/2/ Kehidupan Seperti Apakah Kehidupan Sastra Itu?

Irsyad Ridho
Estafet
Published in
12 min readJan 5, 2022

Pada esai bagian /1/ saya mencoba menjelaskan kehidupan sastra melalui ilustrasi tentang perjalanan “karier” seorang penulis baru di dunia sastra. Dengan ilustrasi itu saya bermaksud menggambarkan kehidupan sastra sebagai lingkungan yang dihidupi oleh banyak pihak yang saya sebut “lembaga kepengarangan”. Memasuki kehidupan sastra berarti terlibat dalam berbagai proses kerja di lembaga kepengarangan itu. Lembaga tersebut tidak perlu dibayangkan sebagai sesuatu yang berwujud nyata seperti sebuah kantor, misalnya, tetapi lebih baik dipahami sebagai proses-proses kerja yang melibatkan banyak orang, tidak peduli ada kantornya atau tidak.

Pada bagian /2/ ini saya ingin memberikan ilustrasi lain yang lebih nyata yang menggambarkan keterlibatan beberapa pengarang di dalam kehidupan sastra dan yang memberikan warna tersendiri di dalamnya. Dengan begitu, saya berharap seluk-beluk yang lebih rumit dari kehidupan sastra dapat lebih dirasakan dan dipahami.

Soe Hok Gie dan Kartini: Tak Pernah Melihat Bukunya Sendiri

Ketika Soe Hok Gie mencatat pikiran, sikap, dan perasaannya sendiri tentang berbagai peristiwa yang dialaminya pada era Sukarno, mungkin dia tidak terlalu terpikir untuk menerbitkan catatan pribadinya itu. Baru pada tahun 1983, yaitu 14 tahun setelah dia meninggal, catatan tersebut diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran. Dengan adanya penerbitan itu, catatan pribadi yang sebelumnya hanya diketahui oleh penulisnya sendiri kini dapat dibaca oleh orang banyak. Maka, pengakuanpun datang. Soe Hok Gie kini telah menjadi salah satu pengarang penting di Indonesia.

Sampul buku Soe Hok Gie (Sumber foto: goodreads)

Tapi, kapan sebenarnya pengakuan itu datang? Apakah ia datang setelah karangan diterbitkan atau sebelum karangan itu diterbitkan?

Dalam kasus Soe Hok Gie, sebenarnya pengakuan itu sudah ada jauh sebelum Catatan Seorang Demonstran diterbitkan. Di era ‘60-an Soe Hok Gie adalah penulis yang sangat produktif, dia sudah menulis banyak sekali artikel untuk surat kabar terkemuka pada masa itu. Dia juga banyak menulis untuk terbitan-terbitan mahasiswa dan berkorespondensi dengan para ilmuwan penting. Semua tulisannya merupakan bagian dari gerakan mahasiswa pada era itu, sebuah gerakan yang akhirnya memaksa Sukarno melepaskan kekuasaannya. Jadi, penerbitan Catatan Seorang Demonstran pada dasarnya adalah akibat lanjutan saja dari pengakuan yang sudah lama diberikan orang terhadap kepengarangan Soe Hok Gie.

Coba kita lihat contoh lain. Pada tahun 1911 diterbitkanlah untuk pertama kalinya kumpulan surat pribadi yang ditulis oleh Kartini dalam bahasa Belanda kepada Nyonya Abendanon dan suaminya. Kartini sendiri tentu saja tidak pernah melihat hasil terbitan itu karena dia sudah lebih dulu meninggal pada tanggal 17 September 1904 di usia 24 tahun. Surat-surat itu sendiri ditulis oleh Kartini sepanjang tahun 1900–1904. Jika suami-istri Abendanon tidak menerbitkan surat-surat itu, maka sampai sekarang kita mungkin tidak terlalu tahu siapa itu Kartini dan bagaimana pikiran-pikirannya. Dia akan hilang begitu saja ditelan zaman dalam usianya yang masih sangat muda. Dalam kasus ini, pengakuan terhadap kepengarangan Kartini muncul secara lebih meluas setelah karangannya diterbitkan.

