6 Suku Berkebudayaan Maritim di Indonesia — echolocation.id

Lisakhumaer
Echolocation Blog
Published in
9 min readDec 7, 2021
Kebudayaan Maritim Indonesia

Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarungi luas samudera, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa, begitulah kira-kira petikan lagu yang sering kita dengar ketika kanak-kanak. Apabila melihat sejarah budaya indonesia, lagu ini benar adanya. Indonesia dijuluki sebagai negara maritim dengan ribuan pulau yang terdiri dari pulau besar hingga kecil yang dipisahkan oleh laut, selat, teluk dan perairan lainnya. Hal ini menjadikan banyak penduduk Indonesia memiliki hubungan erat dengan aspek kemaritiman dalam kesehariannya.

Sejarah telah membuktikan nenek moyang kita sebagai seorang pelaut. Ditemukannya relief kapal layar pada Candi Borobudur, Candi Buddha terbesar di dunia. Lalu adanya catatan ekspedisi Kapal Borobudur, hingga Sultan Alaudin Al-Mukamil dari Kesultanan Aceh memiliki armada kapal perang hingga 100 kapal. Ini membuktikan indonesia sudah menjadi negara maritim sejah dahulu.

Kemampuan yang dimiliki oleh nenek moyang kita memang luar biasa dan diturunkan kepada putra putrinya hingga sekarang. Seperti contoh Kapal Pinisi, yang sudah sejak abad ke 14M merupakan kebanggaan putra-putri Sulawesi Selatan dan bangsa Indonesia. Kapal tersebut hanya dibuat dengan tangan, menggunakan material kayu, hanya memakai paku kayu bukan paku besi dan tanpa adanya contoh atau catatan apapun ( blue print). Kemampuan ini pun masih banyak ditemukan pada Suku Bugis yang tinggal di Kabupaten Bulukumbang, sekitar 150 Km dari Makassar.

Kepiawaian nenek moyang Indonesia dalam menjelajahi Samudera bahkan diacungi jempol oleh negara-negara barat. Kompas dan peta berbahasa Jawa menjadi saksi bisu perjalanan nenek moyang kita dalam mengarungi lautan.

Istilah Budaya Maritim

Istilah budaya maritim dapat dipahami sebagai sistem gagasan, perilaku dan tindakan, dan sarana dan prasarana tisik yang digunakan oleh masyarakat bahari untuk mengelola sumberdaya alam dan merekayasa jasa-jasa lingkungan laut bagi kehidupan mereka. Dengan demikian, budaya bahari mengandung unsur-unsur berupa sistem pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma, aturan, simbol komunikatif, kelembagaan, teknologi, dan seni yang berkaitan dengan laut.

Laut merupakan media pemersatu karena melalui laut orang dari berbagai bangsa melakukan interaksi dengan berbagai macam aktivitas. Melalui laut orang dari berbagai bangsa menjalankan aktivitas perekonomian melalui “jasa” pelayaran antar benua atau antar pulau. Sejak awal tarikh Masehi, laut Nusantara telah diramaikan oleh kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia. Melalui sarana transportasi air itu, komoditi perdagangan dibawa dari satu tempat ke tempat lain untuk diperdagangkan.

Suku yang Erat Menjunjung Budaya Maritim

Lingkungan pertemuan antara Selat Makassar, Laut Jawa, dan Laut Flores merupakan salah satu pusat kebudayaan maritim Indonesia. Alimuddin (2013) menyebut wilayah ini sebagai Segitiga Emas Nusantara. Tidak berlebihan kiranya apabila wilayah ini disetarakan dengan emas. Enam suku yang memiliki kebudayaan berorientasi laut banyak beraktifitas di wilayah ini, yaitu: Bajo, Bugis, Buton, Madura, Mandar, dan Makassar (Alimuddin, 2013). Lebih lanjut lagi, Segitiga Emas Nusantara memang layak disebut sebagai pusat kebudayaan maritim karena adanya empat hal seperti berikut:

