Fireside Chat Vol.2 Hult Prize at ITB: Pemanfaatan Teknologi untuk Meningkatkan Kualitas Pangan

Elektron HME ITB
Elektron HME ITB
Published in
4 min readSep 23, 2020
Pembukaan Fireside Chat Vol.2

Fireside Chat Vol. 2 merupakan bagian dari serangkaian acara Hult Prize at ITB, yang diadakan secara virtual pada Hari Sabtu, 19 September 2020. Konsep dari acara ini berbentuk tanya jawab antara moderator dan narasumber, yang bertujuan untuk memberikan wawasan kepada peserta tentang bagaimana meningkatkan kualitas pangan, khususnya kualitas pangan di Indonesia, dengan melibatkan penggunaan teknologi. Hult Prize at ITB sendiri merupakan tahap pertama dari serangkaian acara Hult Prize yang diselenggarakan oleh United Nations.

Acara dimulai dengan sambutan yang dibawakan oleh campus director Hult Prize at ITB, Aisyah Moulyni. Ia memaparkan bahwa rangkaian acara Hult Prize tahun ini akan dilaksanakan secara semi online dengan mengusung tema “Food for Good”. Ia juga menyampaikan bahwa Hult Prize ITB mengadakan kompetisi business case di mana pemenangnya akan melaju ke tahap regional dunia. Adapun acara Fireside Chat Vol. 2 kali ini dihadiri oleh 4 narasumber, yaitu Mr. Jochanan Senf (Member of the Board of Directors, PT. Unilever Indonesia Tbk), Djunaidi Halim (R&D Director, PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk), Muhammad Farras Bari Zain (COO & Co-Founder DamoGo, Seoul), dan Michael Jovan Sugianto (Co-Founder TaniHub Group), dan dipandu oleh Alphani Anugrah Putri sebagai Moderator.

Pada sesi pertama, Mr. Jochanan Senf menjelaskan kepada peserta webinar bahwa Unilever Indonesia membantu untuk mengatasi masalah nutrisi dengan program yang dijalankan, yaitu Force for good. Force for Good ini direalisasikan dengan beberapa tindakan, yaitu menggantikan makanan berbahan dasar daging dengan tanaman, mengurangi sampah yang hasil proses produksi, memberikan nutrisi yang tepat dan positif pada setiap produk dan menjamin produk yang terjangkau serta tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Unilever memiliki komitmen untuk menghasilkan 0% emisi pada tahun 2039 dan tengah menjalankan program deforestasi yang dibiayai dana sebesar 1 miliar US Dolar pada tahun 2023. Mr. Jochanan menjelaskan lebih lanjut bahwa unilever juga berkontribusi untuk mengembangkan bisnis kecil di Indonesia dengan cara mengembangkan resep-resep dan bekerjasama dengan restoran-restoran lokal. Terakhir, beliau mengajak generasi muda untuk memulai dengan hal-hal kecil seperti memulai usaha baru dengan mengurangi pemakaian plastik dan konsumsi gula.

Mr. Djunaidi menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara dengan populasi besar dan potensi pasar yang besar. Beliau menjelaskan tantangan untuk memproduksi produk makanan GarudaFood yang terfokus pada 3 hal, yaitu teknologi, dana yang dibutuhkan dan bahan-bahan mentah. Penerapan teknologi menjadi suatu tantangan tersendiri karena GarudaFood perlu memperhatikan dana yang dibutuhkan untuk menjalankan teknologi, learning curve yang dibutuhkan untuk implementasi teknologi, dan efektivitas yang dapat dilakukan oleh teknologi tersebut. Terakhir, beliau berpesan kepada generasi muda untuk berkontribusi kepada lingkungan dengan menciptakan ide-ide teknologi yang ramah lingkungan.

Kemudian, sesi kedua dilanjutkan oleh narasumber Muhammad Farras Bari Zain (COO & Co-Founder DamoGo, Seoul), dan Michael Jovan Sugianto (Co-Founder TaniHub Group).

Kak Farras bersama rekannya membentuk DamoGo yang dalam bahasa korea berarti “Yuk, Makan!