Kumpulan surat Kartini ini terus diterbitkan ulang sampai sekarang. Tertarik? Silakan cek di sini.

Jika kita mengamati lebih jauh, persoalan tentang kapan pengakuan itu datang seringkali tidak terlalu penting. Yang lebih penting justru adalah “siapa yang memberikan pengakuan”. Seberapa penting kedudukan orang yang memberi pengakuan itu dalam masyarakat? Dalam hal Soe Hok Gie, pihak mana sebenarnya yang mengakui kepengarangan dia? Seberapa penting kedudukan pihak tersebut dalam masyarakat Indonesia? Dalam hal Kartini, siapa yang mengakui kepengarangannya? Apakah itu terkait dengan posisi Nyonya Abendanon? Siapakah Nyonya Abendanon dan sepenting apa dia?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu mempertimbangkan konteks sosial-historis yang melingkungi suatu karangan. Catatan harian Soe Hok Gie yang terbit pada tahun 1983 tidak dapat dipisahkan dari sikap para cendekia pada masa itu yang memandang penting karangan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari lembaga penerbit yang menerbitkan karangan tersebut, yaitu LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Lembaga ini merupakan tempat berkumpulnya para pemikir penting di Indonesia. Para cendekia di lembaga ini tidak jarang harus mengambil posisi yang berseberangan dengan penguasa Orde Baru. Soe Hok Gie adalah salah seorang cendekia semacam itu pula yang pada masa hidupnya gigih mempertahankan independensinya di hadapan kekuasaan. Persamaan sikap kecendekiaan inilah yang membuat karangan Soe Hok Gie diakui penting oleh para cendekia lain pada era ‘80-an. Pentingnya kepengarangan Soe Hok Gie ternyata kemudian juga diakui oleh generasi pasca-Orde Baru sehingga seorang sutradara terkemuka pada era ini, yaitu Riri Riza, merasa perlu untuk membuat film tentang kehidupan Soe Hok Gie, yaitu film Gie (2005) yang dibintangi oleh Nicholas Saputra.

Salah satu adegan dalam film Gie (2005). Sebelum menjadi seorang demonstran, Soe Hok Gie lebih dulu menjadi seorang pembaca yang lahap dan penulis yang rajin. Filmnya bisa ditonton di sini.

Lantas, bagaimana dengan karangan Kartini? Surat-surat Kartini menjadi penting karena surat-surat tersebut ditujukan kepada orang penting dalam pemerintahan Belanda pada permulaan era 1900-an. Orang itu adalah Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya, Jacques Henri Abendanon yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda. Pada era tersebut pemerintah Hindia Belanda sedang mengubah kebijakan kolonialnya, yaitu yang disebut dengan Politik Etis. Pasangan suami-istri Abendanon termasuk kalangan pejabat Belanda yang mendukung kebijakan baru tersebut. Bagi para pejabat Belanda yang pro-Politik Etis, surat-surat Kartini dipandang dapat membuktikan bahwa perempuan pribumi sebenarnya mampu berpikir maju, kritis, dan modern. Jadi, karangan Kartini diakui penting oleh para politisi Belanda yang ingin mengubah politik kolonial Belanda pada era itu. Dengan kata lain, karangan Kartini dianggap penting karena dipandang cocok dengan wacana Politik Etis pada saat itu.

Film tentang kehidupan Kartini yang dirilis pada tahn 2017, dimainkan oleh Dian Sastro. Bisa ditonton di sini.

