Membangun Tim UX: Lead Harus Siap Menjadi Seorang Pelayan

Fahmy Habibullah
Dribbble Indonesia
Published in
6 min readMay 2, 2020
Photo by Alev Takil on Unsplash

Apa hal yang pertama kali terlintas dipikiran kita saat mendengar kata Lead? Seorang pemimpin? Bos? Manager? dan lain sebagainya. Mungkin bagi sebagian orang Lead adalah seorang yang bertanggung jawab, memberikan pekerjaan dan mengawasi pekerjaan seseorang dibawah kepemimpinannya sesuai standar tertentu. Lead juga bisa mengukur performa, melakukan hiring atau maaf, bahkan memecat orang yang mempunyai kualitas dibawah standar.

Tapi apakah hanya itu? Oke, opini orang pasti berbeda-beda. Namun seiring berjalannya waktu dan berkembangnya suatu perusahaan, definisi lead sendiri terjadi pergeseran makna dan bahkan dalam beberapa hal/sifat bisa saling kontradiktif. Terutama di tech-company yang bersifat agile atau di beberapa startup yang sedang digandrungi oleh kaum milenial.

The modern Lead is an enabler, not a controller.

Traditional Leaders vs Servant Leaders. Photo by servantleadership.ca

Lead yang baik bukan mereka yang bekerja seperti conductor di sebuah orchestra, bukan juga seperti bos yang punya wibawa dan harus dihormati semua karyawannya. Lead adalah anggota tim, sama seperti setiap anggota tim lainnya. Yang menjadi pembeda adalah, seorang lead mempunya misi khusus. Mereka membentuk ekosistem dan environment yang bagus dimana anggota timnya bisa berkembang.

Jika kamu seorang lead, bekerjalah dengan mindset seorang pelayan. Tim mu bukan bekerja untukmu, tapi kamu yang bekerja untuk mereka.

Bantulah mereka di setiap pekerjaan, temukan solusi untuk masalah mereka. Layani dan buat mereka nyaman dan senang menjadi bagian dari tim mu.

Sebagai seorang lead dan ujung tombak bagi tim, mereka harus menyeimbangkan antara 2 hal, yaitu antara tim internal dan external. Disamping mereka mengelola tim internal dan membuat infrastruktur agar cara kerjanya efektif, mereka juga bertanggung jawab memastikan kolaborasi antara tim eksternal atau divisi lain juga berjalan dengan baik. Dalam konteks ini misalkan lead tim UX. Mereka harus memastikan kerja sama antara designer dan divisi lain, bagaimana bekerja dengan engineer, data, business, product dan stakeholder.

Lalu apa yang harus dilakukan seorang lead untuk menanamkan mindset seorang pelayan?

1. Mulailah dengan membangun kepercayaan

Photo by Windows on Unsplash

Tidak seperti candi prambanan, kepercayaan tidak bisa dibangun dengan semalaman atau dalam waktu yang singkat. Dibutuhkan waktu dan effort untuk membuatnya terwujud. Kepercayaan juga tidak bisa dipaksakan, dan cara terbaik untuk mendapatkannya dengan mulai saling pengertian antar semua member di tim.

Designer harus percaya dengan expertise leadnya bahwa leadnya dapat membantu permasalahannya dan memberikan direction yg tepat untuk bisa memberikan impact pada tim. Begitu pula dengan Lead, dia juga harus percaya dengan output solusi dari designer bisa memberikan kesuksesan dalam segi bisnis dan user bisa menikmati product dari mereka.

Jangan terlalu memikirkan hal yang rumit ketika memulai membentuk sebuah trust. Mulailah dari hal yang simpel seperti makan siang, hangout bareng dan saling apresiasi atas semua pekerjaan yang telah diselesaikan. Dari situ kita pelan-pelan untuk membangun chemistry dan bounding antar sesama member.

2. Jangan pernah berkata “aku”, tapi “kita”

Photo by Anna Samoylova on Unsplash

Aku pernah bekerja di salah satu company yang mempunyai lead yang sangat memegang prinsip ini. Dan hasilnya benar-benar luar biasa. Kita semua as a team sangat merasa dihargai dan diapresiasi. Dia tidak pernah satu kata pun memakai kata “aku” di setiap pekerjaan yang dilakukan. Namun, dia selalu meng-highlight kata “kita”.

