Nostalgia Tapi Tidak Ingin Cepat Berlalu

Andi K. Herlan
efekrumahbaca
Published in
3 min readMar 22, 2021

Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari serial Nostalgia. Kamu bisa membacanya secara terpisah. Tapi jika kamu ingin lengkapi, bagian kedua mungkin masih bisa ditawar. Bagian kedua:

Permainan 3D Pinball Space Cadet terakhir kali ada di Windows XP. Saya masih SMP saat kejayaan sistem operasi ini berlangsung dan sudah punya satu unit di rumah. Tapi saya hampir tidak pernah main itu di rumah. Arcade game ini dulu biasanya saya mainkan di sekolah saat pelajaran komputer. Dulu rasanya tidak pernah semenarik sekarang.

Memang tiap-tiap hal yang nostalgic itu punya daya pikat tersendiri. Orang-orang juga banyak yang menggemari barang-barang zadul. Terpikat lagi pada mantan? Nggak sih kayanya. Cari aman yaa…

Nilai tertinggi saya dalam permainan 3D Pinball Space Cadet hari ini sudah naik. Saya memainkannya dari komputer Linux lewat Wine, lapis sistem untuk dukungan aplikasi Windows agar bisa berfungsi baik di sistem Unix-like.

Ayah saya membelikan satu unit komputer dengan sistem operasi Windows XP dan teknologi pemrosesan teranyar kala itu, yakni Pentium 4. Saya bisa bangga terhadapnya karena labkom di sekolah SMP kami baru memiliki komputer yang mayoritas otaknya sampai Pentium 2 atau Pentium 3.

Saya baru mengetahui itu setelah punya kesempatan melihat isi bongkaran piranti keras dari dalamannya. Pembimbing kami yang menjelaskan perbedaan antar generasi pemrosesan inti dari komputer-komputer itu. Saat itu saya sudah ikut eskul informatika. Komputer tua dan komputer yang mulai sering mengalami gangguan bisa kami jadikan bahan belajar.

Kami juga memaksa komputer-komputer itu melakukan ‘kanibalisme’ antar mereka agar salah satunya ada yang bisa bertahan hidup. Jadi, makin banyak siswa yang kebagian jatah komputer saat pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) berlangsung.

Kegiatan ini selalu membuat saya penasaran dan tertantang, selain juga punya efek samping yang sensasinya tidak kalah menyenangkan sekaligus menegangkan. Saya jadi bisa dengan leluasa main games sendirian, karena dapat jatah satu komputer sendiri saat pelajaran komputer berlangsung, dengan masih punya perasaan khawatir ketahuan guru.

Akhirnya saya jadi benar-benar suka bidang ini. Saya selalu menganggap semuanya sebagai permainan karena mendukung kesenangan saya, meskipun saya selalu merasa kesulitan di tiap tahap. Kadang — atau sering, entahlah — melanggar aturan sekolah juga saya lakukan. Maksud saya bandel, bukan kejahatan seperti narkoba (narik — k*lor — b*pak)!

Seiring waktu, sekolah mulai melakukan upgrade pada fasilitas mereka dengan dana yang sudah terkumpul, mungkin. Sampai-sampai kemampuan komputer sekolah jadi melebihi kemampuan ‘komputer keluarga’ kami di rumah. Yang mulanya komputer ‘bagus’ makin hari jadi ketinggalan juga.

Lewat kejadian-kejadian itu, sampai sekarang saya bisa-bisa saja tidak punya gairah menggebu untuk selalu upgrade ke gawai dengan teknologi teranyar. Karena, toh, yang sabar membeli belakangan akan bisa dapat teknologi dengan kemampuan terbaru juga. Kejar-kejaran.

Saya juga tetap bisa punya kesempatan untuk memperbaiki komputer lain — punya teman — yang jauh lebih bagus karena mereka tahunya saya pandai dalam hal ini. Ini rahasia di antara kita, sebetulnya gawai-gawai mereka saya jadikan bahan percobaan.

Meski asumsi saya tentang kejar-kejaran teknologi itu tidak selalu tepat dalam perkembangan teknologi hari ini, setidaknya pola pikir ini berhasil menekan sifat konsumtif dalam diri saya (pada teknologi) meskipun saya sangat gemar teknologi. Sampai sekarang. Setidaknya saya masih bisa mengontrol nafsu pada pembaruan dan coba untuk menikmati hal-hal yang ketinggalan zaman tapi masih berguna.

Hakikatnya, waktu memang cepat berganti. Teknologi informasi membuat semuanya jadi makin terasa cepat. Terlalu cepat. Semua bisa cepat berubah. Termasuk perasaanmu, karena informasi yang datang begitu kilat. Dengan mengingat tiap hal yang bisa menghiburmu dan membuatmu tersenyum, mungkin semua jadi bisa dinikmati dengan santai?

“Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu.”

Hingga saat ini saya jadi tetap menganggap perkara otak-atik gawai dan proses di dalamnya menjadi suatu permainan yang menyenangkan, dengan segala keterbatasan piranti yang saya punya. Meski itu mungkin bukan lagi berkaitan dengan games.

Dulu saya senang berada dalam kegiatan eskul informatika di sekolah yang secara serampangan saya pilih. Hingga akhirnya pada suatu hari, pemangku kebijakan sekolah menyerang kesenangan itu. Hanya kami sendiri yang dapat menghentikannya. Betul, paragraf terakhir ini cuma kiasan. Bersambung…

Tulisan ini merupakan cerita tentang pengalaman masa lalu yang punya masa depan. Kelanjutannya akan ada di bagian keempat.

--

--