Cara Kerja Media Sosial

Andi K. Herlan
efekrumahbaca
Published in
4 min readAug 21, 2018

Pagi ini saya beroleh kabar dari seorang teman— saya pernah bercerita di sini tentangnya —bahwa mama dari salah satu teman kami telah meninggal dunia. Sebenarnya bukan sesuatu yang terlalu mengejutkan, mengingat tahun-tahun terakhir beliau lalui dengan keadaan sulit. Kondisi kesehatan beliau memang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Saya sebut saja namanya, supaya saya jadi mudah menuliskan cerita ini. Teman saya ini biasa dipanggil Mouren. Dia merupakan seorang individu yang ekstraver — menurut saya. Bukan suatu hal yang berlebihan kalau Mouren kami (saya dan geng main) golongkan ia sebagai salah satu bintang di sekolah kami dulu. Serius ini, cuy! Seorang “anak basket” yang jadi anggota OSIS. Kalian yang pernah melalui masa remaja awal di sekolah tentu tahu bagaimana pandangan siswa lain terhadap para pengurus OSIS di sekolah. Meskipun begitu, saya anggap dia datang dari latar belakang keluarga yang sama dengan kami. Bolehlah saya katakan begitu, karena kami masih berada di satu lapisan dalam strata sosial. Tentu bukan bermaksud membanding-bandingkan dengan yang lain. Tapi ini menjadi perlu untuk diketahui manakala kalian ingin baca cerita ini sampai selesai. Kami adalah orang-orang dari keluarga yang masuk dalam kategori cukup untuk bisa bertahan hidup, biasa-biasa, tidak terlalu punya hal lebih. Semoga kalian paham.

Di bulan-bulan terakhir ini saya mengetahui teman-teman saya beberapa kali ke rumah sakit untuk ikut menemani mamanya Mouren. Informasi ini saya dapat langsung dari status Whatsappnya yang bernada tulus untuk mengucapkan terima kasih pada mereka. Juga dari status Whatsapp —atau story Instagram (?), entahlah—teman lain dengan tema candaan khas mereka, bukan dalam rangka pamer perhatian. Tidak secara eksplisit sharing berita, tapi justru sharing hal lucu di sela-sela kegiatan mereka. Seingat saya begitu. Semoga saya tidak salah ingat, karena ini sudah agak lama. Meskipun begitu, dari sana saya tetap bisa menangkap latar belakang kejadian itu ada di rumah sakit. Betapa baiknya teman-teman saya itu. Serius. Baik sekali.

Kemudian, setelah update-an status atau story (?) seorang teman lain again tentang ucapan terima kasihnya pada Mouren, saya jadi berpikir tentang hal-hal baik yang mengharukan. Jika ternyata bukan untuk kalian, setidaknya itu mengharukan untuk saya dan teman saya si updater story itu. Saya tidak pernah tahu pasti apa yang terjadi pada mereka (teman-teman saya). Saya sangat jarang bertanya pada mereka. Saya hanya senang menikmati efek-efek informasi yang beterbangan dan membiarkan diri ini berasumsi tentang berbagai macam kemungkinan kisah menurut versi saya sendiri.

Malam harinya, sebelum mamanya meninggal, teman sekelas saya yang lain lagi — sudah berapa teman saya sebutkan sebagai anonim? — bertanya pada saya tentang kondisi mama Mouren dan mengirimi saya foto story-nya karena saya sudah tidak pernah main Instagram lagi.

Story-nya Mouren, dari screen capter teman saya. Terlihat seperti pesan yang amat penting untuk disampaikan, firasat saya malam itu.

Saya jadi membayangkan betapa sulit bagi Mouren untuk sekadar memikirkan masa depannya sendiri, karena sudah ikut disibukkan dengan kesehatan mamanya selama berbulan-bulan serta adiknya yang masih bertumbuh-kembang. Betapapun berat hari-harinya ia tetap sempatkan diri ikut kumpul bersama teman-temannya disela kesibukan seolah-olah tidak terjadi masalah yang serius di hidupnya. Dan memang itu perlu. Tampak darinya kesan “ringan”. Kalau boleh saya tebak, ini bisa terjadi karena ia tidak memandang semua yang terjadi di hidupnya sebagai beban. Mouren tidak berubah. Masih seperti saat sekolah dulu, supel dan agak nyablak. Maaf. Tapi setiap orang terus berkembang, bukan? Mouren juga terus berkembang. Ia seperti menjadi pribadi lain yang tetap sama seperti dulu. Meski saya bukan termasuk teman yang pandai menunjukkan perhatian, tapi saya ikut simpati padanya. Dan saya menyesal sebab tidak bisa melayat hari ini.

Dulu, saya (padanya) merasa biasa saja karena tidak begitu akrab walau satu kelas. Mouren berkuliah di dekat tempat kuliah saya dan selama itu (lebih kurang empat tahun) kami tidak pernah bertemu. Ketika tempo hari kami reuni satu kelas, hal pertama yang diucapkannya adalah: “Woy, orang Depok! Empat taun kagak pernah ketemu!” — sambil tertawa. Dan kini, ia sedang bersedih, sedangkan saya tidak bisa apa-apa.

Untuk Ibu Elin, mama Mouren: Allahummaghfirlaha, warhamha, wa ‘afiha, wa’fu ‘anha… Di dunia, jelas beliau bahagia memiliki anak sepertinya, yang sering mengaku-aku sebagai anak dari Bapak Acep dan Ibu Elin dengan bangga pada teman-temannya. Dia menulis “this number (is) used (by) Acep’s daughter” sebagai bio di Whatsapp. Saya harap, kalian para pembaca ikut mendoakan mama teman saya ini.

Meminjam lirik lagu yang pernah saya dengar:

“Jangan salahkan siapa-siapa atas segala yang engkau rasa, coba tenang sejenak, lepaskan pikiran, Tuhan itu ada.” — Kanda

Hari ini, saya tidak ingin terlalu mereka-reka bahasa tulisan. Tidak ada lebay hari ini.

Sekian.

P.S. Mo, maaf kalau gue salah nama hehe… Lu gak baca ini, kan?

Featured image by Alex Blăjan

--

--