  1. Terjadinya akulturasi budaya antara keenam suku yang berorientasi maritim. Pertemuan ini tidak dapat dijumpai di wilayah lain Indonesia. Akulturasi budaya ini dapat dijumpai dalam hal pembuatan perahu, peralatan menangkap ikan, terminologi kebaharian, dan
    perdagangan.
  2. Jalur paling ramai dalam kegiatan kemaritiman Indonesia dari dahulu hingga saat ini adalah wilayah Segitiga Emas Nusantara.
  3. Wilayah ini merupakan pertemuan antara laut dalam (Laut Flores dan Selat Makassar) dengan laut dangkal (Laut Jawa). Hal ini tentunya menjadikan adanya keunikan dan kebergaman dalam beradaptasi terhadap lingkungan tersebut.
  4. Garis imajiner Wallace dan Webber berada di segitiga ini. Hal ini menyebabkan keragaman flora dan fauna khusunya bahari.
maritim
Lokasi segitiga emas Nusantara

Yuk mari kita bahas tentang suku-suku tersebut!

Suku Bajo

Masyarakat Bajo dikenal sebagai “manusia perahu”. Hidup tidak menetap di suatu wilayah. Populasinya diperkirakan mencapai lebih dari delapan juta jiwa, tersebar di wilayah Indonesia, Malaysia, Thailand, maupun Filipina. Jumlah suku Bajo di Indonesia merupakan yang terbanyak, sekitar tujuh juta jiwa. Menyebar, di sekitar Sulawesi, Lombok, Nusa Tenggara, Maluku, Muna, dan beberapa pulau terluar lainnya. Sebaran paling banyak, di sekitar Pulau Muna.

Kehidupan Suku Bajo

Nenek moyang Bajo menanamkan beberapa larangan atau pamali sebagai filosofi untuk menghormati alam. Bukan hanya tidak membuang sampah, suku ini pun tak akan meludah ke laut. Mereka tidak mengeluarkan kata-kata kotor atau umpatan saat melaut. Satu lagi, suku yang dikenal nomaden ini tidak menangkap ikan berukuran kecil. Menyelam dan menjala juga ada waktunya, menyesuaikan irama kehidupan berbagai jenis ikan dan terumbu karang.

Tradisi turun temurun yang hingga kini melekat pada suku Bajo itu perlu disebarluaskan. Tidak hanya di Indonesia, namun juga kepada dunia. Ini penting agar budaya menjaga keseimbangan alam untuk masa depan itu, dapat dicontoh dan diterapkan di berbagai belahan bumi. Sejak dahulu suku Bajo sudah mengerti bagaimana memelihara laut. Sebenarnya, yang mereka lakukan, seperti tidak menangkap ikan ukuran kecil dan hanya menjala pada waktu tertentu, itu adalah wujud prinsip food security. Artinya, sudah memperhitungkan mengenai keberlanjutan sumber daya ikan.

Suku Bugis

Orang-orang Bugis dikenal dekat dengan laut serta telah lama melakukan tradisi berlayar secara turun-temurun. Hal ini terbukti dengan adanya kisah yang sangat lama mengenai kewajiban orang Bugis dalam melakukan tradisi sompeq dan passompeq.

Sompeq memiliki arti ‘merantau’, sedangkan passompeq diartikan sebagai ‘pelaut’. Oleh sebab itu, banyak orang-orang Bugis yang melakukan pelayaran untuk merantau dan menjelajahi negeri orang atau tempat lain. Hingga hari ini, terdapat perkampungan Bugis di beberapa negara. Hal ini juga seturut dengan pertukaran rempah Nusantara ke berbagai negara. Rempah menjadi salah satu bahan yang dibawa dalam pelayaran masyarakat Bugis untuk meramu minuman maupun meracik obat ketika sakit.

Pelayaran suku Bugis di laut Sulawesi telah lama dilakukan sebagai sebuah rutinitas, terutama keberadaan masyarakat Bugis yang dekat dengan masyarakat Mandar. Keduanya telah lama berlayar dengan perahu-perahu tradisional, seperti Padewakkang dan Palari.

maritim
Kapal Padewakang

Kekuatan pelayaran masyarakat Bugis dan Mandar juga didukung oleh pengetahuan navigasi mereka yang telah diwariskan secara turun-temurun, dari genereasi ke generasi. Pengetahuan perbintangan masyarakat Bugis untuk melihat arah dan angin dalam berlayar juga menjadi menjadi modal besar mereka dalam melakukan perantauan lewat jalur laut.

