Balada Menjelang Usia 25

tentang langkah selanjutnya

Andi K. Herlan
efekrumahbaca
4 min readFeb 6, 2019

--

Memperkirakan berat badan akhir-akhir ini sering kulakukan. Hanya dengan cara menakar daging pipi saja aku sudah merasa bisa menyimpulkan. Gemukan atau belum. Aku tidak pernah mau timbang berat badan supaya ketika ditanya aku tidak tahu jawabannya. Jadi, aku tetap menjawab jujur. Suatu kecurangan.

Aku berharap bisa diwisuda lagi tahun ini. Tidak perlu dengan predikat cumlaude. Itu terlalu mengada-ada. Aku hanya tidak ingin kelihatan kurang gizi saja ketika difoto. Kesederhanaan yang susah. Maka kubuat program penggemukkan diri itu. Asupan nutrisi rutin dan teratur menjadi suatu keharusan. Tidak usah pakai pakan merek premium. Bagaimapun, aku tetap harus berhemat.

Sepertinya, aku sudah ada pada level emak-emak. Bedanya, aku masih belum menghitung segalanya secara rinci. Merasa sudah cukup dengan mengambil alternatif termurah dari segala lini belanja kebutuhan hidup. Promo ojek online 4.000 sudah pernah kuabaikan untuk bisa menikmati waktu (atau menyita waktu sebenarnya) di dalam angkot seharga 3.000 yang sedang ngetem. Lama.

Pikiran emak-emak — dan wanita manapun itu—kadang-kadang memang rumit, bukan? Hhmm…

Aku menyesal pada awalnya. Tapi kemudian, untuk apa? Toh, setelahnya aku bisa menggunakan uang sisa 1.000 itu untuk nombok beli susu beruang kalengan. Belinya di warung Si Aa yang harganya lebih mahal. Tidak mau mampir ke, ehm, Alfamart. Ya, di sana memang lebih murah. Begitulah caraku menghindar dari hasrat belanja yang suka tiba-tiba muncul ketika kamu berada di dalam swalayan. Juga bisa menghindar dari tawaran promo oleh mbak-mbak kasir yang dandan cantik itu. Korban 1.000 demi irit yang lebih banyak.

Jika kau berpikir aku terlalu pelit, tolong jangan dulu. Aku punya niat menabung. Aku ingin membeli rumah yang ada tangganya. Atau… mari kita sederhanakan. Kau tahu? Rumah tangga? Ya! Istri. Oh, tidak! Aku sedang bergumam sendirian. Jadi teringat temanku yang segera akan menikah. Katanya.

Jadi malu. Udah, ah!

Tapi, bohong… Ini cerita rincinya:

Terjebak dalam kegalauan yang ternyata kupilih sendiri

Waduuh… Galau! (foto @Matthew_T_Rader/Unsplash)

Sisa-sisa jatah quarter life crisis-ku mungkin sudah mulai pudar sejak beberapa bulan lalu. Buktinya, aku sudah mulai bisa mendeklarasikan apa-apa yang sedang kuharapkan setiap kali bermunajat. Aku juga sudah berani mengambil keputusan-keputusan yang sedikit lebih berani. Berkaitan dengan “desain masa depan”, meskipun harus nyerempet ke arah yang melanggar “aturan umum” (red — aturan ini berlaku hanya untuk satu komunitas belajar tertentu).

Itu semua demi melancarkan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabku di luar komunitas, sekaligus memperoleh hak-hakku dalam hidup ini. Bagi teman-temanku yang mengerti dan pro tentang “aturan umum” tentu akan menganggap aku hanya mencari pembenaran. Tapi, kukira hampir semua anggota komunitas kami adalah pihak yang kontra. Logikaku menuju ke arah pemahaman bahwa ada yang salah dengan “aturan umum” itu. Apakah itu dari segi pelaksanaan? Tidak pernah evaluasi? Atau entahlah. Terserah saja. Apapun itu — what ever.

Tapi aku masih percaya bahwa semua aturan yang pernah dibuat memang demi kebaikan bersama. Tapi tolonglah, aku berharap mereka belajar menangkap apa yang menjadi aspirasi kami dan menanggapinya. Membicarakan “aturan umum” di sini pada akhirnya tidak akan berdampak apapun sebenarnya. Itu masalah internal. Maka aku akan kembali ke arus utama lagi: apa yang terjadi pasca masa-masa quarter life crisis?

Jadi, ada apa sebenarnya dengan usia 25?

Ayo, batasi sampai 25! Saatnya kamu mulai berpikir selow. (foto Joshua Hoehne/Unsplash)

Sejujurnya aku tidak pernah benar-benar belajar secara teoretis bagaimana quarter life crisis bekerja, atau apa sebenarnya itu. Aku hanya mengenalnya melalui berbagai bacaan di mana-mana. Intinya, aku mengenal istilah ini sebagai momen mengenang kembali masa-masa SD, di mana kita mencari jawaban atas pertanyaan: cita-cita kamu mau jadi apa? Tetapi sudah dengan pola pikir yang berbeda.

Di usia mendekati 25 ini, aku berkaca pada teman-teman sejawat. Mereka mulai mempersiapkan diri untuk hidup yang baru. Di segala lini kehidupan, baik mengenai karir, pendapatan, asmara atau jodoh, hubungan dengan orangtua, dan lain-lain. Terdengar seperti konten ramalan bintang atau shio, ya? Begitu pula denganku, tanpa disadari, ternyata aku melakukan hal yang sama. Aku sudah berani mengambil langkah besar dalam hidup, secara mandiri, dengan penuh keyakinan. Semua terjadi setelah aku melalui hari-hari panjang penuh kegalauan yang disebut quarter life crisis.

Meskipun dari budaya keluargaku sejak kecil dibiasakan melibatkan anak turut serta dalam proses mengambil keputusan, tapi momen ini kurasa sedikit berbeda. Aku merasa memegang kendali penuh atas hidupku — bukan sedang membicarakan kodrat Tuhan, itu beda, aku meyakini semua ada di tangan-Nya. Lika-liku yang kujalani sampai pada titik ini adalah berkat skenario-Nya. Kali ini rasanya orangtuaku benar-benar sudah tega melepasku sendirian.

Kamu udah gede, pasti bisa. Sekarang ngurus adek dulu. (oleh Katherine Chase/Unsplash)

Jadi, sudah kuputuskan. Akan kucari seorang teman hidup. Eaa… Nyambung, gan!

Ini tulisan apa, sih!? Sudahlah. Yang terdekat buatku saat ini adalah, ayo lulus dulu! Biar nikahnya fokus. Wkwkwk…

Feature photo by Anubhav Saxena/Unsplash

--

--