Teman
Saya punya teman. Dia biasa-biasa saja. Mungkin pandangan orang lain terhadapnya bisa jadi berbeda, menjadi seperti ini: dia adalah sosok yang luar biasa. Karena kemampuannya. Dedikasinya. Kesetiakawanannya. Kepeduliannya. Atau hal-hal lain. Barangkali dia punya “ke-liar-an” versinya sendiri. Saya tidak tahu, karena saya tidak ingin tahu. Saya tetap teguh pendirian. Dia adalah teman yang biasa-biasa saja. Mengapa begitu? Karena saya yang ingin dia tetap biasa-biasa saja. Bukan teman dekat yang bisa kita dewakan. Bukan juga teman jahat karena tidak baik menjadikannya musuh. Lagipula saya sudah tidak ingin punya musuh seperti saat SD dulu.
Jadi begini. Dia sempat beberapa kali bertandang ke kediaman Pakde kos saya — yang disewakan kepada saya (di tempat lain, kami lebih sering bertemu, dulu). Tadi adalah kunjungannya yang kesekian. Mungkin kedua. Itu tidak penting untuk diingat. Katanya, seperti ada utang dan tidak lengkap rasanya kalau tidak mampir saat ada di kota ini, sedangkan dia sebelumnya sudah menempuh jarak yang lebih jauh. Itu katanya. Orang ini saya rasa tidak banyak berubah. Apa mungkin karakter seseorang berubah seiring ia tumbuh dewasa? Boleh kau jadikan PR. Tapi saya merasa belum perlu tahu tentang itu.
Ketika dia datang, kami mulai banyak berbincang tentang teman. Yakni teman kami bersama. Teman yang ada dimana-mana. Termasuk merambat pada teman-teman yang pernah kami kenal dalam waktu singkat, yang hanya pernah berjumpa satu kali dalam durasi dua hari satu malam. Saya dan dia bukan asyik ghibah (gosip) mengenai keburukan mereka. Tapi tentang keadaan mereka saat ini. Kami tidak sedang khawatir. Kami sedang berbangga. Topik tentang teman memang selalu kami gemari. Tapi, malam ini saya merasa ada yang berbeda dari biasanya: dia memang sedang butuh kehadiran teman. Dia sarjana psikologi, tapi bagi saya dia tetap teman biasa.
Saya ingat, dahulu, sebelum kami (saya dan dia) saling mengenal, ibu-ibu kamilah yang saling kenal lebih dulu. Saat mereka berkenalan, kami sudah lulus SD. Mungkin kejadian ini bukan hal spesial. Sebab kalaupun ibu-ibu kami tidak bertemu saat itu, kami akan tetap saling mengenal karena kami akhirnya dimasukkan dalam kelas belajar yang sama. Jika ibu-ibu kami tidak bertemu, tentu saja nilai kedekatan kami akan berbeda. Tunggu. Ah, mungkin sama saja. Anggaplah begitu. Tapi inilah takdir, ibu-ibu kami saling mengenal.
Saya suka hubungan biasa-biasa saja seperti ini. Kedekatan secara emosional yang tak perlu muluk-muluk. Tak pernah sempat diungkapkan. Tidak perlu repot-repot diutarakan. Cukup dalam hati dan saling menyadari bahwa kami saling hadir. Teman baik.
Sepertinya saya merasa ini terlalu dalam. Untuk segala hal, saya ingin yang biasa-biasa saja. Tak ingin pernah merasa memiliki, agar tak pernah merasa kehilangan, tak pernah merasa khawatir. Mengapa semua semakin rumit saat saya ingin semua hal menjadi biasa-biasa saja? Kawan tenanglah. Saya masih berusaha untuk menjadi orang biasa yang tidak muluk-muluk. Kita pernah berkhayal bersama. Seperti katamu, berkhayal itu gratis. Saya tetap teman yang tidak bisa membayarkan mimpi-mimpimu. Maka maafkanlah.
Featured photo by Charisse Kenion