TEORI STILISTIKA DAN CONTOH PENERAPANNYA DALAM MENILAI CERITA

Irsyad Ridho
Estafet
Published in
12 min readMar 7, 2022

Pada dasarnya, persoalan gaya cerita menyangkut tentang bagaimana peristiwa cerita dituturkan, bukan tentang apa peristiwa ceritanya itu sendiri. Dalam konteks cerita roman/percintaan, misalnya, kita tahu bahwa semua cerita roman pasti berisi peristiwa tentang tokoh-tokoh yang jatuh cinta. Apakah cintanya terbalas atau tidak, itu soal lain, yang jelas cerita roman tentu saja adalah cerita tentang cinta. Yang diperhatikan oleh pendekatan stilistika adalah bagaimana peristiwa cinta itu dituturkan/diceritakan karena di sinilah terletak teknik artistiknya, gayanya. Nah, dengan logika demikian, kita bisa mengatakan bahwa stilistika cerita pada dasarnya berupaya mengkaji dan menilai sejauh mana penataan unsur-unsur cerita akan berefek secara estetis. Jadi, kuncinya adalah cara atau teknik penataan unsur-unsurnya.

Dalam esai ini saya bermaksud menjelaskan apa saja unsur-unsur yang membangun struktur cerita dan bagaimana semuanya ditata oleh seorang pengarang untuk mencapai efek estetis. Sebagai contoh, dalam penjelasan ini, saya mencoba menggunakan dua buah cerita yang sangat pendek (biasa disebut “fiksi mini”) yang masing-masing dikarang oleh Agus Noor dan Sapardi Djoko Damono.

Agus Noor dan Sapardi Djoko Damono

Penataan Peristiwa

Salah satu unsur utama dalam struktur cerita adalah peristiwa (event). Ketika peristiwa yang satu dirangkai dengan peristiwa yang lain, maka terbentuklah cerita. Setidaknya, dua rangkaian peristiwa saja sudah memadai untuk membentuk cerita. Coba perhatikan fiksi mini karya Agus Noor ini:

Halte

Terkantuk-kantuk kau duduk di halte menunggu angkot yang akan membawamu pulang. Begitulah, setiap hari, kau selalu pulang kerja selarut ini.

Angkot datang. Kau segera masuk. Ketika angkot itu kembali melaju, kau menengok ke jalanan sepi di belakangmu. Kau melihat dirimu yang tengah terkantuk-kantuk menunggu di halte itu.

Jika kita perhatikan, cerita ini hanya terdiri dari empat peristiwa, yaitu:
(1) tokoh kau menunggu angkot di halte,
(2) angkot datang,
(3) tokoh kau naik ke angkot, dan
(4) tokoh kau melihat dirinya menunggu angkot di halte.

Apa yang membuat cerita singkat ini menarik? Ini adalah pertanyaan stilistika. Berdasarkan selera estetis saya, secara singkat saya bisa mengatakan bahwa peristiwa nomor 4 itulah yang membuat cerita ini menarik karena ada penyimpangan secara mendadak dari situasi realis ke situasi surealis. Dengan kata lain, penyimpangan ini membawa efek kejutan estetis.

Namun, pengarang cerita tidak selalu menggunakan teknik kejutan untuk mencapai efek esetetis dari penataan peristiwanya. Sebagai contoh, coba perhatikan fiksi mini “Saksi” karya Sapardi Djoko Damono (SDD) ini.

Saksi

Pagi ini aku menyaksikan anjing itu sarapan: ia makan kursi. Agak mengherankan, sebab biasanya kursilah yang memakan anjing, dan aku menjadi saksi. Tidak ada makhluk atau benda lain. Dan, biasanya juga, sehabis upacara itu akupun memakan kursi. Dan tentu saja tidak ada yang menjadi saksi bahwa telah memakan kursi yang telah memakan anjing.