Dari informasi di atas, kita juga bisa menyimpulkan bahwa selain diakui oleh orang-orang penting dalam masyarakat, kepengarangan Soe Hok Gie dan Kartini juga dianggap penting karena karangan mereka ditulis dalam momen perubahan sosial tertentu. Karangan mereka berdua mengungkapkan keterlibatan pikiran dan perasaan pengarangnya dengan situasi kehidupan masyarakatnya yang sedang berada dalam perubahan besar pada masanya masing-masing. Soe Hok Gie menyaksikan dan terlibat dengan perubahan masyarakat dari era Orde Lama ke Orde Baru, sedangkan Kartini menyaksikan dan terlibat dengan momen perubahan dalam masyakarat kolonial Hindia Belanda, yaitu Politik Etis, yang kemudian terkait dengan munculnya gagasan dan pergerakan nasional Indonesia. Jadi, karangan yang berisi pikiran tentang suatu era yang penting dalam perkembangan masyarakat akan turut pula menentukan seberapa besar karangan itu akan diakui oleh lembaga kepengarangan di dalam kehidupan sastra.

^Saman^-nya Ayu Utami

Kita bisa mengambil kasus lain lagi. Novel Saman, misalnya, terbit pada masa perubahan dari Orde Baru ke Reformasi pada tahun 1998 dan persoalan yang diangkatnya pun terkait dengan kritik terhadap Orde Baru di penghujung tampuk kekuasaannya. Selain itu, novel ini juga mencerminkan sebagian latar belakang dan semangat gerakan kaum cendekia/mahasiswi-mahasiswa yang sedang melawan kekuasaan Orde Baru pada masa itu. Kaitan novel ini dengan konteks perubahan sosial pada masa itu rupanya mampu menarik perhatian dari para kritikus sastra yang menjadi juri dalam sayembara novel di Dewan Kesenian Jakarta sehingga novel ini dipilih sebagai pemenang pertamanya. Sebagian ahli sastra yang lain kemudian juga menegaskan adanya hubungan novel tersebut dengan konteks perubahan sosial melalui kajian yang mereka kemukakan di jurnal-jurnal kesusastraan, makalah-makalah seminar, maupun artikel di surat kabar.

Pada sisi lain, novel ini ternyata menuai kontroversi karena keterus-terangan dan keseriusannya dalam mengangkat persoalan seksualitas. Kontroversi ini kemudian dimanfaatkan oleh media massa untuk meningkatkan keuntungan bisnis mereka. Pengarangnya sendiri pun, yaitu Ayu Utami, akhirnya turut memperolah kejutan popularitas yang cukup tinggi. Novelnya laku keras. Ayu Utami kemudian diakui sebagai pengarang baru yang penting dalam percaturan sastra Indonesia pasca-Orde Baru. Salah seorang kritikus sastra Indonesia, yaitu Korrie Layun Rampan, bahkan menobatkannya sebagai salah satu pelopor Angkatan 2000 dalam kesusastraan Indonesia.

Sampul novel Saman cetakan pertama (1998) (sumber foto: goodreads)

Dalam kasus Ayu Utami ini, kita memang dapat melihat adanya faktor lain dalam pembentukan kepengarangannya, yaitu peran media massa seperti koran dan televisi. Kedekatan Ayu Utami dengan lingkungan media massa yang sudah lama mapan, seperti Tempo dan Kompas, cukup berperan menaikkan pamor kepengarangannya. Di samping itu, tidak lama setelah kejatuhan Orde Baru, media massa di Indonesia memang merasakan terbukanya pintu kebebasan pers yang lebih besar. Krisis ekonomi sejak 1997 yang parah perlahan-lahan mulai dapat diatasi. Dalam situasi pertumbuhan ekonomi dan kebebasan politik yang kondusif, perusahaan media massa mulai menjamur. Stasiun televisi swasta makin banyak. Koran, tabloid, dan majalah yang baru maupun yang lama bersaing ketat. Dalam suasana persaingan itu, seringkali topik-topik yang kontroversial memang akan makin dimanfaatkan untuk mendongkrak keuntungan. Apalagi saat itu suasana politik di Indonesia memang sedang panas-panasnya. Maka, kepengarangan Ayu Utami dan kesuksesan novelnya tidak dapat dilepaskan dari arus besar konflik politik dan persaingan media massa di era awal Reformasi itu. Dengan kata lain, kepengarangan Ayu Utami merupakan salah satu bagian dari upaya demokratisasi dalam era Reformasi.

