Keluarga

Tentang romantisme anak-anak ITB yang giat menulis, ditelusuri melalui refleksi hidup saya. *)

Andi K. Herlan
efekrumahbaca
4 min readMay 20, 2018

--

Prolog

Malam ini saya akan coba buka rahasia pada teman-teman mengenai hal yang pernah saya impikan. Cita-cita anak SMA biasa: kuliah di ITB.

Panggung Drama

Shot! Kita mulai. (Foto oleh Laura Lee Moreau)

Segmen 1: Inner Body, Inner Soul

Saat itu, saya tidak tahu alasannya mengapa saya ingin kuliah di ITB. Terjadi begitu saja. Seperti terpilih secara acak, seperti didorong oleh keinginan dari alam bawah sadar — halah. Mungkin karena lokasinya di Bandung, kota yang saya bayangkan sebagai “kota dingin” sejak kecil. Jika ada cara untuk menggambarkan dingin ke dalam rupa bentuk, saya akan menggambarkan ruang kosong agak gelap dengan cuaca hujan deras di luarnya, simbol sepi atau kesepian. Wah, ini dramatis sekali! Bagus! Barangkali saya masuk ke dalam golongan orang-orang sendu yang suka dengan sepi — mungkin, tapi saya tidak mau mengakuinya. Di kemudian hari tentu saya tahu bahwa tidak semua sudut Bandung niscaya dingin. Dulu saya memang benar-benar anak SMA yang polos (?).

Jika bukan karena dinginnya, barangkali karena Sunda-nya. Rumah tempat saya dibesarkan dikelilingi oleh orang-orang suku Sunda. Di situ kampung halaman Ayah saya. Terpaut jarak tidak lebih dari lima kilometer dari rumah, orang lain sudah bicara bahasa Jawa. Teman-teman sekolah saya juga banyak orang Jawa. Sejak kecil saya sudah terbiasa dengan keanekaragaman suku. Kalau cuma mengumpulkan dua macam suku, bagi saya itu sama sekali belum bisa dibilang beragam. Saya dilahirkan di tanah Dayak, di sana juga banyak orang Melayu dan Banjar (juga orang Jawa, tentu saja).

Fitrah manusia, selalu menginginkan sesuatu yang tidak ada digenggamannya, maka saat kecil saya seringkali ingin berubah jadi orang Sunda. Mungkin karena saya sering mendengar Ayah saya menggerutu, keceplosan, bergumam, menggunakan bahasa Sunda di atas tanah Banjar-Melayu-Dayak. Tapi setelah menjelma jadi makhluk Sunda sungguhan, saya merasa ingin kembali pulang ke pelukan Melayu Kampung di hulu sungai sana. Wah, sudah kepanjangan cerita masa kecilnya. Jadi, alasan Sunda untuk ITB mungkin sama dengan alasan Sunda untuk Ayah. Pokoknya, selama SMA saya benar-benar tidak pernah tahu alasan bagus yang sekiranya bisa jadi pendukung saya untuk masuk ITB.

Saat saya menulis baris ini, jam sudah menunjukkan waktu tengah malam. Saya persingkat drama hidup saya sampai di sini saja. Saya khawatir kebanyakan bercerita tentang diri sendiri sehingga menghasilkan autobiografi. Jadi paragraf ini merupakan pariwara iklan untuk pindah ke segmen berikutnya. Sebagai bagian dari scene film untuk loncat waktu — yang biasanya ditulis dengan 3 years later, 5 years later atau 10 years later begitu, saya tidak tahu istilahnya — maka saya beri bocoran, pada akhirnya saya sama sekali tidak mendaftarkan diri masuk ITB. Saya diakui sebagai mahasiswa penerima beasiswa di universitas biasa, karena yang luar biasa dalam cerita ini adalah ITB. Terletak di tengah hiruk-pikuk kota satelit, penyangga Ibu Kota Jakarta.

Segmen 2: Menjadi Mahasiswa Nyata, Bertemu Mahasiswa Lain Di Dunia Maya

Di perguruan tinggi lain, saya tetap memilih prodi teknik. Ternyata ada kebanggaan tersendiri ketika menjadi mahasiswa teknik. Saat sebenarnya tidak bisa apa-apa, saya tetap dianggap pintar oleh mahasiswa jurusan non-teknik. Bagi sebagian dari mereka — dan saya yakin itu hanya sebagian yang amat kecil saja — pelajaran teknik itu susah (beberapa teman yang saya kenal pernah bertanya pada saya tentang ini). Plis… Buat kita yang anak teknik juga itu susaaaah. Apalagi mata kuliah jurusan ente! Apa ada belajar yang mudah? Atau jangan-jangan semua sebenarnya mudah?

Berkat bergaul dengan siapa saja saya jadi bermain di mana saja dan banyak membaca apa saja. Selama kuliah di perguruan tinggi yang bukan ITB, saya terombang-ambing di permukaan danau yang penuh garam. Terjebak, tak pernah sampai mengalir. Dehidrasi tingkat tinggi— halah. Untunglah saya tetap dalam upaya bersyukur yang panjang, sebab saya sadar ada satu dan lain hal yang dapat saya miliki sedangkan orang lain belum tentu menikmatinya. Saya mulai melupakan mimpi lama itu, mimpi masuk ITB. Berangsur-angsur ia hilang. Jika bukan terhempas angin kencang, maka ia ditenggelamkan ke dalam laut.

Saya mulai asyik dan fokus dengan dunia baru di perguruan tinggi ini. Bersama kegiatan luar kampus yang secara acak saya ikuti, komunitas-komunitas, acara-acara di co-working space, seminar-seminar, dan lain sebagainya. Tidak ada ormawa, tidak ada struktur organisasi, tidak ada bermalam di kampus, tidak ada kaderisasi, memang sedikit hampa. Meski begitu, terlibat dalam kepanitiaan di beberapa acara masih sempat dirasakan. Setidaknya itu pernah memberi “rasa keluarga”, yaitu rasa yang bisa dilihat melalui foto bersama, mirip-mirip seperti “rasa yang dulu pernah ada”.

Lewat peristiwa kebanyakan-main-di-luar ini, saya jadi tahu, bahwa ternyata saya punya hobi baca-tulis, main internet, suka mengamati perilaku orang lain baik di dunia nyata maupun dunia maya, dan lain sebagainya. Melalui bantuan mereka (hobi) dan kekuatan takdir, saya menemukan banyak teman-tapi-tak-kenal di dunia maya: mereka anak-anak ITB. Baik yang sudah lulus, setingkat, maupun adik tingkat. Mereka bercerita tentang diri mereka, keluarga di kampus, organisasi mereka, pemikiran mereka, lingkungan mereka, yang membuat saya berpikir, mungkin hal yang dulu membuat saya memilih ITB dengan sendirinya adalah: rasa memiliki. Bagi saya, itu romantis. Dan hal itu tidak sedang saya genggam di tempat saya sekarang. Saya hanya sedang “menggenggam” erat tangan-tangan para manusianya saja, tidak dengan wadahnya. Guru SMA saya pernah bilang bahwa:

Bagian terpenting untuk bisa merawat sesuatu adalah merasa memilikinya.

Epilog

Pada akhirnya saya tetap merasa bersyukur dengan keadaan saat ini. Konon, masuk ITB adalah hal yang mudah. Tapi tidak untuk keluarnya. Mungkin cuma anak ITB yang tahu maksudnya. Kepada anak ITB yang membaca tulisan ini, hai…

*) Tulisan baru, di Ramadan hari ke-4

--

--