Sekarang ini situasinya benar-benar gawat. Soalnya, menurut agamaku aku dilarang makan anjing. Boro-boro memakannya, diendusnya saja haram hukumnya. Kalau makan kursi bolehlah, sebab hal itu tidak termasuk dalam daftar larangan agamaku. Pagi ini anjing itu memakan kursi. Aku menjadi saksi peristiwa itu. Jadi hanya tinggal aku dan anjing sekarang. Kalau biasanya dalam upacara pagi aku memakan kursi yang telah memakan anjing, sekarang hanya ada satu pilihan: agar bisa menjadi satu-satunya saksi, aku harus memakan anjing itu. Padahal, seperti sudah kukatakan, aku dilarang makan anjing.

Jadi, kemungkinan yang ada tinggal anjing itu memakanku sehabis ia memakan kursi. Dengan demikian, ia akan menjadi satu- satunya saksi peristiwa yang terjadi pagi ini.

Seperti halnya fiksi mini Agus Noor, fiksi mini SDD tersebut juga menggambarkan situasi yang surealis, suatu dunia yang aneh yang tidak mungkin terjadi. Namun, SDD tidak menggunakan teknik kejutan. Ceritanya mengalir saja mengikuti logika ketat yang sederhana: anjing memakan kursi, kemudian tinggal apakah tokoh aku yang akan memakan anjing ataukah anjing yang akan memakan tokoh aku. Kita tidak diberikan kejutan apa-apa sebab kita sudah mengerti urutan logisnya. Namun, cerita SDD ini menyisakan sebuah kemungkinan yang tak terjawab pada akhir jalan ceritanya. Akhir ceritanya dibiarkan menggantung dan kita, sebagai pembaca, dibiarkan berada dalam kegamangan, seperti halnya si tokoh aku itu sendiri. Perasaan gamang karena akhir yang menggantung inilah efek estetis yang dituju oleh fiksi mini ini.

Beristirahat sejenak di halte setelah lelah mengitari kota (Foto: Mas Day).

Berdasarkan dua contoh fiksi mini di atas, kita bisa melihat bahwa sebuah cerita yang berhasil secara estetis tidaklah semata-mata dibangun dari urutan peristiwa, tetapi peristiwanya harus juga ditata dengan teknik atau gaya tertentu. Selintas, kelihatannya peristiwa-peristiwa dalam dua contoh fiksi mini di atas disusun secara kronologis. Namun, jika diperhatikan lebih jauh, sebenarnya ada semacam teknik lain yang tidak kronologis. Coba perhatikan kalimat ini: “Begitulah, setiap hari, kau selalu pulang kerja selarut ini.” Ini terdapat di fiksi mini “Halte”. Juga, coba perhatikan kalimat ini: “Agak mengherankan, sebab biasanya kursilah yang memakan anjing, dan aku menjadi saksi.” Ini terdapat dalam fiksi mini “Saksi”.

Teknik seperti ini disebut iterasi (iteration), yaitu menuturkan peristiwa sekali saja meskipun sebenarnya peristiwanya terjadi berulang-ulang. Jadi, peristiwa menunggu halte sepulang kerja itu sebenarnya terjadi berulang-ulang, namun dalam teks ini dituturkan sekali saja. Begitu pula, peristiwa kursi memakan anjing dan kemudian tokoh aku memakan kursi itu juga terjadi setiap hari. Ada kata keterangan “biasanya” yang mempertegas hal itu.

Dalam hal cerita “Halte” karya Agus Noor, teknik iterasi itu sangat penting karena ternyata berperan dalam memberikan efek kejutan yang logis pada peristiwa nomor (4) karena hanya pada hari yang diceritakan inilah tokoh aku itu mengalami perubahan dari kebiasaannya setiap hari, yaitu melihat dirinya menunggu di halte setelah dia sendiri sudah naik angkot, kejadian yang sebelumnya tidak pernah dia alami. Di situlah kejutannya. Namun, dalam cerita SDD, teknik iterasi itu tidak berdampak kejutan karena situasinya justru sudah diperjelas dengan kalimat “Sekarang ini situasinya benar-benar gawat.” Jadi, dengan mempertegas kegawatannya, kejutan justru tidak terasa sebab memang bukan itu target teknik estetisnya, melainkan situasi gamang di akhir cerita.