Dalam situasi semacam ini, penerbitan karya sastra makin memanfaatkan berbagai strategi pemasaran melalui segala bentuk media untuk mempengaruhi calon pembacanya. Strategi pemasaran itu berperan pula dalam membentuk citra kepengarangan seorang penulis, terutama penulis baru. Jika di era sebelumnya pendapat kritikus sastra seringkali berpengaruh dominan untuk membuat seseorang diakui sebagai pengarang yang penting, kini di era pasca-Orde Baru ini kepengarangan seseorang mulai banyak ditentukan pula oleh pendapat atau respons dari khalayak ramai, dari pasar pembaca pada umumnya. Dalam situasi baru ini, yang dibutuhkan rupanya tidak hanya ulasan dari para kritikus, melainkan juga komentar, celoteh, dan bahkan gosip dari para pembaca awam yang makin tersebar luas di internet melalui beragam aplikasi media sosial (medsos).

^Ayat-ayat Cinta^ dan Tren “Sastra Islami”

Selain itu, bangkitnya sinema nasional ternyata turut berperan menambah popularitas novel-novel tertentu beserta pengarangnya. Hubungan kepengarangan dengan media massa dan sinema nasional itu dapat dilihat lebih jelas, misalnya, dalam kasus novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Novel ini mengalami sukses penjualan yang sangat besar kurang lebih setahun setelah peluncurannya yang pertama pada tahun 2004. Kesuksesan novel ini sebagiannya tidak dapat dilepaskan dari peran jejaring komunitas sastra yang cukup besar, seperti Forum Lingkar Pena, ditambah pula dengan peran surat kabar Republika yang juga menjadi penerbit novel tersebut. Karena kesuksesan itu, salah satu rumah produksi terkemuka di Indonesia, yaitu MD Pictures milik keluarga Punjabi, tertarik untuk mengangkatnya ke layar lebar. Maka, ketika pada tahun 2008 versi filmnya diputar di bioskop-bioskop, para pembaca setia novel itu pergi berbondong-bondong menontonnya bersama para penonton lain yang belum sempat membaca novelnya. Maka, sebagaimana novelnya yang meraih best-seller, filmnya pun mencapai status box-office.

Film Ayat-ayat Cinta yang diangkat dari novelnya. Bisa ditonton di sini.

Sejak itu, hubungan penerbitan novel dan produksi sinema makin diperhitungkan sebagai dua bisnis yang saling mendukung. Itulah yang mempengaruhi pula kesuksesan novel Laskar Pelangi karya Andre Hirata yang dibuat filmnya oleh Riri Riza dan Mira Lesmana, dua sineas penting saat ini. Bahkan, muncul pula fenomena lain, yaitu tidak hanya upaya bisnis untuk memfilmkan novel, tetapi juga menovelkan film. Beberapa film, seperti Biola Tak Berdawai (2003), Naga Bonar Jadi 2 (2007), dan Tanah Air Beta (2010), dibuatkan pula versi novelnya setelah filmnya diputar.

Namun, di luar hiruk-pikuk hubungan novel dan bisnis media itu, tidak sedikit pula novel yang sudah dianggap bermutu oleh para kritikus ternyata tidak cukup berhasil memperoleh kesuksesan pasar. Novel Hubbu, misalnya, yang dikarang oleh Mashuri sebenarnya telah berhasil menjadi pemenang pertama sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2006, namun penjualannya sangat jauh berada di bawah kesuksesan Ayat-ayat Cinta dan Negeri 5 Menara. Padahal, ketiganya sama-sama mengangkat persoalan dengan latar belakang kehidupan pesantren yang memang sedang digandrungi oleh pasar pembaca di Indonesia. Mengapa novel yang satu lebih laku dibanding novel yang lain? Apakah tren tema ke-Islam-an dalam novel-novel kita saat itu ada kaitannya dengan perubahan keadaan sosial-politik di Indonesia dan dunia internasional sejak merebaknya wacana pro-kontra tentang “terorisme Islam”? Atau, jika kita memperhatikan iklan untuk beberapa novel belakangan ini yang berusaha menghubungkan isi novel dengan tagline motivasi diri, maka apakah itu terkait juga dengan wacana interpreneurship belakangan ini yang memungkinkan popularnya gagasan tentang motivasi diri yang kemudian memunculkan profesi baru, yaitu motivator? Apakah ini semua hanya tren pasar yang bersifat sementara saja? Bagaimana kita mestinya merumuskan keterkaitan selera pasar, penilaian kritikus, bisnis media, tema dan gaya karangan, serta konteks perubahan sosial-historis dengan kesuksesan sebuah karangan dan naik-turunnya kepengarangan seseorang?