“Kita sudah melakukan hal yang hebat kemarin”

“Kita harus berusaha keras agar kejadian seperti ini tidak terulang”

“Tepuk tangan untuk kita semua karena pekerjaan kita quarter lalu memberikan impact yang signifikan bagi perusahaan”

Menurutku ini sangat masuk akal. Semua kesuksesan entah itu tim atau individual, tidak akan bisa terwujud ketika tidak ada kontribusi dari masing-masing member. Begitu pula dengan kesalahan, ketika ada salah satu member yang melakukan kesalahan itu bukah sepenuhnya salah dia. Tidak sewajarnya pula kita saling menyalahkan. Lead yang baik selalu siap sedia untuk pasang badan di depan ketika ada member yang melakukan kesalahan.

3. Buat sistem dan environment berdasarkan empati

Photo by Perry Grone on Unsplash

Lead pastinya sudah punya strategi dan vision mau dibawa kemana timnya ini. Tapi untuk mendapatkan win-win solution atau membentuk simbiosis mutualisme agar semua member juga ikut andil didalamnya, empati adalah jawabannya. Karena strategi itu tidak akan berhasil jika tidak di adaptasi dengan kondisi atau permasalahan yang sekarang masih terjadi.

“Apakah kita butuh design system?”

“Apakah kita harus menggunakan approach design thinking untuk proses kita?”

“Apakah kita harus involve engineer disaat fase ideation?”

Semua jawaban diatas bisa terjawab saat kita berusaha understanding dan berempati ke semua member. Dengan mendengarkan aspirasi dari masing-masing member, lead akan mendapatkan insight yang nantinya akan membantunya mendapatkan keputusan bagaimana next action nya. Insight ini bisa berupa kebutuhan, improvement atau bahkan pain points dari segi internal tim maupun eksternal.

Ada berbagai cara untuk mendapatkan insight, berikut adalah beberapa approach dan bagaimana cara melakukannya.

  • Setup 1-on-1 meeting dengan masing-masing member. Set 1-on-1 meeting setiap 2 minggu atau sebulan dengan tim kita. Goals dari meeting ini adalah kita menggali insight dengan berbicara berdua secara individual secara privat dengan tim kita. Topik yang dibicarakan bisa bervariasi mulai dari set expectation, goals jangka panjang, keluh kesah saat bekerja, bahkan saling memberi feedback satu sama lain.
  • Setup meeting atau sync dimana semua tim berkumpul di sesi itu. Agenda dari meeting ini bisa bermacam-macam. Saling kritik design/product yang sedang dikerjakan masing-masing member, sharing session bahkan mengadakan retrospective agar semua tim bisa berkaca apa saja yang terjadi di minggu atau bulan ini. Kita bisa memakai framework D.A.K.I (Drop, Add, Keep, Improve) untuk retrospective. Outputnya kita akan mendapatkan insight dari tim kita, apa yang perlu di buang, ditambahkan, dijaga dan ditingkatkan.

4. Bawa kebahagiaan di setiap prosesnya

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Last but not least, “Jangan lupa bahagia”. Terdengar begitu klise, tapi inilah kenyataanya. Karena bekerja menjadi seorang designer bukan berarti kita 8 jam duduk di kursi ergonomis menatap layar monitor kita. Sisipilah hal-hal yang menyenangkan dan receh di setiap exercise. Misalkan:

  • Sebelum kita melakukan retrospective meeting buka dengan sesi gambar random dan salah satu member harus menebak.
  • Ketika ideation bukalah dengan melempar ide gila yang sama sekali tidak bisa dinalar dengan logika.
  • Initiate games session atau team bounding tiap minggunya. Bisa kita isi dengan bermain board game, karaokean atau bahkan dinner bareng

Percayalah dengan menyisipkan kebahagiaan-kebahagiaan kecil tersebut, good vibes itu bakal terbentuk dengan sendirinya bahkan tim kita nanti akan lebih solid dan less burnout.

Menjadi seorang leader yang haha-hihi akan lebih worth-it daripada yang mempunyai wibawa tinggi.

Mengapa demikian? Karena menjadi orang yang full of happiness dan treat their team as a friend akan menghancurkan barrier dan bisa dikatakan tidak akan ada gap untuk saling berkomunikasi maupun berkolaborasi antara lead dan designer.

Kesimpulan

Menjadi seorang leader adalah bagaimana caranya kita melawan dan melepaskan ego kita sendiri. Membangun trust, saling apresiasi, berempati dan membawa kebahagiaan adalah beberapa cara untuk kita berproses menjadi lead yang baik.

Kamu sudah menjadi lead yang baik ketika berhasil menjadi seorang pelayan. Ketika kamu lebih memilih untuk fokus ke kebutuhan tim mu daripada kepentingan pribadimu. Dan ketika kamu sudah bisa mengubah statement “Ikuti perintahku!”, menjadi “Adakah yang perlu aku bantu?”

Let’s keep in touch

--

--