Dalam menilai penataan peristiwa, kita juga perlu mempertimbangkan unsur lain yang juga menyertai peristiwa, yaitu latar peristiwa itu sendiri. Kita tahu bahwa peristiwa adalah kejadian yang dialami tokoh dan kejadian itu pasti berlangsung dalam waktu dan tempat tertentu. Selama ini tempat dan waktu kejadian hanya dipahami sebagai sekadar latar cerita sehingga tidak dianggap sebagai unsur yang menentukan dalam estetika atau gaya cerita. Jadi, dari segi stilistika, yang penting bukanlah semata-mata di mana dan kapan sebuah peristiwa terjadi, tetapi bagaimana penataannya. Dari situlah kita bisa menangkap efek estetisnya.

Untuk memperjelas hal ini, mari kita kembali pada fiksi mini “Halte”. Dari segi latar tempat terdapat kontras dari empat lokasi, yaitu rumah, tempat kerja, halte, dan angkot. Pada saat kejadian memang hanya halte dan angkot yang menjadi latar tempat dari cerita ini, sedangkan rumah dan tempat kerja disebut sebagai implikasi dari “membawamu pulang” dan “pulang kerja” pada paragraf pertama fiksi mini tersebut. Hubungan keempat tempat ini membentuk sistem pemaknaan yang khusus, yaitu rutinitas kehidupan tokoh dalam cerita ini. Rutinitas membuat orang kehilangan kemampuan untuk melakukan refleksi kritis atas kehidupannya.

Akhir cerita “Halte” memperlihatkan proses refleksi tersebut melalui tindakan memandang ke belakang, yaitu ke diri sendiri yang tetap tertinggal di halte. Dalam konteks pemaknaan seperti ini, unsur halte dan angkot menjadi penting karena halte memungkinkan terjadinya jarak ke tempat kerja dan ke rumah, sedangkan angkot memungkinkan jarak ke posisi halte itu sendiri. Pengambilan jarak memang faktor penting dalam refleksi atau kesadaran diri, sedangkan rutinitas justru menghapus jarak itu sendiri karena diri (tokoh cerita) terserap dalam pengulangan kesibukannya. Jadi, pilihan latar tempat seperti ini bukan dipilih begitu saja secara sembarangan, pengarangnya sadar betul mengenai proses refleksi diri dan pengontrasannya dengan rutinitas. Dia mencoba menghubungkan dengan sengaja antara makna cerita dengan pilihan latar tempat dalam ceritanya.

Di samping itu, dari segi latar waktu, peristiwa dalam “Halte” berlangsung pada malam hari yang sudah larut, menyiratkan waktu yang mendekati tengah malam, ketika orang seharusnya sudah tidur di rumah, tokoh cerita ini masih berada dalam perjalanan dari tempat kerja menuju rumahnya sambil terkantuk-kantuk. Fiksi mini ini memainkan kontras antara tiga unsur waktu, yaitu waktu istirahat (di rumah), waktu kerja (di tempat kerja), dan waktu perjalanan (dari tempat kerja ke rumah). Dalam waktu perjalanan, orang merasa seperti dapat beristirahat, tetapi sebenarnya tidak karena suasana kerja masih terbawa. Terkantuk-kantuk dan perasaan seperti tetap tertinggal tidak beranjak ke mana-mana, seperti hanya tertahan di halte, adalah situasi yang menandai waktu perjalanan tersebut.

