Melindungi Anak-Anak dan Remaja di Esports

Ira Atika Zahra Soewandhi
Media Esports Indonesia
3 min readApr 13, 2018

Dewasa ini, tren esports sangat digandrungi oleh kalangan anak-anak dan remaja. Beberapa pemain profesional bahkan memulai karirnya sebelum mereka berusia 18 tahun (seperti Benediktus “MrKcool” Ward, yang berusia 13 tahun; dan Alessandro Palmarini, yang berusia 17 tahun; keduanya adalah pemain profesional game Vainglory).

Seiring bertumbuh pesatnya industri esports, ruang pengembangan untuk anak-anak dan remaja juga akan bertambah. Terbukti dengan munculnya sejumlah klub esports ‘rakyat biasa’ yang meningkat dan akan muncul lebih banyak program pembinaan atau perekrutan yang lebih terorganisir dan canggih.

Banyaknya jumlah pemain anak-anak dan remaja dalam esports merupakan hal yang patut diapresiasi dan didukung. Hal tersebut sangat penting untuk eksistensi jangka panjang dan stabilitas industri esports. Seperti yang dilansir oleh Asosiasi Esports Inggris dalam publikasinya mengenai fenomena tersebut:

“Dengan menargetkan anak-anak sejak usia dini, kita sedang melihat gambaran yang lebih besar untuk menghasilkan lebih banyak juara esports asal Inggris serta pemain-pemain berbakat di masa akan datang. Kami juga dapat menunjukkan kepada pemerintah mengenai apa yang sudah kami temukan tentang nilai-nilai esports untuk mendapatkan dana pengembangan talenta muda di klub non-profesional di masa depan.”

Jika hal tersebut tercapai, anak-anak dan remaja yang terjun ke dunia esports harus mematuhi prosedur keamanan dan penanganan yang tepat. Potensi resiko bahaya bagi anak-anak sangat memprihatinkan sehingga perlindungan anak dalam olahraga harus lebih diperhatikan. Baru-baru ini, Ketua Football Association (FA) angkat bicara melalui BBC mengenai isu pelecehan seksual terhadap anak dalam sepak bola — “Ini merupakan suatu krisis terbesar dalam sejarah Asosiasi,” ujarnya.

Pentingnya Perlindungan Anak yang Kuat

Dari sorotan terhadap kejadian tersebut, muncul kesadaran akan pentingnya memiliki peraturan perlindungan anak yang kuat di suatu badan olahraga untuk mencegah pelecehan semacam itu terjadi lagi, dan agar dapat memberi sanksi secara efektif ketika itu terjadi. Saat ini, sebagian besar badan olahraga di Inggris seperti FA, sudah memiliki sistem perlindungan anak yang kuat. Beberapa aktor industri esports telah bersikap proaktif terhadap ancaman integritas seperti doping dan korupsi. Pembentukan badan Koalisi Integritas Esports (ESIC) adalah salah satu contoh pendekatan proaktif untuk mengatasi masalah tersebut. Sebuah ancaman besar bagi industri esports jika kasus serupa menimpa anak-anak. Ancaman tersebut harus ditangani dengan cara yang sama seperti olahraga lainnya.

Sebagian badan pengatur olahraga tradisional daerah di Inggris juga bekerja sama secara terpusat dengan Unit Perlindungan Anak di bidang olahraga (CPSU), yang merupakan kemitraan antar badan-badan olahraga National Society for the Prevention of Cruelty to Children (NSPCC). Prosedur perlindungan anak yang memadai menjadi persyaratan penting untuk pendanaan badan-badan olahraga yang berasal dari pajak masyarakat, sehingga Asosiasi Esports Inggris perlu memperhatikan ini jika ingin memperoleh pendanaan.

Resiko di Esports Dibandingkan dengan Olahraga Tradisional

Ada beberapa alasan mengapa resiko anak-anak di esports lebih besar dibandingkan dengan olahraga konvensional, seperti:

  • Banyak anak-anak dan remaja yang berpartisipasi di esports;
  • Kurangnya regulasi (ditambah dengan dengan laju pertumbuhan esports yang pesat);
  • Lingkungan online;
  • Undang-undang yang belum diperbaharui terkait dengan pembatasan usia (merupakan isu utama dalam esports); dan
  • Kurangnya entitas berbadan hukum yang dapat menangani dengan tegas masalah perlindungan anak (seperti peran ESIC terhadap masalah integritas).

Jika tidak ada entitas tersebut, setiap organisasi esports harus mempertimbangkan adanya resiko bahaya yang dapat terjadi pada anak-anak dari aktivitas mereka. Resiko ini secara jelas muncul di ruang online maupun offline, dimana anak-anak memiliki akses langsung tanpa adanya pengawasan orang dewasa. ‘Bahaya’ tidak hanya sebatas pada pelecehan seksual, tetapi juga termasuk pelecehan fisik, pelecehan emosional, penelantaran, penindasan, dan perilaku lainnya yang dapat membahayakan anak-anak.

Bagaimana cara menangani masalah ini?

Ketika sebuah organisasi telah mengenali potensi resiko yang bisa terjadi, langkah berikutnya adalah menentukan tindakan penangan dengan tepat. Hal ini dapat dicapai melalui pengenalan kebijakan, prosedur, bimbingan, dan praktik rekrutmen (seperti pemeriksaan catatan kriminal) untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan setiap tuduhan dapat ditangani dengan tepat. Sebagai contoh, pihak penyelenggara kompetisi sebaiknya memiliki prosedur pelaporan penyalahgunaan baik online maupun offline, dan aturan yang jelas; agar dapat mencegah peserta yang diduga dapat membahayakan anak-anak, serta dapat berbagi informasi yang relevan dengan pihak ketiga untuk melindungi anak-anak (misalnya dengan lembaga penegak hukum dan organisasi esports lainnya). Kasus pelecehan anak biasanya dapat dimitigasi secara signifikan dengan mengambil langkah yang cepat dan tepat. Organisasi-organisasi esports diharapkan menjadi lebih bijaksana dalam mempertimbangkan solusi mereka terhadap masalah ini, seperti perbaikan apa saja yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak dan remaja.

Tulisan ini pertama kali diterbitkan di venture.ninja.

--

--