Untuk sementara, dari keseluruhan ilustrasi di atas, setidaknya dapat disimpulkan bahwa ternyata banyak faktor yang menentukan diakuinya kepengarangan seseorang, yaitu pengakuan dari kritikus/ahli sastra, pihak penerbit, pasar pembaca, dan kepentingan media massa. Pengakuan itu dipengaruhi pula oleh posisi pengarang dan karangannya dalam konteks sosial-historis dan momen perubahan sosial tertentu. Perubahan-perubahan penting dalam kehidupan masyarakat akan berpengaruh pada pembentukan selera, sikap, dan pengetahuan para pembaca yang hidup dalam masyarakat tersebut. Karena itu, sebuah karangan yang sebelumnya dianggap jelek mungkin saja pada masa yang akan datang akan dipandang bagus, begitu pula sebaliknya. Bahkan, selera dan pendapat para pembaca itu dapat dibentuk pula oleh promosi yang gencar dilakukan oleh media massa. Ingat kembali skema ini.

Skema sederhana tentang berbagai faktor yang membentuk kehidupan sastra.

Jika kita sudah menyadari berbagai penentu kepengarangan di atas, maka kita tidak akan menerima begitu saja pandangan umum yang selama ini mengatakan bahwa pengarang itu adalah individu yang bebas berkarya. Ini pandangan yang terlalu menyederhanakan persoalan. Sebenarnya, tanpa disadari sepenuhnya oleh para pengarang maupun calon pengarang, berbagai faktor di atas turut mengondisikan pilihan-pilihan tema, bentuk, gaya, dan inovasi yang diambil oleh mereka dalam karya atau karangannya. Berbagai faktor di atas saling terkait, bersaing, dan adakalanya saling mendukung dalam penentuan posisi kepengarangan seseorang. Saling keterkaitan banyak faktor inilah yang perlu disadari dan dipelajari.

Bagaimanapun, ketika seorang calon pengarang ingin karangannya mendapat pengakuan, dia akan (atau sudah dengan sendirinya) menyesuaikan diri dengan tuntutan dari sebagian atau semua faktor di atas. Pilihan gaya estetik karangannya, misalnya, pasti tidak dapat dilepaskan dari pengaruh karangan-karangan lain yang sudah pernah dia baca dan juga pengaruh pandangan dari para kritikus atau ahli sastra yang sempat membentuk pikiran dan sikap estetiknya. Tren pasar juga mungkin akan memberi motivasi ekonomis padanya untuk memilih tema atau setting tertentu dalam karangannya.

Meskipun demikian, dia juga tentu punya pilihan untuk keluar dari sikap atau aliran estetik tertentu yang dijunjung tinggi oleh para kritikus yang dominan, dan dia pun bisa saja tidak memedulikan selera atau tren pasar yang disukai oleh industri media. Posisi manapun yang dia pilih, semuanya akan turut menentukan kepengarangannya, yaitu bagaimana dia akan diakui atau tidak diakui oleh masyarakat tempat karyanya bersemayam dalam benak pembacanya. Seorang pengarang yang berpengalaman sadar betul bahwa kreativitas dalam kehidupan sastra itu selalu bertegangan dan dalam negosiasi yang terus-menerus dengan pola selera khalayak pembaca, standar estetis para kritikus, kepentingan ekonomi industri media, dan sikap politik para penguasa.