Penataan latar waktu seperti itu berkaitan secara logis dengan latar tempat dalam cerita ini seperti tampak dalam bagan ini:

Berdasarkan uraian dan bagan di atas, kita dapat melihat bahwa latar cerita, baik latar tempat maupun latar waktu, sebenarnya mengandung makna tertentu yang penting, bukan unsur cerita yang bersifat tempelan semata. Keterkaitan yang bermakna antara latar dan pesan dari sebuah cerita akan membuat cerita tersebut punya efek estetis yang berhasil.

Penataan Sudut Pandang Penceritaan

Sebuah cerita tidak hanya tersusun dari peristiwa demi peristiwa, tetapi juga dibangun melalui penuturan narator (pen-cerita). Dalam setiap cerita, sebenarnya selalu ada narator yang menuturkan peristiwa-peristiwa kepada narratee (narati/pe-cerita). Orang biasanya menyadari ada narator cerita, tetapi seringkali melupakan atau tidak menyadari bahwa narator itu menuturkan peristiwanya kepada sosok lain dalam cerita, yaitu narati (pecerita). Cara penuturan narator itulah yang seringkali disebut dengan istilah “sudut pandang narator”.

Mari kita kembali ke contoh fiksi mini Agus Noor. Siapakah narator dalam cerita tersebut? Pihak yang disebut “kau” dalam cerita ini merupakan tokoh cerita sekaligus pecerita (narati) yang disapa atau diceritakan terus-menerus dalam penuturan si pencerita (narator), namun si penceritanya sendiri tidak memunculkan dirinya melalui sapaan (kata ganti diri) tertentu.

Dalam situasi komunikasi, kita tahu bahwa kata ganti “aku” mengacu pada pihak yang menceritakan atau menuturkan cerita, kata ganti “kau” (“kamu”) mengacu pada pihak yang diceritai, sedangkan kata ganti “dia” mengacu pada pihak yang diceritakan. Jadi, “aku” menceritakan tentang “dia” kepada “kau”. Namun, struktur terpisah seperti ini tidak selalu terjadi karena dapat saja pihak “aku” atau “kau” masuk ke dalam posisi “dia” sehingga menjadi pihak yang diceritakan sekaligus. Jadi, dalam membuat cerita, para pengarang berhadapan dengan setidaknya tiga alternatif penataan sudut pandang penceritaan seperti terlihat dalam bagan berikut ini:

Dalam alternatif I, dunia tokoh (area abu-abu) dan dunia pencerita/pecerita terpisah dengan tegas. Pencerita tidak memasuki dunia tokoh secara langsung, hanya menceritakan saja. Si pencerita juga seperti mendengarkan saja tuturan pencerita, tanpa memberikan tanggapan apa-apa, bahkan tanpa ada tanda-tanda kehadirannya. Kita sebagai pembaca merasakan bahwa seolah-olah dunia tokoh hadir dengan sendirinya sebagai peristiwa demi peristiwa. Biasanya alternatif I ini disebut juga dengan istilah ‘narator dia-an’ (istilah teknisnya ‘ekstradiagesis’). Jika fiksi mini Agus Noor diubah seperti teks di bawah ini, maka penceritaannya sudah berganti menjadi penceritaan alternatf I.

Terkantuk-kantuk dia duduk di halte menunggu angkot yang akan membawanya pulang. Begitulah, setiap hari, dia selalu pulang kerja selarut ini.

Angkot datang. Dia segera masuk. Ketika angkot itu kembali melaju, dia menengok ke jalanan sepi di belakangnya. Dia melihat dirinya yang tengah terkantuk-kantuk menunggu di halte itu.

Fiksi mini Agus Noor yang asli sebenarnya menggunakan penceritaan alternatif II karena pencerita, yaitu “kau”, berpindah memasuki dunia tokoh sehingga “kau” adalah “dia” itu sendiri. Dengan kata lain, pecerita sudah sekaligus menjadi tokoh cerita. Adapun naratornya tetap berada di luar dunia tokoh tersebut, hanya menjadi pengamat yang menceritakan apa yang terjadi dengan tokoh.

