun berikutnya, dimana aku bekerja di salah satu startup yang fokusnya adalah suatu product. Jika tadinya aku menjadi seorang freelancer aku mengerjakan project/product yang bermacam-macam dengan banyak tipe bisnis. Tapi ketika aku bekerja di suatu startup, aku hanya mengerjakan 1 product dalam 1 core bisnis. Bahkan bisa dibilang aku tidak mengerjakan the whole journey/flow di product tersebut, tapi aku mengerjakan micro-feature yang ada di product itu. Ini sangat masuk akal, karena ketika kita fokus ke bagian terkecil & kita punya ownership maka kita akan lebih detail untuk memoles kualitas dari product kita.

Jika menjadi seorang freelancer aku hanya berkomunikasi dengan klienku. Tapi ketika aku bekerja di startup aku berkolaborasi dengan banyak orang. Product Manager, Software Engineer, Data Scientist, Product Operation, dll. Dan beberapa role tersebut yang menjadi pusat perhatian adalah Product Manager. Dimana semua request yang datang dari doi seorang. Dan aku menganggap bahwa PM ini adalah seorang stakeholder/bos yang harus ditaati permintaannya.

Lalu, pada suatu hari aku didatangi oleh lead designerku dan terjadilah percakapan…

Lead : “My ini kenapa final designnya seperti ini ya?”

Aku : “Oh, ini PM kita minta A, B, C. Yaudah aku kerjain”

Lead : “Woi, gak kaya gitu cara kerjanya! Kalo sekiranya ada yang aneh dengan requestnya PM ya lo bisa ngechallenge balik. Kerja di startup itu gak boleh asal kenceng dan product nya jadi. Tapi lo harus mikirin kualitasnya. Jangan samain dengan kerja freelance!”

Saat itulah aku seperti ditampar oleh kenyataan. Omelan leadku sampai sekarang masih terngiang-ngiang di benakku. Karena pada saat itu design ku sama sekali tidak toughtful dan bener-bener gak menjawab problem. Dan yang paling fatal lagi adalah aku menganggap PM ku sebagai stakeholder yang semua perkataannya benar dan harus dituruti.

PM bukan stakeholder/bos kita. Requirement yang diberikan juga masih belum sempurna. Sebaliknya justru kita harus bersinergi dan berkolaborasi sebagai tim untuk connecting the dots.

PM mikirin the whole product dan bisnisnya, Engineer mikirin implementasinya, kita Designer harus mikirin bagaimana product ini bisa dipake user dengan baik. Semua punya porsinya masing-masing.

Designer vs Product Manager

Memang secara garis besar tugas kita adalah mentranslate PRD (Product Requirement Documentation) yang telah disiapkan oleh PM menjadi solusi yang konkrit dalam bentuk desain. Tapi apakah hanya itu tanggung jawab kita sebagai Designer? Tentu saja tidak, kita juga harus memvalidasi PRD tersebut apakah sudah sempurna atau masih bisa di improve.

Photo by Slidebean on Unsplash

Bahkan secara ideal sebelum muncul requirement itu, kita harus brainstorming dengan PM tentang requirement tersebut. Masalah apa yang perlu di selesaikan? Solusi apa yang bisa menyelesaikan problem itu? Bagaimana tentang metrics dan KPI nya? Bagaimana tipe user yang memakai product kita nantinya? Apakah user tersebut perlu untuk di riset?

Memang tidak mudah untuk menemukan sweetspot antara bisnis, product & user itu sendiri. Kedengarannya cukup simpel tapi untuk mengimplementasikan framework ini butuh kerja keras antar kedua role ini.

Percayalah PM akan sangat mengapresiasi dan senang ketika kita bisa membantu nya untuk menyelesaikan pekerjannya. PM akan lebih suka ketika kita punya ide yang brilian yang akan diaplikasikan ke productnya dan selalu men-challenge balik ketika ada something yang tidak masuk akal ketimbang designer yang selalu manut dan selalu berkata “YES!” saat disuruh mengerjakan something.

Designer vs Engineer

Memang tidak ada habis nya ketika kita membahas 2 role yang satu ini, lol. Sumpah, udah cocok dipanggil tom & jerry, yang hobinya berantem mulu di meja kerja atau pas meeting. Memang terdengar cukup klise, tapi percayalah kunci untuk menyatukan 2 makhluk yang saling bertolak belakang ini adalah fokus ke visi dan tidak mengandalkan ego nya masing-masing.

Photo by Nesa by Makers on Unsplash

Engineer mempunyai ego ingin cepat menyelesaikan pekerjaannya dengan cost yang minim dan berfokus oleh performa. Tapi designer mempunyai idealisme agar desainnya bisa aestetik sekaligus bisa menjadi ujung tombak agar user bisa nyaman pake product kita. Tapi coba kita back to the basic dan memikirkan bagaimana caranya 2 hal ini bisa seimbang.

Bagaimana kalo engineer menjadi pendengar untuk tiap alasan designer mendesain sesuatu? Lalu untuk designer, coba involve engineer di setiap design processmu. Ajak dia untuk define problem, ideate solution dengan affinity diagram atau bahkan ajak mereka untuk riset dan bertemu user. Itu bisa bermanfaat agar mereka saling berempati.

Engineer bisa mengerti ketika desain yang dibuat designer ini demi untuk user untuk achieve their goals. Lalu designer juga bisa menganggukkan kepala ketika engineer meminta untuk menurunkan idealisme nya untuk mendesain sesuatu hanya berdasarkan asumsi dan keindahan semata. Ohh indahnya dunia ini ketika yin & yang tersebut bisa bersatu, HAHA.

Kesimpulan

Product Manager bukanlah seorang stakeholder, yang selalu dituruti oleh timnya dan semua perkataannya selalu benar.

Engineer bukanlah code implementator, yang hanya bertugas untuk menerjemahkan desain ke bentuk codebase yang nantinya bisa dipakai user.

Designer bukan seorang pixel pusher, yang sepanjang hari hanya berkutat dengan Figma dan tidak punya hak untuk melempar idenya.

3 role ini harus berkolaborasi untuk mencipatakan product yang ideal, dan menjembatani dari segi tech, bisnis dan user. Semuanya punya porsinya masing-masing untuk menyampaikan ide dan tidak selalu berkata “YES!” di setiap pekerjaannya.

“When you say yes to others, make sure that you are not saying no to yourself.” — Paulo Coelho.

--

--