Pramoedya Ananta Toer dan Sensor Negara

Nah, sehubungan dengan faktor sikap politik penguasa, kita perlu mengambil ilustrasi dari kasus Pramoedya Ananta Toer. Selama lebih dari 30 tahun, karangan-karangannya telah dilarang oleh pemerintah Orde Baru. Orang yang ingin membaca karangannya pada waktu itu harus membelinya secara sembunyi-sembunyi di pasar loak atau meminjam dari teman yang mungkin juga telah meminjamnya dari teman lain yang dapat dipercaya. Sekarang ini, meskipun larangan tersebut belum dicabut secara resmi, khalayak pembaca telah bebas membaca karya-karyanya. Bahkan, di masa awal Reformasi karangan-karangan Pram laku keras dan mendapat perlakuan istimewa dari salah satu distributor buku terkemuka di Indonesia, yaitu Gramedia, dengan dibuatkannya rak khusus untuk karya-karyanya di toko-toko mereka.

Pram ketika muda (Sumber foto: Dokumentasi HB Jassin via kultural.id)

Mengapa karya Pram dilarang oleh negara? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mundur agak jauh ke belakang, ke era ‘60-an, ketika perdebatan kebudayaan antara kelompok sastrawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan sastrawan Manifes Kebudayaan akhirnya berkelindan dengan pertikaian politik tingkat tinggi di level nasional Indonesia sendiri dan di level internasional dalam era Perang Dingin di antara dua negara adidaya pada waktu itu, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang mencerminkan pertikaian dua ideologi besar, yaitu kapitalisme dan komunisme. Ketika Amerika Serikat memenangkan pertarungan itu dan Presiden Sukarno dapat digulingkan dari tampuk kekuasaannya, Partai Komunis Indonesia kemudian dinyatakan terlarang oleh pemerintah Orde Baru dan karya para sastrawan dari Lembaga Kebudayaan Rakyat pun turut dilarang. Pram adalah salah satunya.

Kita tidak akan berpanjang lebar membahas latar historis itu (perlu pembahasan tersendiri yang lebih panjang), tetapi yang ingin saya katakan di sini adalah ketika sebuah karangan dilarang oleh negara, apapun alasannya, pelarangan itu pada dasarnya akan menaikkan pamor pengarangnya secara langsung atau tidak. Kontroversi di dalam masyarakat akan muncul terhadap pelarangan tersebut dan dengan sendirinya karangan itu akan banyak dibicarakan dan akan terpatri dalam ingatan orang banyak. Dengan demikian, karangan tersebut beserta pengarangnya secara tidak langsung akan dianggap penting, yaitu makin diakui keberadaanya justru ketika dihilangkan keberadaanya melalui pelarangan. Inilah paradoks pelarangan.

Novel Bumi Manusia karya Pram diangkat ke dalam film pada tahun 2019, dibintangi oleh Iqbaal Ramadhan, bintang muda yang sedang popular pada saat itu. Filmnya bisa ditonton di sini.

Sifat paradoks pelarangan ini sering kali dimanfaatkan dengan jeli oleh industri media massa untuk meningkatkan keuntungan dagangnya. Mereka akan memainkan rasa ingin tahu atau rasa penasaran dari pasar pembaca melalui cara-cara promosi yang memikat. Maka, setelah Orde Baru jatuh pada tahun 1998, nilai ekonomis dari karya-karya Pram meningkat cukup tajam. Selain itu, pembicaraan akademis dan penelitian ilmiah tentang karya-karyanya juga makin leluasa dilakukan. Hal-hal yang sebelumnya tabu untuk diteliti, kini dapat menjadi wilayah perdebatan akademis yang subur.

Kehidupan sastra akan sunyi-senyap jika tanpa penafsiran. Silakan ikuti pembahasannya di esai lanjutan ini:

--

--

Irsyad Ridho
Estafet

Dosen. Naratolog. Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.