Lantas, bagaimana jika si pencerita (narator) berpindah memasuki juga dunia tokoh dan menjadikan dirinya sebagai salah satu tokoh dalam cerita itu? Coba perhatikan versi fiksi mini “Halte” yang sudah ditambahi kalimat yang dicetak miring berikut ini:

Terkantuk-kantuk kau duduk di halte menunggu angkot yang akan membawamu pulang. Begitulah, setiap hari, kau selalu pulang kerja selarut ini. Biasanya aku menemanimu pulang, tapi hari ini aku tidak masuk kerja. Sakit.

Angkot datang. Kau segera masuk. Ketika angkot itu kembali melaju, kau menengok ke jalanan sepi di belakangmu. Kau melihat dirimu yang tengah terkantuk-kantuk menunggu di halte itu.

Versi di atas menggunakan penceritaan alternatif III yang meluruhkan batas-batas dunia tokoh dan dunia pencerita/pecerita. Namun, di sana narator masih tidak sepenuhnya memasuki dunia tokoh karena dia hanya menjadi tokoh sampingan yang tidak mengalami peristiwa secara langsung, sedangkan si pecerita mengalami langsung peristiwanya karena dialah tokoh utamanya.

Dalam konteks seperti contoh teks perubahan di atas, kita mungkin bertanya-tanya: bagaimana mungkin si aku tahu apa yang terjadi dengan si kau, padahal dia sendiri tidak ada di halte itu karena sedang sakit? Di sinilah kita berhadapan dengan paradoks penceritaan, yaitu bahwa narator dapat saja menjadi tetap serba tahu meskipun dia berlagak tidak tahu-menahu.

Lukisan berjudul “Relativity” karya Maurits Cornelis Escher yang memperlihatkan permainan sudut pandang.

Tiga alternatif penceritaan yang saya uraikan di atas merupakan teknik penataan sudut pandang narator yang bisa saja dipilih oleh pengarang ketika membuat ceritanya. Tentu saja ada berbagai alternatif yang lain selain tiga alternatif di atas, tergantung pada kreativitas pengarangnya. Yang jelas, kita sudah dapat melihat bahwa terdapat beberapa pilihan atau alternatif penceritaan yang merupakan bagian dari khazanah cerita yang ada. Dari khazanah itulah pengarangnya — yaitu Agus Noor — memilih alternatif II. Pilihan spesifik inilah yang merupakan bagian dari teknik atau gaya ceritanya.

Selanjutnya, kita bisa bertanya: apakah pilihan spesifik ini mengandung efek estetis tertentu? Pertanyaan seperti ini merupakan ajakan untuk menilai karena fungsi atau efek estetis itu pada dasarnya hanya dapat disimpulkan melalui proses penafsiran dan penilaian. Sebagaimana semua bentuk kerja akademis/ilmiah, penafsiran dan penilaian estetis pun harus didasarkan pada alasan atau penalaran yang sahih. Stilistika pada dasarnya berupaya memberikan landasan bagi penalaran sahih itu.

Untuk menguji seberapa berhasil efek estetis dari pilihan gaya penceritaan fiksi mini “Halte” tersebut, tentu kita perlu membandingkan pilihan tersebut dengan dua alternatif yang lain. Mari kita bandingkan kembali ketiganya.

Manakah dari tiga alternatif penceritaan di atas yang mengandung efek estetis yang lebih tinggi sehingga kita dapat memberikan penilaian bahwa alternatif itulah yang terbaik secara estetis? Dalam pandangan saya sendiri, alternatif II, yaitu yang dipilih oleh Agus Noor sendiri, memang merupakan pilihan yang terbaik. Mengapa?

Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa cerita ini merupakan genre khusus, yaitu fiksi mini. Dalam genre seperti ini, tantangan estetis utamanya adalah bagaimana caranya bercerita secara sangat singkat, tetapi tetap memberikan efek kejutan yang memadai di akhir cerita. Alternatif I memang masih memberikan efek kejutan itu, tetapi efeknya tidak sebesar alternatif II karena tokohnya, yaitu dia, dibuat tetap berjarak dari si pencerita dan pecerita. Penjarakan tersebut membuat pembaca juga berjarak dari posisi si tokoh. Kejutan tetap dapat dirasakan, tetapi dirasakan hanya sebagai kejutan yang dialami tokoh. Alternatif II justru mengatasi kelemahan estetis ini dengan membuat pecerita menjadi tokoh sehingga pembaca terkondisi untuk berada di posisi tokoh sebab pembaca seolah-olah disapa oleh narator cerita ini sekaligus dia menjadi tokoh yang sedang diceritakan. Pembaca seperti merasakan ilusi realitas yang lebih dekat sehingga efek kejutan di akhir cerita itu akan terasa lebih kuat dibandingkan dengan alternatif I.

Lantas, bagaimana dengan alternatif III? Meskipun mempertahankan efek kejutan yang juga dimiliki oleh alternatif II, tetapi perubahan posisi narator yang turut memasuki dunia tokoh itu sebenarnya membuat efek permainan jarak jauh-dekat yang menjadi inti cerita ini justru menjadi runtuh. Saya sudah mengatakan pada bagian terdahulu bahwa makna penting cerita ini adalah proses kesadaran diri yang hanya mungkin dengan permainan jarak jauh-dekat, yaitu narator menjauh dari dunia tokoh, sedangkan pecerita mendekat ke dunia tokoh (perhatikan kembali bagan penceritaannya). Selain itu, penambahan informasi tentang narator — yaitu pada kalimat “Biasanya aku menemanimu pulang, tapi hari ini aku tidak masuk kerja. Sakit.“ — justru menimbulkan efek penundaan (delay) bagi kejutan di akhir cerita. Penundaan semacam ini mungkin efektif bagi cerita yang lebih panjang (cerpen, misalnya), tetapi tentu saja akan tidak efektif dan berlebihan bagi genre fiksi mini yang sangat mementingkan cara bercerita yang sependek mungkin.

Kesimpulan

Dalam esai ini saya sudah berupaya untuk menjelaskan bagaimana menilai cerita dengan mempertimbangkan teknik estetis yang digunakan oleh pengarang untuk menata peristiwa dalam ceritanya dan bagaimana peristiwa tersebut dituturkan dengan pilihan sudut pandang penceritaan tertentu. Tentu saja apa yang saya kemukakan di atas sangat tergantung pada contoh cerita yang saya gunakan. Cerita-cerita lain tentu punya kemungkinan teknik estetis yang berbeda sehingga dibutuhkan kepekaan yang jeli untuk menangkap dan menilai seberapa berhasil efek estetisnya.

Kesahihan penilaian kita sebagai kritikus juga ditentukan oleh seberapa luas khazanah karya prosa fiksi atau cerita yang sudah kita ketahui dan pahami. Semakin luas khazanah cerita yang kita miliki, semakin mungkin kita melakukan perbandingan yang komprehensif dan proporsional. Dalam contoh di atas, kita hanya mempertimbangkan khazanah perbandingan yang sangat terbatas. Karena itu, mengkaji cerita dengan pendekatan stilistika membutuhkan pengalaman membaca karya sastra dan apresiasi sastra yang juga memadai. Jika tidak, penilaian estetis yang kita ajukan sulit untuk dapat diterima secara ilmiah. Meskipun demikian, tentu saja kita tetap dapat berlatih melakukan penilaian esetetis secara bertahap seiring dengan proses perluasan khazanah sastra kita sendiri.

--

--

Irsyad Ridho
Estafet

Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.