Suku Buton

Orang Buton adalah salah satu suku bangsa maritim Indonesia yang masih melestarikan nilai-nilai dan kearifan lokal mereka dalam kehidupan maritimnya. Kelangsungan tradisi ini telah berjalan pada berbagai zaman dan generasi. Tradisi pelayaran orang buton disebut juga tradisi Sabangka Asarope.

Keberanian mengarungi laut ini, telah dilakukan sejak ribuan tahun silam sebelum kedatangan bangsa eropa hingga saat ini. Tradisi ini menjadi citra orang Buton di mata dunia. Sebab itu, tak berlebihan jika orang Buton bersama suku bangsa lainya dibagian timur Indonesia (Bugis, Makassar dan Mandar) digolongkan sebagai suku bangsa pewaris tradisi Austronesia (Melayu-Ploneysia). Orang Buton tidak hanya bisa berlayar dan berdagang, tetapi mereka juga pandai membuat perahu (Bangka), mencari teman dalam berlayar (Sabangka), dan membentuk jaringan dagang di setiap daerah yang didatangi.

Pengenalan terhadap ruang kultural menjadi prestise sosial bagi orang Buton dalam berlayar. Sekali menancapkan layar untuk satu tujuan berlayar (Asarope), maka mereka pantang kembali ke kampung, sebelum membawa hasil dan berhasil dalam pelayaran itu. Semangat hidup di laut dengan Sabagka Asarope menjadi salah satu nilai yang harus dipegang oleh para pelayar-pedagang Buton.

Bagi mereka, laut dan perahu merupakan representasi kehidupan , seperti halnya di darat. Bagi orang Buton, perahu (Bangka/wangka) memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupannya. Bahkan, karena pentingnya, istilah perahu pun digunakan sebagai sapaan pada kehidupan di darat, untuk menyebut kawan/teman/sahabat, yakni sabangka.

Jenis Perahu yang sering digunakan:

1. Boti dengan berbagai ukuran yakni ukuran kecil (bertiang satu) yang biasanya digunakan Orang Buton untuk pelayaran antar pulau di sekitar Provinsi Sulawesi Tenggara, berukuran sedang (bertiang dua), digunakan untuk pelayaran antar pulau di nusantara bahkan ke luar negeri

2. Sope-sope adalah perahu yang ukurannya lebih kecil dari boti, bertiang satu, layarnya berbentuk jajaran genjang atau segetiga. Jenis perahu ini umumnya digunakan untuk pelayaran antar pulau di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara.

3. Jarangka adalah perahu yang lebih kecil dari sope-sope, mempunyai sayap pada kedua sisinya agar tidak mudah terbalik. Jenis perahu ini umumnya digunakan dalam aktivitas penangkapan ikan dengan jala dan pukat,

4. Koli-koli adalah perahu terkecil (sampan) biasanya digunakan untuk memancing ikan, selain itu juga digunakan untuk sekoci pada jenis perahu boti.

Sketsa perahu Suku Buton

Nilai-nilai maritim sabangka asarope ditujukan pada berbagai aktivitas yaitu :

1. kegiatan sebelum melakukan pelayaran. Kegiatan yang mendahalui dalam hal ini proses pembuatan perahu di darat.

2. kegiatan pada saat pelayaran. Kemudian, kegiatan pada saat pelayaran, dalam hal ini bagaimana nilai-nilai tersebut diterapkan pada setiap kata dan perbuatan para pelayar di atas perahu.

3. Akhir dari kegiatan pelayaran. Terakhir, bagaimana aplikasi nilai-nilai itu dalam pembagian hasil, baik keuntungan maupun kerugian. Ketiga domain kehidupan tersebut disorot dalam kerangka nilai budaya maritim sabangka-asarope.

Suku Madura

Karakteristik orang Madura yang dibentuk oleh kondisi geografis dan topografis Pulau Madura pada dasarnya lekat dengan budaya masyarakat hidraulis (air). Dan akibat kondisi lahan yang tandus, orang Madura lebih banyak menggantungkan hidup pada laut sehingga mereka pun berpola kehidupan bahari yang penuh tantangan. Inilah yang kemudian melahirkan perilaku sosial yang bercirikan keberanian tinggi, menjunjung tinggi martabat dan harga diri, berjiwa keras, dan ulet dalam hidup.