Bermula dari keprihatinannya bahwa 2000 ton makanan di Korea terbuang setiap harinya, aplikasi DamoGo lahir untuk menghubungkan surplus makanan yang dimiliki oleh restoran, cafe dan supermarket untuk ditawarkan kepada konsumen dengan harga murah. Selain itu, DamaGo juga mewadahi imperfect product (hasil panen pertanian yang kurang sempurna) untuk ditawarkan kepada industri manufaktur yang lebih mengedepankan kuantitas bahan mentah dibanding kualitasnya. Mulai tahun ini, DamoGo melakukan ekspansi bisnisnya ke Indonesia. Lagi-lagi, di Indonesia Kak Farras menjumpai banyak sekali emisi yang dihasilkan dari produksi dan distribusi. Contohnya di daerah Solo, banyak yang membuang ampas tahu/tempe karena dianggap tidak berguna dan harganya yang sangat murah (Rp. 300/kg) sehingga tim DamoGo menawarkan solusi untuk mencari pasarnya. Namun, tantangan yang dihadapi DamoGo adalah kurangnya sumber data yang dimiliki oleh dinas pertanian setempat. Sebagai contoh, pembaruan data terakhir jumlah produksi kubis di Yogyakarta adalah 5 tahun lalu. Dengan demikian, DamoGo berusaha terus mengembangkan data science dan machine learning khususnya untuk industri pangan.

Setelah pemaparan dari Kak Farras selesai, acara dilanjutkan dengan pemaparan dari Kak Michael yang memperkenalkan perusahaannya, yakni TaniHub. Kak Michael membentuk TaniHub dengan alasan bahwa pada tahun 2015, sektor logistik yang ada saat itu masih belum bisa menangani masalah distribusi hasil pertanian dengan baik. Seharusnya ada keterikatan mulai dari penanaman, pengiriman, hingga penjualan. Untuk menjawab masalah tersebut, agritech TaniHub Group membangun solusi dalam bentuk 3 buah anak perusahaan, yakni Tanifund ( P2P lending), TaniHub (e-commerce) dan TaniSupply (supply chain). Melalui TaniFund,pendapatan petani mampu meningkat sebesar 20% dan semua petani saat ini memiliki rekening bank sendiri. Di gudang, tim TaniSupply memproses penilaian buah dan sayur, mengukur tingkat kemanisan dan mengecek kualitas. Terakhir, ada tim logistik untuk mengunci kualitas produk yang sampai ke tangan pelanggan tetap terjaga, sesuai dengan standar ISO 2200 Food Safety Implementation.

TaniHub (Sumber : Slide Presentasi TaniHub)

Sebelum sesi kedua ini berakhir, Kak Michael berpesan bahwa ia turut sedih karena mengetahui dalam 10 tahun terakhir, jumlah penduduk yang berprofesi sebagai petani terus menurun. Padahal, menurutnya pertanian adalah sektor yang paling mampu bertahan saat pandemi seperti ini mengingat semua orang tetap butuh makan 3 kali sehari. Meski demikian, melalui semangat “agriculture for everyone” yang terus digaungkan oleh TaniHub, Ia yakin agrikultur adalah masa depan yang menjanjikan untuk Indonesia.

Kemudian, dilanjutkan dengan sesi ketiga yakni tanya jawab. Pada sesi ini, Umar Hilmi Fadhilah, mahasiswa Pascapanen ITB yang sekaligus merupakan pemenang Hult Prize at ITB tahun 2019 menuturkan bahwa timnya menawarkan “Bacoat”, yakni produk untuk meningkatkan masa simpan sayuran dan buah tropis sebanyak dua kali lipat. Hal ini tentu disambut baik oleh pihak TaniHub dengan segera meminta Umar untuk menghubungi pihak TaniHub untuk membahas kerjasama lebih lanjut.

Acara ini diakhiri dengan sesi pemberian sertifikat dan foto bersama.

--

--

Elektron HME ITB
Elektron HME ITB

Elektron is a media production organization that gives information about technology with unique approaches.