Salah satu budaya maritim di suku madura yang terkenal yaitu adanya Tradisi Rokat Tase. Rokat tase sudah menjadi tradisi masyarakat pesisir Madura sejak beratus-ratus tahun lalu, sebagai ungkapan mereka berterumakasih dan bersyukur kepada Tuhan atas kelimpahan ikan di laut. Rokat tase biasanya dilakukan setiap bulan enam atau tujuh, karena sebagai bulan-bulan ikan yang melimpah.

Tradisi Rokat Tase atau Petik Laut yang Dilakukan oleh Masyarakat Nelayan Madura

Suku Mandar

Christian Pelras dalam buku The Bugis (1996) mengatakan bahwa pelaut ulung yang sebenarnya adalah suku Mandar (Alimuddin, 2013). Pendapat tersebut seakan memiliki kontradiksi jika melihat bahwa masyarakat Mandar tidak memiliki armada perang hebat, benteng besar kokoh, bukan juga pedagang yang handal. Keulungan yang dimaksud Pelras diatas adalah keulungan bahari suku Mandar dalam beradaptasi terhadap lingkungan sekitarnya. Adaptasi tersebut mampu menghasilkan teknologi perikanan yang diadaptasi masyarakat bahari lain, yaitu rumpon, Perahu Sandeq, dan menangkap ikan sambil menghanyut di tengah laut.

Konstruksi perahu sandeq
  • Festival Sandeq Race : Festival Sandeq Race merupakan acara perlombaan tahunan yang digagas oleh ilmuwan budaya maritim bernama Horst. Perlombaan tahunan ini sejatinya menjadi penyelamat kepunahan Perahu Sandeq yang mulai digantikan perahu bermesin. Selain itu, kegiatan ini juga mampu mengangkat pamor pariwisata Sulawesi karena masuk dalam kalender pariwisata internasional.
  • Rumpon : Rumpon merupakan alat bantu penangkapan ikan yang merupakan mahakarya Suku Mandar selain Perahu Sandeq. Pujian tersebut tidak berlebihan mengingat penggunaan rumpon saat ini yang telah mendunia. Rumpon pada dasarnya merupakan alat bantu penangkapan ikan dengan cara kerja memikat ikan yang berada disekitarnya, sehingga ikan mudah ditangkap.
Konstruksi rumpon

Suku Makassar

Makassar merupakan salah satu kota Maritim di pesisir selatan Pulau Sulawesi yang berperan penting dalam sejarah pelayaran dan perdagangan di Kepulauan Nusantara. Dalam sejarah maritim, Makassar menjadi titik temu antara jalur niaga di belahan Timur yaitu Maluku, Papua; Barat yaitu Kalimantan, Malaka, Jawa serta daratan Asia, Eropa dan Australia. Dahulu Makassar dikenal memiliki armada maritim yang kuat dengan pelabuhan yang menjadi tempat bersandar kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia.

Sejak awal pertumbuhannya di abad ke-15, Makassar telah menunjukkan peran sebagai kota pelabuhan dalam perdagangan dunia.Orang-orang Makassar dikenal sebagai pelaut handal yang dihormati di dunia karena kehebatannya. Mereka dijuluki sebagai “Celebes De Makassares” yang berarti orang-orang “Makassar yang ulung dan mahsyur”. Jejak kemahsyuran pelaut Makassar dapat ditemukan pada hukum laut internasional yang mengadopsi Hukum Amanagappa dimana berisi 21 pasal dengan beberapa bagiannya sangat rinci menjelaskan mengenai ketentuan dalam pelayaran.

Pelabuhan Makassar

Nahh, setelah membaca tentang beberapa suku dengan kebudyaan maritim tidak heran kalau suku-suku tersebut dijuluki demikian ya Echoners! Kebudayaan tersebut tentu saja harus dilestarikan agar nilai-nilai maritim tersebut tidak berkurang di mata masyarakat Indonesia.

Baca juga : Hari Maritim Nasional : Kembalikan Kejayaan Maritim Indonesia

Originally published at https://echolocation.id on December 7, 2021.

--

--